Tudingan Baru Mubarak
Oleh: Mansyur Alkatiri
Majalah UMMAT Thn. I No. 2, 24 Juli 1995 / 26 Shafar 1416 H
Ketegangan militer menyelimuti Mesir dan Sudan hari-hari ini. Usaha pembunuhan terhadap presiden Mesir Hosni Mubarak di Addis Ababa, Ethiopia, 26 Juni lalu, membawa hubungan kedua negara pada titik terburuk. Genderang perang ditabuh keras di Kairo dan Khartoum. Mubarak tuduh Sudan berada dibalik percobaan pembunuhan itu. Tuduhan terutama diarahkan pada Hassan Turabi, pemimpin spiritual Sudan.
Khartoum menampik tuduhan Mubarak. “Tuduhan itu tak bertanggung jawab. Mubarak menimpakan masalah dalam negerinya sendiri, yaitu konfliknya dengan kaum militan Islam, kepada orang lain”, ujar seorang pejabat Sudan. Dalam pernyataan di televisi pemerintah. Turabi juga menolak tuduhan keterlibatan kelompoknya.
Mubarak bergeming terhadap bantahan pemerintah Sudan. Di depan ribuan massa yang berkumpul di stadion Kairo, Mubarak menggambarkan Presiden Sudan, Jendral Omar Hassan Ahmad al-Bashir dan Hassan Turabi, pemimpin Front Nasional Islam -gerakan Islam yang amat berpengaruh dalam kebijakan pemerintah Sudan- sebagai “kriminal” yang telah menghancurkan ekonomi Sudan dan menjadikan Sudan sebagai surga bagi kaum ‘teroris’. Pada demonstrasi yang dilakukan oposisi Sudan di pengasingan, di Kairo, Mubarak juga menyerukan rakyat Sudan untuk menggulingkan pemerintahnya.
Aksi Mubarak tidak berhenti sampai disitu. Sehari setelah aksi di Addis Ababa itu, pasukan perbatasan Mesir bentrok dengan polisi Sudan, di segitiga Halaib yang dipersengketakan. Dua orang polisi Sudan tewas, delapan lainnya luka-luka. Rakyat Sudan marah. Mereka membalas dengan menduduki tiga rumah diplomat Mesir di Khartoum, serta menggelandang penghuninya. Kairo kian naik pitam, lalu mengusir 70 anggota polisi Sudan yang sedang bertugas di Halaib. Menanggapi provokasi Mubarak ini, pemerintah Sudan bersiap diri. Pasukan disiapkan untuk “bertempur sampai mati” menghadapi serangan Mesir. Mobilisasi dilakukan di seluruh negeri.
Segitiga Halaib
Ada dua masalah yang menjadi ganjalan besar dalam hubungan Mesir-Sudan selama ini, yaitu perselisihan perbatasan di segitiga Halaib dan tudingan Kairo bahwa Sudan membantu kaum militan Mesir melakukan makar terhadap pemerintah.
Segitiga Halaib, wilayah seluas 17.000 km persegi yang memanjang di gurun dekat Laut Merah, diduga kaya minyak. Pertikaian muncul sejak Sudan merdeka, tahun 1956. Mesir mengontrol secara militer wilayah ini tapi mengijinkan Sudan memiliki pos polisi. Saat ini ada dua batalion tentara Mesir disana, berkekuatan 1200 prajurit.
Halaib memanas dalam Februari 1992, setelah Sudan memberi konsesi pada perusahaan minyak Kanada untuk melakukan eksplorasi minyak di sana. April 1992, dua polisi Sudan terbunuh di tangan pasukan perbatasan Mesir.
Sudan kemudian mencari arbitrase internasional mengenai Halaib. Bahkan awal 1993, Sudan mengadukan sengketa ini ke Dewan Keamanan PBB, sembari menuduh tentara Mesir melanggar perbatasan Sudan. Namun Mesir tak menggubris. Dua bulan kemudian, Kairo umumkan akan membuat jalan baru ke Halaib. Suasana kian memanas. Sudan menjawab dengan menutup Universitas Khartoum di Kairo. Disusul dengan penutupan dua konsulat Mesir di Sudan dan dua konsulat Sudan di Mesir.
Oposan Muslim
Ketegangan antara kedua negara berawal sejak berkuasanya pemerintahan Omar al-Bashir yang berkoalisi dengan Front Nasional Islam yang dianggap Barat ‘fundamentalis’,tahun 1989. Mesir sering tuduh Sudan membantu kelompok oposan Muslim Mesir, dan melatih mereka di sebuah kamp militer dekat Khartoum. Sebaliknya Sudan juga menuding Mesir membantu SPLA, pemberontak di Sudan Selatan yang didominasi elite Kristen. Mesir juga melindungi para oposan Sudan, seperti mantan presiden Jaafar Numeiri dan Mohammed al-Mirghani. Mereka giat mengorganisir kaum oposan Sudan untuk menumbangkan pemerintah al-Bashir.
Konflik Mubarak sendiri dengan kaum radikal Muslim meruncing setelah pembunuhan atas ketua parlemen Rifaat Mahgoub, di Kairo, tahun 1990.
Seusai Perang Teluk, tahun 1991, Mubarak melancarkan operasi penuh kekerasan terhadap oposan Muslim ini. Sasaran terutama diarahkan pada para militan yang baru datang dari medan perang Afghanistan. Untuk mengesahkan perburuan tersebut, dibuat undang-undang baru yang memberi ancaman hukuman mati bagi setiap warga Mesir yang berlatih militer di negara asing. Akibatnya konflik bersenjata tak terelakkan. Sekitar 800 orang tewas dalam empat tahun ini. Ribuan orang yang dicurigai bersimpati pada kaum radikal, dijebloskan dalam penjara. Banyak yang disiksa agar mengaku bersalah. Kelompok hak-hak asasi internasional mengkritik rekor hak-hak asasi Mubarak.
Kaum militan juga mencoba membunuh Menteri Penerangan Safawat Sherif, PM Atef Sedki dan mendagri Hassan Alfi. Tapi gagal. Dan menurut informasi intelijen Mesir, setidaknya ada dua kali percobaan pembunuhan terhadap Mubarak sepanjang dua tahun lalu.
Kelompok Islam terbesar dan tertua di Mesir, Ikhwanul Muslimin, sejauh ini tak terbukti terlibat dalam gerakan bersenjata anti-pemerintah. Mereka lebih suka menguasai beberapa organisasi profesi, terutama asosiasi dokter, pengacara dan teknik. Tapi bagi Hosni Mubarak tak ada perbedaan antara Ikhwan dengan kelompok-kelompok yang lebih radikal.
Menurut majalah al-Wasath, ada gejala bakal timbul konfrontasi Ikhwan dengan Partai Demokratik Nasional yang berkuasa. Ini lantaran keputusan Mubarak memberi wewenang Mahkamah Agung untuk mencampuri pemilihan pengurus organisasi profesi.
Tanda-tanda konflik terlihat pula setelah pada awal tahun ini pemerintah melakukan penangkapan besar-besaran atas 25 petinggi Ikhwan, di antaranya dokter Isham Iryan, sekretaris jenderal Persatuan Dokter Mesir. Tuduhan yang dikenakan adalah, mereka telah bergabung dengan kelompok bawah tanah, yang bertujuan menggulingkan pemerintah dengan kekerasan, mengancam ketenteraman masyarakat, mengedarkan penerbitan gelap, serta menjalin jaringan dengan pihak luar negeri. Tuduhan ini mirip yang dituduhkan pada Jamaah Islamiyyah dan Al Jihad.
Pemerintah Mesir juga membreidel majalah bulanan Liwa al-Islam yang dekat dengan Ikhwan. Sebelumnya Mubarak sudah melarang terbit majalah Al-I’tisam, Al-Bashir dan Al-Usra al-Arabiyah.
Namun demikian, dalam wawancara dengan majalah al-Hawadets awal Maret lalu, Hosni Mubarak membolehkan para anggota IM ikut pemilu yang akan berlangsung November nanti, tapi bukan atas nama Ikhwan.
Ada isu akan munculnya “Aliansi Islam”, yaitu aliansi Ikhwan dengan Jamaah Islamiyah dan Al-Jihad. Dugaan aliansi ini menguat setelah pemimpin spiritual Jamaah Islamiyah Syaikh Omar Abdurrahman, mengizinkan anggota jamaahnya ikut serta dalam pemilu. Tahun 1984, Syaikh Omar pernah mengajak jamaahnya mendukung calon-calon Ikhwan dalam pemilu. Ada pula kemungkinan aliansi Ikhwan dengan kaum Kiri.
Tindakan Mesir
Akankah Mesir menyerang Sudan? Presiden Mubarak tak mengesampingkan penggunaan kekuatan militer terhadap Sudan. Tapi Osama el-Baz, penasehat utama presiden, menjamin Mesir takkan melakukan operasi militer terhadap Sudan, kendati nantinya terbukti Sudan terlibat dalam percobaan pembunuhan terhadap Mubarak. Menurut Osama, pemerintahnya akan mencari cara-cara non-militer untuk menghukum Sudan. Barangkali Mesir akan mengusahakan sanksi ekonomi PBB terhadap Sudan, sama seperti yang dijatuhkan atas Libya dalam kasus peledakan pesawat Pan AM di Lockerbie, Desember 1988.
Sudan sendiri sebenarnya memiliki kartu ace, yaitu sungai Nil. Mesir tak punya sumber air darat selain sungai Nil. Sulitnya, aliran sungai Nil yang mempunyai dua hulu di Ethiopia dan Danau Victoria Uganda, melewati negeri Sudan sebelum ke Mesir. Memang ada perjanjian pembagian air sungai Nil antara Mesir dan Sudan dalam 1959. Tapi sewaktu-waktu Sudan bisa menyetop aliran air ke Mesir yang akibatnya bakal mematikan seluruh Mesir. Hasan Turabi sudah menyiratkan kemungkinan menyetop aliran sungai ini bila Mesir menyerang Sudan. Mesir tentu saja marah besar karena Nil merupakan urat nadi kehidupan Mesir. Nil memang bisa jadi pemicu perang dahsyat. Tapi bisa pula menjadi peredam.
Magdi Hussein, editor al-Shaab, suratkabar milik oposisi di Kairo yang dekat dengan kelompok Islam, tak yakin situasi akan memburuk sampai ke peperangan. “Mubarak tak memerlukan perang,” ujar Hussein. Benarkah?
BOX:
Kelompok-kelompok oposan Muslim di Mesir
* Al-Ikhwan al-Muslimun, didirikan tahun 1928 oleh Hasan Al-Banna (1906-1949). Merupakan induk seluruh gerakan Islam modern di tanah Arab. Kendati bertujuan untuk menerapkan syariat Islam secara penuh di Mesir, sekarang cenderung moderat.
* Jamaah Islamiyyah, amat militan. Tokoh spiritualnya sekarang Omar Abdurrahman, ulama buta yang tengah mendekam di penjara AS. Berhasil meraih simpati kalangan mahasiswa muslim di kampus-kampus dengan menguasai organisasi yang resmi, Al-Jam’iyatul Islamiyah. Kelompok terakhir ini dibentuk 1971 dan berkibar di kampus-kampus, dengan bantuan Presiden Anwar Sadat sendiri. Tujuannya untuk melumpuhkan mahasiswa sayap kiri. Akhirnya menjadi bumerang bagi Sadat setelah banyak melakukan aksi memberantas maksiat, terutama pembakaran atas bioskop dan klub malam.
* Al-Jihad, muncul tahun 1978. Meskipun kecil mampu menggegerkan dunia dengan membunuh Presiden Anwar Sadat tahun 1991. Kekuatannya berhasil dilumpuhkan setelah pembunuhan itu.
* At-Takfir wal Hijrah, menculik dan membunuh Menteri Waqaf (menteri agama) Mesir, Sheikh Muhammad adz-Dzahabi, tahun 1977. 600 anggotanya ditahan, 54 orang diadili bulan berikutnya.
* Partai Kemerdekaan Islam, Mukaffaratuyah (Pertobatan), yang berperan penting dalam huru-hara soal harga bahan pangan 1977, dan Organisasi Kemerdekaan Islam, yang menyerang Akademi Teknik Militer Kairo, April 1974, membunuh 30 orang. *
BACA JUGA:
Strategi Kotor Yahudi di Jerusalem
Tentara Tutsi Bantai Muslim di Burundi
Perang Saudara di Somalia
[…] Islam. Bersama Ikhwanul Muslimin, kedua partai ini memperjuangkan diterapkannya hukum Islam di Mesir. Ikhwan sendiri dilarang tampil dalam pemilu sebagai sebuah partai. Tapi para anggotanya maju di […]