Oleh MANSYUR ALKATIRI
Majalah UMMAT Tahun II No. 02, 22 Juli 1996 / 6 Rabiul Awal 1417 H
Rencana damai PBB mengalami jalan buntu di Sahara Barat. Perang antara Front Polisario dan Maroko terancam meletus kembali.
Sejumlah gunung karang hitam berjajar teratur menyerupai busur panah raksasa, membentang di ketinggian dataran, tak jauh dari kota Tifareti, Sahara Barat. Rongga-rongga karangnya kerap berfungsi sebagai markas darurat untuk tempat menampung senjata. Di tengah-tengah jajaran karang itu, berderet lusinan kendaraan lapis baja pengangkut pasukan buatan Rusia, milik tentara Republique Arabe Sahraouie Democratique (RASD: Republik Demokratik Arab Sahrawi), pemerintahan dalam pengasingan bentukan Front Polisario yang berkedudukan di Aljazair.
Di jajaran belakang, berderet sepasukan tentara dengan menyandang senapan mesin Kalashnikov. Mereka berdiri mengelilingi tumpukan perlengkapan perang lainnya, seperti mortir dan granat. Mereka tampaknya siap menggempur dinding penghalang yang menjulang tinggi di hadapan mereka. Akankah pecah perang kembali antara pejuang Polisario dan pasukan Maroko yang menguasai 80 persen Sahara Barat?
Ketegangan yang merayap kembali di wilayah seluas 260.000 km persegi itu bersamaan dengan rencana Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) mengakhiri mandat tim penjaga perdamaiannya di sana. Mission for the Referendum in Western Sahara (Minurso) akan ditarik kembali akhir Juni ini. Tanpa sebuah keputusan yang jelas mengenai nasib wilayah dan rakyat Sahara Barat. Padahal, Minurso mendapat mandat untuk mengadakan referendum bagi rakyat Sahara Barat: mau bergabung dengan Maroko atau merdeka?
Rebutan
Penjajah Spanyol meninggalkan kawasan Sahara Barat pada 1975. Setahun kemudian, pasukan Maroko dan Mauritania menyerbu dan membagi wilayah ini untuk mereka berdua. Namun pejuang Polisario yang tergabung dalam Frente Popular para la Liberacion de Sakiet el Hamra y Rio de Oro (Front Polisario) berhasil melakukan serangan balik dan menduduki sebagian wilayah itu. Mauritania akhirnya memanggil pulang kembali pasukannya dan mengakui hak RASD atas Sahara Barat. Sementara itu, pertempuran terus berlangsung antara Front Polisario dengan pasukan Maroko.
Tak kurang 75.000 jiwa penduduk yang mendiami wilayah antara Maroko dan Mauritania itu telah menjadi korban keganasan perang selama puluhan tahun. Sekitar sepertiganya tewas di tangan pasukan Maroko, yang menempatkan 150.000 tentaranya di sana.
Maroko menguasai 80 persen wilayah yang total luasnya 260 ribu km2 itu, membentang dari sepanjang tepi Lautan Atlantik sampai daerah Bou Kraa yang kaya fosfat. Konflik Maroko-RSDA mereda pada 1991, setelah PBB turun tangan.
Sampai saat ini sudah 72 negara –khususnya negara-negara Afrika dan Asia– yang mengakui RASD. Pada 1987, pemerintah Maroko membangun benteng raksasa di dataran berpasir itu di perbatasan dengan Aljazair. Tujuannya untuk menghalangi penyusupan gerilyawan Polisario dari negara tetangganya tersebut. Tinggi benteng mencapai 12 meter, membentang sepanjang 2000 km sampai ke Samudra Atlantik.
Guna membendung langkah Front Polisario, Maroko memasang tak kurang sejuta ranjau di sana. pasukan Maroko juga dilengkapi dengan radar dan alat-alat pendeteksi. “Kami berperang satu lawan lima,” ujar salah seorang tentara Polisario pada Lakhdar Belaid, wartawan majalah Perancis, l’Evenement. “Kami hanya punya beberapa kendaraan lapis baja, dan tak punya pesawat terbang.” Sulit kiranya Front Polisario menembus benteng pertahanan itu.
Tegang Kembali
Ketegangan sudah meninggi sejak awal tahun ini. Polisario menuduh PBB memihak Maroko dalam penentuan jumlah pemilih dalam referendum. Menurut PBB, jumlah pemilih berjumlah 60 ribu. Polisario minta diperbolehkan untuk memeriksa daftar nama pemilih itu. Namun PBB selalu menolaknya. Menurut sumber Polisario, seperti dikutip majalah Impact, utusan khusus PBB di Sahara Barat, Chinmaya Gharekhan, menjanjikan nama-nama itu akan dibeberkan pada umum awal 1996. Namun itu tak terlaksana. Akhirnya, jalan terus buntu. Setelah pendudukan oleh Maroko, diduga ada puluhan ribu orang Maroko didatangkan ke Sahara Barat demi kepentingan referendum.
Dalam sebuah memorandum pada Dewan Keamanan PBB belum lama ini, Polisario menyatakan, “Jalan buntu dalam rencana perdamaian terutama diakibatkan oleh penentangan Maroko terhadap referendum yang bebas dan jujur serta ketidaktegasan Minurso yang mengawasi pelaksanaan rencana perdamaian.” Abdul Azis, sekretaris jendral Polisario yang juga menjabat Presiden RASD, menuduh PBB berkolusi dengan Raja Hassan II. Akibatnya, rencana referendum sejak 1992 selalu gagal.
Di antara bukit-bukit pasir di Tindouf, Aljazair barat daya, Polisario mendirikan kamp-kamp pengungsi. Lebih 100.000 pengungsi berdiam di sana, separuh dari seluruh populasi Sahara Barat. Lengkap dengan sekolah, gudang-gudang makanan, penjara dan peternakan ayam. Tak ada kekurangan gizi. Anak-anak keluarga Badui di kamp ini sudah 80 persen mengenyam pendidikan formal. Pada 17 Juni lalu “republik tanpa wilayah” ini merayakan 21 tahun pemberontakannya melawan penjajah Spanyol.
Berapa jumlah tentara yang dikerahkan oleh Front Polisario? Strategi bagaimana yang akan dilancarkan untuk menghadapi Maroko? Jawabannya mengambang. Dulu banyak dukungan dan bantuan dari negara-negara lain, terutama Aljazair dan Libya. Tapi Libya sekarang tengah terkena embargo internasional. RASD hanya yakin pada bantuan Aljazair yang dianggapnya tanpa pamrih. Tapi, apakah Presiden Aljazair, Liamine Zeroual, mau menerima resiko pecahnya konflik di sepanjang perbatasannya, sementara situasi dalam negerinya sendiri masih kacau balau? Di tengah ketidakpastian ini, rakyat Sahara Barat terus tersudut di pojok Gurun Sahara.* (Mansyur Alkatiri)
BACA JUGA:
Ujian di Hebron bagi Palestina-Israel
Geliat Perlawanan Pribumi Uighur di Xinjiang
Islam di Kenya
[…] JUGA: Tersudut di Sahara Barat Harapan Baru Partai Refah di Turki Islam di […]