PIALA DUNIA BERBAU SKANDAL

Oleh: Mansyur Alkatiri

Dari: Majalah UMMAT, No. 50 Thn. III/ 6 Juli 1998

Maroko dan Kamerun gagal melaju ke babak kedua akibat kesalahan wasit. Rekayasa untuk menyingkirkan tim-tim Afrika?

MUSTAPHA HADJI (Maroko). Korban rekayasa
MUSTAPHA HADJI (Maroko). Korban rekayasa

Salaheddin Bassir berlari gembira ke depan ribuan suporter Maroko. Ia baru saja menjebol gawang Skotlandia yang dijaga Jim Leighton, Selasa lalu. Striker Tim Singa Atlas itu lalu bersujud di rumput Stadion Geoffroy Guichard, St Etienne, sebagai tanda syukur pada-Nya. Dalam posisi berlutut, Bassir lantas menengadahkan kedua tangannya keatas. “Terima kasih ya Allah,” tuturnya lirih.

Gol indahnya di menit ke-22 itu mengantarkan Maroko menang telak 3 – 0 atas Skotlandia, di Grup A penyisihan Piala Dunia. Seluruh pemain dan pendukung Maroko setengah histeris menyambutnya. Namun sayang hanya dalam hitungan detik suasana berubah drastis, menyusul kabar bahwa Norwegia mampu menundukkan Brasil 2 – 1. Tawapun berubah menjadi tangis. Pelatih Henri Michel yang tak kuasa menahan emosi, menendang tempat duduk pemain cadangan. “Kami semua sangat kecewa,” ujar Michel.

MUSTAPHA HADJI (Maroko). Korban rekayasa
MUSTAPHA HADJI (Maroko). Korban rekayasa

Kekecewaan anggota tim asal Afrika Utara itu bercampur kemarahan. Sebab kemenangan Norwegia atas Brasil berbau skandal. Mereka merasakan adanya rekayasa untuk meloloskan tim Eropa, sekaligus menyingkirkan tim-tim Afrika yang telah tampil gemilang.

Norwegia yang harus menang melawan Brasil, –karena Maroko mampu kalahkan Skotlandia– tiba-tiba mendapat hadiah penalti kontroversial dari wasit Esfandiar Baharmast (AS), satu menit menjelang pertandingan berakhir. Berawal dari kemelut di depan gawang Brasil, Tore Andre Flo, yang berdesakan dengan bek Junior Baiano, tiba-tiba jatuh. Wasit menilai itu pelanggaran yang harus diganjar penalti. Dan Kjetil Rekdal sukses mengeksekusi penalti itu, hingga Norwegia lolos ke perdelapan final.

Keputusan itu melahirkan polemik tajam. Flo mengatakan, saat duel berebut bola, Baiano menarik kausnya dengan keras hingga dirinya jatuh. Namun tayangan ulang televisi memperlihatkan Baiano tak melakukan pelanggaran apapun. Justeru Flo yang nampak sengaja menjatuhkan diri. “Sungguh luar biasa wasit memberikan penalti dalam situasi seperti ini,” tegas bek kanan Brasil, Cafu.

Skandal

Dugaan terjadinya skandal makin terbuka melihat tindakan wasit Laszlo Vagner asal Hongaria yang memimpin pertandingan Kamerun-Cile beberapa jam sebelumnya. Gol bersih kapten Kamerun, Francois Omam Biyick di menit ke-58, dianulir Vagner. Wasit berdalih, pemain Kamerun lainnya, Patrick Mboma, melakukan pelanggaran atas pemain Cile, Ronaldo Fuentes, sesaat sebelum Biyick membuat gol.

Pertandingan di Grup B itu akhirnya berakhir seri 1 – 1, dan Kamerun gagal melangkah ke babak kedua. Terang saja kubu Tim Singa Liar Afrika itu berang. “Saya bisa menerima banyak hal, tapi tidak pertandingan ini,” kata pelatih Kamerun Claude Le Roy geram. Sementara menurut Omam Biyick, timnya telah menjadi korban rekayasa untuk menyingkirkan Afrika. “Kami telah dirampok,” katanya keras. “Eropa tak mau menerima kemenangan Kamerun.”

Kiper veteran Jacquest Songo’o sependapat. “Kejadian yang baru kami alami dan juga kasus penalti bagi Norwegia, membuat orang berpikir, mungkin negara-negara Afrika tak pernah bisa memenangkan Piala Dunia,” katanya. “Piala Dunia 2002 mungkin khusus diadakan bagi Eropa dan Amerika Latin saja, karena yang lain tak punya harapan.”

Di Kamerun sendiri, rakyat yang marah lalu melempari mobil milik orang kulit putih, sebagai balasan atas apa yang mereka yakini sebagai rekayasa anti-Afrika itu. Menteri Olahraga Joseph Owona, juga mengecam panitia Piala Dunia telah melakukan diskriminasi pada Afrika.

Namun segala kritik dan kecaman itu dianggap sepi oleh FIFA. Melalui jurubicaranya Keith Cooper, FIFA memang mengakui kemungkinan wasit Vagner dan Baharmast melakukan kesalahan. Namun secara keseluruhan ia menilai mutu perwasitan tahun ini sangat bagus. “Kami percaya wasit mengambil keputusan dengan penuh keyakinan. Keputusan mereka tak bisa diganggu gugat.”

Tuduhan bahwa Eropa telah melakukan diskriminasi rasial mungkin terasa berlebihan. Tapi juga tak sepenuhnya salah. Pengalaman di Piala Dunia 1982, dimana Jerman dan Austria ‘bermain mata’ untuk menggusur Aljazair, belum hilang dari ingatan banyak orang Afrika. Padahal di pertandingan awal, Aljazair mampu menjungkalkan Jerman 2 – 1.

Begitupula dengan drama tersingkirnya Kamerun di perempat final PD 1990, setelah dikalahkan Inggris 2 – 3. Saat itu, Roger Milla dkk yang sudah unggul 2 – 1, dihukum dua tendangan penalti. Hal yang sama dialami Nigeria di PD 1994, ketika harus menyerah dari Italia 1 – 2 di babak 16 besar, juga karena penalti kontroversial.

Di Perancis, jika tak dijegal, akan ada tiga tim Afrika yang lolos ke babak 16 besar. Tentu itu menakutkan Eropa, mengingat sudah ada lima tim Amerika Latin yang lolos. Padahal kejuaraan berlangsung di kandang sendiri. Maka muncullah skenario pahit itu.

Mansyur Alkatiri

By mansyur

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *