Oleh MANSYUR ALKATIRI

Dari:Majalah UMMAT Tahun II No. 01, 8 Juli 1996 / 22 Safar 1417 H

Hubungan Manama-Teheran tegang.Teheran dituduh mendalangi rencana kudeta.

Kawasan Teluk kembali panas. Tapi kini bukan karena ulah Saddam Hussein. Pemerintah Bahrain secara terbuka menuding Republik Islam Iran berada di belakang pergolakan yang sudah berlangsung 18 bulan di negerinya. Melalui pernyataan Menteri Penerangan Mohammad Ibrahim Al-Mutawa, pada 3 Juni lalu, di ibukota Bahrain, Manama, mereka menuduh Teheran membiayai kelompok Hizbullah-Bahrain, yang bertujuan melancarkan revolusi bersenjata guna menjatuhkan rezim sekarang.

Untuk memperkuat tuduhannya, rezim Manama menyertakan pengakuan enam orang pembangkang yang mereka tahan. Pada 12 Juni, pemerintah menahan seorang penjaga toko, yang menurutnya otak di belakang rencana kudeta.

Surat kabar setempat Al-Ayam juga melaporkan penangkapan dua pemimpin sayap militer Hizbullah-Bahrain, Jassem Hassen Mansour Al-Khayat dan Ali Ahmad Kazem Abd Ali. Keduanya warga negara Bahrain dan dituduh memiliki hubungan khusus dengan dinas intelijen Iran. “Hizbullah Bahrain bermaksud merekrut 3.000 orang untuk membentuk kekuatan militer kelompok ini dan melatihnya guna mengambil alih kekuasaan dan membentuk rezim pro-Iran,” tulis Al-Ayam seperti dikutip Saudi Gazette (5/6).

Tuduhan itu kontan ditolak keras oleh Iran. Menurut Teheran, tuduhan itu dibuat guna melayani kepentingan negara asing di kawasan itu. “Tuduhan tak berdasar itu dibuat karena provokasi dari negara asing. Itu hanya akan merusak hubungan kami dan membuka jalan bagi kehadiran kekuatan asing di kawasan ini,” bantah juru bicara Kementerian Luar Negeri Iran, Mahmud Mohammadi, di Teheran.

Krisis terakhir ini telah menempatkan hubungan kedua negara pada titik terburuk. Iran dan Bahrain menarik kembali duta besar masing-masing di kedua negara. Situasi semakin panas karena kemudian para menteri luar negeri dari enam negara anggota Dewan Kerjasama Teluk (GCC) turut mengecam Iran dan menyerukan Teheran agar “tak mencampuri masalah dalam negeri Bahrain”.

Bahrain sudah sejak Desember 1994 dilanda pergolakan anti-pemerintah. Sejauh ini, kekerasan di negeri kaya minyak ini telah memakan korban tewas 22 jiwa. Ribuan orang sudah meringkuk dalam tahanan. Menurut beberapa pembela hukum, seperti dikutip The Economist (15/6), lebih dari 2.000 “tahanan politik” ditahan baru-baru ini. Kebanyakan dikenain tuduhan sabotase, meski banyak di antara mereka yang tak pernah mencoba melakukan aksi itu.

Banyak tahanan yang disiksa di penjara guna memperoleh pengakuannya. Dalam beberapa kasus, paksaan pengakuan itu bahkan amat kelewatan. Menurut kalangan pembela hukum, beberapa orang telah dipaksa mengakui perbuatan sabotase meski orang itu terbukti tak ada di Bahrain pada waktu yang dituduhkan.

Pemerintah Bahrain yang berada di tangan keluarga Khalifa, memang tengah menghadapi masalah pelik. Sang pemimpin, Syeikh Issa bin Salman al-Khalifa, yang sudah 35 tahun berkuasa, menghapuskan parlemen hasil pilihan rakyat pada 1975. Kerusuhan anti-pemerintah awalnya meletus dipicu oleh penahanan terhadap seorang ulama Syiah. Sang ulama bersama para pendukungnya getol menuntut pemerintah agar melakukan demokratisasi dan memulihkan kembali parlemen pilihan rakyat.

Dalam konfliknya dengan Iran saat ini, pemerintah kerajaan Bahrain telah memperoleh dukungan dari Inggris dan Presiden AS, Bill Clinton. Clinton menaruh kepentingan besar di kawasan ini guna melindungi markas regional Armada Kelima-nya dan basis menghadapi Iran. Dan Bahrain agaknya cocok dengan maksud Clinton itu. (MA)

BACA JUGA:
Geliat Perlawanan Pribumi Uighur di Xinjiang
Islam di Kenya
Perangkap Jalan Israel

By mansyur

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *