Oleh Mansyur Alkatiri
Majalah UMMAT Tahun I No. 3, 7 Agustus 1995 / 10 Rabiul Awal 1416 H
Perundingan damai junta militer dengan FIS gagal. Maka ketidakpastian politik terus menyelimuti negeri “sejuta syuhada” itu.
Perdamaian tak jadi datang di Aljazair. Presiden Liamine Zeroual mengumumkan (11/7) bahwa perundingan dengan FIS telah gagal. Menurutnya, posisi ketujuh pemimpin FIS, termasuk Abbasi Madani (ketua FIS) dan Ali Belhadj, “amat berlawanan dengan kerangka dialog nasional”. Serangkaian pembicaraan rahasia telah diadakan sejak Madani menulis surat pada pemerintah Aljir 9 April lalu guna mengakhiri jalan buntu antara FIS dan pemerintah.
Pengumuman ini cukup mengejutkan. Sebab, sebelumnya Zeroual mengatakan telah mencapai kata sepakat dengan Abbas Madani. Para pemimpin FIS akan dibebaskan dari penjara dan partai itu boleh kembali ke gelanggang politik meski dengan nama lain. Dan FIS akan mengumumkan penghentian segala bentuk kekerasan.
Kesepakatan tersebut batal, kata Zeroual, karena beberapa pejabat FIS menuntut dibebaskannya para petinggi mereka lebih dulu sebelum mengumumkan penghentian kekerasan. Para perunding FIS menuntut pula dibentuknya pemerintahan netral untuk mengawasi pemilu presiden nanti.
Keberatan FIS untuk menyerukan penghentian kekerasan sebelum para pemimpinnya dibebaskan, cukup beralasan. Sebab, seruan semacam itu akan melemahkan posisi mereka dan bisa dimanipulasi oleh pemerintah. Dalam pandangan FIS, Zeroual memang amat memerlukan bantuan FIS guna meredam kekerasan, sebelum pemilihan yang dijanjikan akan diadakan akhir tahun ini.
Kalangan oposisi Aljazair umumnya sepakat, pemerintah juga bertanggungjawab atas tindak kekerasan yang terjadi selama ini selain kelompok Islam bersenjata. Sebab, pemerintah telah menjalankan kebijakan penekanan yang serampangan. Jadi, kalau cuma FIS yang harus menyerukan penghentian kekerasan, ia bakal dicap sebagai biang keladi satu-satunya kekerasan di negeri ini.
Presiden Zeroual sendiri berada dalam posisi sulit. Ia tak bebas bergerak, ‘tersandera’ dalam lingkaran para stafnya yang beraliran keras, khususnya dalam militer. Mereka ini tetap berniat menghabisi kelompok Islam. Kelompok yang oleh media massa Barat disebut “eradicators” (pembasmi) ini, menolak semua bentuk dialog dengan FIS. Dua tokoh utama “pembasmi” ini adalah Kepala Staf Angkatan Bersenjata, Jenderal Mohammad Lamari dan otak kudeta Januari 1992, Jenderal Khaled Nezzar.
Dilema Zeroual
Memang serba sulit posisi Presiden Zeroual. Ia sendiri lebih suka dialog dengan kalangan oposisi mana pun yang tak memakai kekerasan. Sejak diangkat menjadi presiden awal 1994, ia langsung menghimbau dilakukannya “dialog nasional” di antara rakyat Aljazair, termasuk dengan FIS.
Namun dua kali perundingan dengan FIS selalu kandas. Perundingan pertama berlangsung antara September sampai Oktober 1994, menyusul pengubahan tempat tahanan Abbasi Madani dan Ali Belhadj menjadi tahanan rumah. Namun, akhir Oktober, Zeroual menghentikan dialog dengan semua partai oposisi, termasuk dengan FIS.
Sebelumnya, dalam bulan Agustus, Zeroual sudah pernah mengundang partai-partai oposisi untuk duduk ‘berdialog’ dengan pemerintah. Namun FIS tak turut diundang. Akibatnya, dari delapan partai yang diundang hanya dua partai gurem yang datang, yaitu Kampanye bagi Kebudayaan dan Demokrasi (RCD) yang diwakili ketuanya, Said Sadi, dan Gerakan Tahaddi yang beraliran komunis. Partai-partai utama menolak karena FIS tak diikutsertakan. Kendati Zeroual selalu menemui kegagalan, kecenderungannya untuk melakukan dialog telah membuat gusar kelompok “pembasmi” dan kalangan pers yang Perancis sentris.
Presiden Zeroual telah menjanjikan pemilihan presiden akhir tahun ini. Tapi tak ada tanggal pasti akan dilaksanakan. Yang jelas, situasi keamanan masih tetap genting selama belum ada kesepakatan antara penguasa dengan parpol terbesar itu.
Sementara itu, seorang mantan pejabat tinggi Aljazair berkata pada Financial Times. Katanya, “Militer menempatkan dirinya dalam situasi di mana mereka tak dapat menunda pemilu lebih lama lagi, tapi banyak orang yakin bahwa mereka tak dapat menyelenggarakannya.”
Gagalnya perundingan dengan FIS dan bayangan aksi kekerasan sebagai akibatnya, bisa jadi menjadi alasan ampuh bagi militer, khususnya kaum “pembasmi”, untuk memblokade pemilu mendatang. Dan ini berarti ketegangan terus-menerus.
Namun, militer harus pula berhitung, mereka kian tak populer di mata rakyat dan dunia. Rakyat tak melihat ada perubahan lebih baik sejak militer merebut kekuasaan. Kehidupan justru kian sulit. Korupsi di kalangan elit tetap merajalela.
Dukungan luar negeri, terutama Perancis, sekarang mulai berkurang. Pemerintah baru pimpinan PM Alain Juppe lebih suka sebuah “solusi politik”. Sebelumnya, Paris secara terbuka mendukung aksi militer terhadap kelompok Islam. Washington sudah lama menasihati Aljazair agar berunding dengan kalangan moderat dalam FIS. Begitu pula dengan Masyarakat Eropa. Aljazair sulit pula untuk menutup telinga karena tahun ini mereka memerlukan bantuan US$ 9 milyar lagi dari Barat untuk menyelamatkan ekonomi negeri yang morat-marit. Lantas, jalan apa yang akan mereka tempuh? Terus mencoba mengembalikan demokrasi atau tetap mempertahankan kekuasaan militer?* (MA)
BACA JUGA:
Tentara Tutsi Bantai Muslim di Burundi
Strategi Kotor Yahudi di Jerusalem
Malcolm X, Pahlawan Kulit Hitam yang Kurang Dikenal
[…] JUGA: Mindanao Terus Menyimpan Bara Rekonsiliasi Tersandung di Aljazair Strategi Kotor Yahudi di […]
[…] JUGA: Sandiwara Damai PBB di Bosnia Rekonsiliasi Tersandung di Aljazair Tentara Tutsi Bantai Muslim di […]