Menolak dengan Bom

Oleh MANSYUR ALKATIRI

Majalah UMMAT Tahun II No. 02, 22 Juli 1996 / 6 Rabiul Awal 1417 H

Kehadiran pasukan AS di Arab Saudi makin ditentang.

BOM TRUK DI AL-KHOBAR. Protes ‘pendudukan’ Amerika

“Siapa menyerang satu orang Amerika, sama saja dengan menyerang seluruh bangsa Amerika,” tegas Bill Clinton dalam pidatonya di KTT G-7 di Lyons, Perancis, tak lama setelah mendengar berita pengeboman terhadap markas pasukan AS di Arab Saudi. Pernyataan keras Presiden Amerika Serikat itu, seperti dilansir CNN pada 26 Juni, seakan mewakili kemarahan seluruh AS yang masih tak bisa paham, kenapa AS  menjadi sasaran serangan.

Korban tewas dalam pemboman Pangkalan Militer Malik Abdul Aziz di Al-Khobar, Dhahran itu, berjumlah 19 orang. Seluruhnya tentara AS. Sementara korban luka 386 orang, termasuk beberapa warga Arab Saudi dan Bangladesh. Ledakan bom dahsyat berkekuatan 2,5 ton yang berasal dari sebuah truk yang diparkir di dekat kompleks militer di Propinsi Timur itu.

Tujuh bulan lalu, bom juga menghentak Pusat Latihan Pengawal Nasional Arab Saudi di Riyadh, yang menewaskan lima tentara AS. Pemerintah Saudi memerlukan waktu lebih dari empat bulan untuk menangkap empat pelakunya. Keempat pelaku, yang warga Saudi itu, kemudian dihukum pancung pada 31 Mei. Oposan Muslim, sebelumnya, sudah mengancam akan menyerang pasukan AS bila ke-4 orang itu dieksekusi.

Motif

Penyelidikan masih intensif dilakukan. Namun hampir pasti, motif utama pengeboman adalah ketidaksenangan warga Arab Saudi terhadap kehadiran pasukan Amerika di negara mereka. Perasaan anti-Barat mulai menguat sejak 1991, saat ratusan ribu tentara Barat membanjiri Arab Saudi dalam Perang Teluk melawan Irak. Pasukan sebesar itu telah menyinggung perasaan sebagian rakyat Saudi. Sebagian memandang semi-pendudukan itu telah melanggar tempat-tempat suci Islam. Yang lain, melihat pasukan itu melanggar kedaulatan Arab Saudi.

Menurut Ralph Begleiter, dari CNN, kebencian rakyat Saudi terhadap Barat bisa dirinci dalam dua kelompok. Pertama, mereka yang menganggap Barat -terutama AS- telah menjadi penyangga monarki Arab Saudi. Kedua, mereka yang merasakan kehadiran orang-orang Barat merusak akhlak dan budaya Islam yang lama tertanam kuat.

Golongan pertama adalah kalangan intelektual Arab Saudi berpendidikan Barat yang ingin melihat negaranya demokratis. Kehadiran pasukan AS justeru melindungi kekuasaan monarki yang tak demokratis itu. Tokoh yang menonjol dalam kelompok ini adalah Muhammad Massari. Ia kini menetap di London dan mengetuai Committee for the Defence of Legitimate Rights (CDLR). Lewat faksimile dan e-mail, CDLR gencar memasok informasi anti-pemerintah kepada rakyat Saudi.

Kelompok kedua adalah kaum ulama, terutama ulama muda. Berpusat di Buraydah. Kehadiran ratusan ribu serdadu Barat -selama perang Teluk- dan ribuan di antaranya tetap bercokol hingga saat ini, dianggap merusak tatanan akhlak dan budaya Islam di nagara kaya minyak itu. Menurut beberapa sumber, lebih dari 100 ulama dan pendukungnya kini ditahan, antara lain Salman Fahd Audah dan Safar Hawali.

Para pejabat AS dan Arab Saudi yang khawatir, berusaha menutup-nutupi jumlah sebenarnya tentara AS di sana. Di depan umum, mereka mengatakan jumlah tentara itu hanya 5.000 orang. Namun menurut sumber-sumber diplomatik, seperti dikutip CNN, jumlah sebenarnya tiga atau empat kali lipat lebih besar –sekitar 20.000 serdadu. “Kami berusaha tak menonjol-nonjolkan kehadiran mereka,” kata Presiden Bill Clinton suatu hari.  Sekitar 40.000 warga sipil AS juga bekerja di negeri padang pasir ini.* (MA)

BACA ARTIKEL LAINNYA:
TURKI, Bulan Sabit di Menara Sekularisme
Tersudut di Sahara Barat
Ancaman bagi Kehadiran Amerika di Arab Saudi

By mansyur

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *