Pangeran Biru Mengincar Mahkota

Oleh: Mansyur Alkatiri

Dari: Majalah UMMAT, No. 48 Thn. III, 22 Juni 1998

Sebagai tuan rumah Perancis punya peluang meraih gelar juara

PERANCIS. Mengincar Mahkota
PERANCIS. Mengincar Mahkota

 

Piala Dunia baru saja dimulai, namun Aime Jacquet sudah berani sesumbar. Pelatih tim nasional Perancis ini begitu yakin bakal mempersembahkan mahkota juara dunia bagi negaranya. Ia pun langsung memasang ancar-ancar untuk mundur usai turnamen akbar itu. “Pada 13 Juli nanti, saya akan ucapkan selamat tinggal,” katanya. “Pengumuman akan saya sampaikan setelah malam sebelumnya kami melakukan victory lap di Stade de France, setelah tim Perancis merebut mahkota juara dunia.”

Melihat prestasi tim Negeri Parfum ini di kancah internasional tahun-tahun akhir ini, orang boleh mencibir kesombongan Jacquet. Namun pelatih bertubuh kerempeng ini punya alasan kuat untuk berbangga diri. “Saat ini saya punya senjata berlebih. Kami bisa menang dan bermain spektakuler,” tukasnya.

Jacquet tidak salah. Itu ia buktikan dengan sulitnya mencoret pemain. Dengan hati berat, ia terpaksa mencoret nama-nama besar macam Ibrahim Ba, Sabri Lamouchi, dan bahkan striker muda Arsenal, Nicholas Anelka. pencoretan itu semata karena stok yang berlebih, bukan soal prestasi.

Kesebelasan Pangeran Biru (Les Bleus) ini akan memainkan pertandingan pertama melawan Afrika Selatan (12/6), lalu Arab Saudi (18/6) dan Denmark (24/6). Peluang terbuka bagi Zinedine Zidane dkk untuk menjuarai Grup C ini, dan melaju ke babak-babak selanjutnya.

Faktor Tuan Rumah

Sejarah sepakbola Perancis di Piala Dunia agaknya identik dengan tragedi. Padahal seperti halnya olimpiade moderen, Piala Dunia adalah gagasan orang Perancis. Perancis bahkan tak pernah mampu mencapai babak final sejak kejuaraan itu digulirkan 1930. Prestasi terbaik diraih Michel Platini dkk di Meksiko 1986, dengan menempati urutan ketiga. Perancis bahkan gagal maju ke putaran final dalam dua Piala Dunia terakhir (1990, 1994).

“Perancis lolos ke Piala Dunia 1998,” tulis headline harian setempat, Liberation, di tahun 1993, setelah Perancis ditunjuk sebagai tuan rumah Piala Dunia oleh FIFA. Judul itu jelas merupakan sindiran, karena sehari sebelumnya rakyat Perancis harus menanggung malu gagal lolos ke Piala Dunia 1994, setelah ditahan seri Bulgaria 1 – 1.

Kegagalan itu memaksa federasi sepakbola nasional Perancis mengalihkan kursi pelatih dari Gerard Houilier ke pundak Aime Jacquet, yang baru sukses membawa klub Bordeaux juara Liga Perancis. Di bawah pelatih baru ini, Perancis menunjukkan prestasi bagus, antara lain 30 kali tak terkalahkan sebelum ditebas Denmark September 1996.

Aime Jacquet beruntung dengan munculnya banyak talenta muda, yang kemudian tersebar di klub-klub besar Eropa. Mereka ini menjadi komoditas ekspor baru Perancis, yang sudah dikenal sebagai negeri eksportir anggur dan disain. “Legiun Asing” inilah yang menjadi tulang punggung timnas.

Dari Italia misalnya, ada Zinedine Zidane, Didier Deschamps (Juventus), gelandang Youri Djorkaeff, Lilian Thuram (Inter Milan) serta Marcel Desailly (AC Milan). Di Spanyol, ada Christian Karembau, gelandang bertenaga kuda. Di Inggris, ada Emmanuel Petit, Patrick Vieira (Arsenal) dan Franck Lebouf (Chelsea). Sedang di Munich bermukim Bixente Lizarazu.

Tersebarnya pemain itu tak merusak harapan Pangeran biru meraih Piala Dunia. Sebab mereka justeru meningkat kemampuannya setelah bermain di luar. Contohnya Zidane yang lahir dan tumbuh di pinggiran kota Marseille, kini menjadi pemain besar dan inspirator tim.

“Ia pemain jenius,” aku Jacquet. “Sejak bermain di Italia, ia selalu tampil hebat setiap pertandingan. Ia juga memberi dimensi baru. Dengan Zidane, kami akan merebut Piala Dunia.”

Lini tengah Perancis yang terdiri dari Zidane, Deschamps, Karembeu dan Djorkaeff/Robert Pires memang mengingatkan publik pada kuartet Michel Platini, Jean Tigana, Alain Giresse dan Luis Fernandez di tahun 1980-an. Generasi Platini ini, yang merebut Piala Eropa 1984, dikenal sebagai “Brazilnya Eropa.”

Hanya sayangnya tim Jacquet agak lemah di posisi penyerang. Jacquet lebih menyukai striker Stephane Guivarc’h (Auxerre) dan David Trezeguet (20) asal Monaco. Kedua pemain ini memang punya bakat besar, tapi miskin pengalaman internasional.

Tapi segala kekurangan yang ada, mungkin saja bisa tertutupi oleh posisinya sebagai tuan rumah. Dukungan besar publik di stadion, seringkali menjadi kekuatan menentukan suatu tim. Dan kini Perancis diuntungkannya. Hanya saja Jacquet mengeluhkan sikap penggemarnya yang cenderung negatip. “Orang Perancis selalu mengkritik,” katanya pada majalah France Football. “Mereka suka melihat keindahan dimanapun tapi tidak di negeri sendiri.”

Namun sebagaimana diakui Jacquet, dalam sebuah event besar, manakala kebanggaan nasional dipertaruhkan, fans berat Les Bleus selalu ada di stadion memberi dukungan besar. “Itulah yang membuat saya tambah yakin,” tukas sang pelatih. Dan bagi Jacquet itu berarti gelar juara dunia.

Mansyur Alkatiri

By mansyur

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *