Oleh MANSYUR ALKATIRI
Majalah UMMAT Tahun I No. 20, 1 April 1996 / 12 Zulkaidah 1416 H
Sudan menggelar pemilu pertama sejak kudeta 1989. Oposisi sekular dan Kristen memboikot.
Di bawah bayang-bayang sanksi Dewan Keamanan PBB dan gejolak politik dalam negeri, Republik Islam Sudan melangsungkan pemilihan umum, 6-17 Maret 1996. Ini pemilu pertama sejak kudeta tak berdarah 1989 yang memungkinkan naiknya Jenderal Omar Hasan-al-Bashir ke puncak kekuasaan dan menjadikan Sudan sebagai Republik Islam.
Sepuluh juta rakyat Sudan diperkirakan turut memberikan suara dalam pemilu untuk memilih presiden dan anggota parlemen. Ada 41 orang yang mencalonkan diri jadi presiden, termasuk al-Bashir sendiri. Sedangkan 911 calon turut berlaga memperebutkan 275 kursi di parlemen. Termasuk di antaranya Hasan Turabi, ketua Front Islam Nasional yang menjadi arsitek islamisasi di negeri terluas di Afrika ini. Turabi akan menghadapi tiga pesaing di ibu kota Khartoum. Dalam pemilu ini, seluruh calon maju sebagai kandidat independen, karena semua partai politik telah dilarang sejak kudeta 1989.
Ada 275 distrik pemilihan di seluruh Sudan, 230 di antaranya di Utara. Namun dari 45 distrik di Selatan, pemilu hanya memungkinkan digelar di 35 distrik. Sepuluh distrik sisanya kini berada di bawah kekuasaan kaum pemberontak animis dan Kristen. Untuk mengatasi hal ini, presiden terpilih diberi wewenang menunjuk anggota parlemen guna mewakili wilayah bergolak tersebut.
Boikot
Namun, pemilu ini diboikot oleh kekuatan-kekuatan oposisi. Pemberontak di Selatan juga menampik ajakan al-Bashir untuk berpartisipasi. Termasuk yang memboikot adalah Sadiq al-Mahdi, mantan perdana menteri yang merupakan ketua Partai Ummah. Selain al-Mahdi, tokoh-tokoh politik yang memboikot berasal dari partai-partai beraliran sekular, termasuk komunis.
Al-Mahdi, yang juga saudara ipar Hasan Turabi, dibebaskan dari penjara pada pertengahan tahun lalu dalam suatu amensti umum terhadap semua tahanan politik. Ia menolak turut serta dalam pemilu karena dianggapnya “kedok bagi kediktatoran”. Al-Mahdi saat ini menjadi simbol barisan oposisi penentang pemerintahan al-Bashir.
Meski demikian, menurut sumber-sumber oposisi Sudan di luar negeri, akhir-akhir ini suara Al-Mahdi tak lagi sekeras dulu. Sadiq al-Mahdi berusaha menghindari bentrokan kembali dengan penguasa. Tapi, bisa jadi asumsi ini keliru. Jumat (8/3) lalu ia masih lantang bersuara menentang pemilu dan pemerintah di depan sekitar 4.000 pendukungnya di mesjid Umdurman. Barangkali yang menjadi alasan oposisi adalah sikap al-Mahdi yang menolak bergabung ataupun mendukung Deklarasi Asmara yang berisi tekad untuk menggunakan semua kekuatan yang ada, termasuk kekuatan militer, untuk menjatuhkan pemerintahan al-Bashir. Deklarasi tersebut ditandatangani Juni tahun lalu di Asmara, ibu kota Eritrea, oleh partai-partai oposisi Utara dan pemberontak Selatan.
Eritrea, tetangga terdekat Sudan yang dikenal amat mesra berhubungan dengan Israel dan AS, kini menjadi markas utama oposisi Sudan, selain Kairo. Permusuhan rezim Isaias Afwerki, seorang Kristen yang tanpa melalui pemilu memegang tampuk kekuasaan di negeri Muslim ini, terhadap pemerintah Khartoum memang terang-terangan. Akhir tahun lalu, tanpa mengindahkan norma-norma diplomatik yang ada, Afwerki mengusir seluruh staf kedutaan Sudan di Asmara dan menyerahkan gedung kedutaan pada Aliansi Demokratik Nasional, payung kelompok oposisi Sudan.* Mansyur Alkatiri
BACA JUGA:
Muslim Inggris Boikot Pendidikan Agama di Sekolah
Partai Al-Wasat: Wadah Muslim Moderat Mesir
Islam di Polandia
[…] JUGA: Pemilu Tanpa Partai di Sudan Muslim Inggris Boikot Pendidikan Agama di Sekolah Islam di […]