OPTIMISME MUSLIM DI “NEGERI DEMOKRASI”

Oleh MANSYUR ALKATIRI

Majalah UMMAT, Thn. I No. 15, 22 Januari 1996 / 3 Ramadhan 1416 H

Imam Warithuddin berhasil mengangkat peran Muslim Afro-Amerika. Kini posisi politik mulai dirambah

IMAM WARITH DEEN MUHAMMAD. Memimpin Muslim menapak masa depan

Mungkinkah seorang Muslim menjadi calon presiden di Amerika Serikat? Mengapa tidak? Imam Warith Deen Muhammad (62), pemimpin Muslim Afro-Amerika (kulit hitam AS), kini tengah memikirkan kemungkinan itu. Namun, meski dirinya seorang tokoh kulit hitam, Warith Deen tak merasa harus menampilkan seorang calon Muslim kulit hitam. “Bisa jadi dia Muslim keturunan India, Pakistan, atau Mesir,” tegasnya pada surat kabar Arab News.

Keinginan Warith Deen memang beralasan. Muslim di Amerika, termasuk kaum Afro-Amerika-nya tengah mengalami kemajuan pesat selama tahun-tahun terakhir. Peran politiknya juga kian meningkat. “Kami punya orang-orang yang duduk dalam posisi penting di pemerintahan di New Jersey, Atlanta, Chicago, Los Angeles, dan banyak kota lainnya. Salah satunya malah menjadi wakil walikota di Detroit, Michigan,” tutur Warith Deen. Kenyataan inilah yang membuat Imam Warith optimis terhadap masa depan Islam di AS.

Imam Warith Deen saat ini mengelola lebih dari 200 mesjid di seluruh AS. Ia menjadi Muslim pertama yang memimpin doa dalam acara pembukaan sidang pertama Kongres AS. Namanya tercantum dalam catatan Kongres AS sebagai salah satu tokoh yang bekerja keras untuk mempersatukan Amerika. Pemerintah Mesir memberinya penghargaan “Order of Merit” karena usaha-usahanya mendakwahkan Islam di AS.

Kembali ke Agama Asal

Bagi bangsa Afro-Amerika, Islam sebenarnya bukanlah barang baru. Nenek moyang mereka yang datang pertama kali ke bumi Amerika sebagai budak, kebanyakan juga beragama Islam. Tuan-tuan merekalah yang mengubah agama para budak itu menjadi Kristen. Kesadaran historis itulah, ditambah ajaran tentang persamaan derajat semua manusia, amat membantu penyebaran Islam di kalangan masyarakat kulit hitam Amerika.

Orang Amerika diperkirakan mulai memeluk Islam sekitar 1920-an. Noble Drew Ali, seorang Afro-Amerika, waktu itu mendirikan kelompok bernama Moorish Science Temple atau Moorish Americans. Kemudian lahir kelompok Nation of Islam yang dipimpin Elijah Muhammad, ayah Warith Deen. Elijah amat dipengaruhi oleh ide-ide anti kulit putih dari W.D. Farad. Asal-usul Farad sendiri tak jelas. Ia mengaku berasal dari Mekah. Namun banyak yang percaya, termasuk Warith Deen, Farad pendatang dari sub-benua India.

Tumbuhlah gerakan untuk mencari akar budaya dan jawaban bagi pertanyaan: Siapakah kami ini? Dari bagian benua Afrika mana kami berasal? Apa agama asli kami? Gerakan itu terutama berlangsung antara 1930 sampai 1960. “Setelah 1960-an, kami mulai tahu banyak tentang Muslim,” ujar Warith Deen.

MUSLIM AFRO-AMERIKA. Kembali ke agama asli nenek moyang mereka

Elijah Muhammad mengenal Farad pada 1931. Ia amat terkesan pada kepribadian teman barunya itu. Farad mengubah hidup Elijah dan menjadikannya “manusia baru” yang membenci minuman alkohol dan daging babi. Mereka dirikan Nation of Islam sebagai sarana untuk menentang superioritas kulit putih.

Tapi, lain ayah lain pula anaknya. Warith Deen sejak kecil sudah kritis terhadap ajaran ayahnya. Nation of Islam mempercayai Farad sebagai tuhan. Warith Deen kecil tak puas berdoa kepada “tuhan” Farad. Ia yang masih berusia 13, menambah doanya dengan permohonan, “Oh Tuhan! Jika saya salah memahami Anda, koreksilah kami.” Permintaan itu akhirnya menolong Warith Deen menemukan kebenaran.

Pada 1963, Warith Deen mulai menentang ajaran Nation of Islam secara terbuka, meneruskan sikap yang pernah ditunjukkan Malcolm X, mantan murid utama Elijah. Keputusannya itu membuat hubungannya dengan sang ayah berantakan. Namun, pada detik-detik akhir hidup ayahnya, mereka akrab kembali. “Dia mengatakan kepadaku sesaat sebelum menghembuskan napas terakhirnya: ‘Anakku, pasti ada kehidupan setelah kematian.’ Ini berbeda dengan keyakinan sebelumnya!” katanya.

Warith Deen mengambil alih kepemimpinan Nation of Islam sepeninggal Elijah. Ia melihat banyak pengikut Nation of Islam yang tak bisa memahami teori ketuhanan dari Elijah. Mereka mau menjadi pengikut hanya karena perhatian besar Elijah pada bangsa kulit hitam. Segera Warith Deen mengadakan koreksi atas ajaran-ajaran menyimpang ayahnya, terutama mengenai konsep ketuhanan dan kenabian. Dan ternyata perubahan ini disambut baik oleh kebanyakan pengikut Nation of Islam.

Warith Deen juga menolak ajaran superioritas kulit hitam dari ayahnya. Ia memusatkan dakwah untuk memberi informasi tentang ajaran-ajaran Islam yang benar pada seluruh rakyat Amerika. “Saya menghadirkan Islam sebagai agama kemanusiaan dan agama bagi seluruh bangsa, agama yang menghargai seluruh rakyat dan budaya,” jelasnya.

Faktor Louis Farrakhan

Dakwah Imam Warith Deen di kalangan masyarakat Afro-Amerika saat ini mendapat saingan dari Louis Farrakhan, pengikut Elijah Muhammad yang tetap berpegang pada ajaran gurunya. Farrakhan inilah yang kini justru dianggap sebagai pemimpin Nation of Islam, bukannya Warith Deen. Itu dikarenakan para pengikut Warith Deen lebih suka menggunakan nama baru, yaitu Muslim Community. Nama Nation of Islam dianggap mengandung makna politis yang bisa merugikan langkah perjuangan mereka.

Louis Farrakhan yang meninggalkan Warith Deen setelah dua setengah tahun bersamanya, lalu menggunakan Nation of Islam sebagai nama gerakannya. Namun jumlah pengikut Farrakhan kalah besar dibanding Muslim Community. Beberapa surat kabar besar menyebut pengikut Farrakhan sekitar 70.000 orang, sementara pengikut Warith Deen lebih dari 200.000. Namun Warith Deen sendiri mengklaim bahwa pengikutnya lebih dari satu juta jiwa. “Farrakhan mendapatkan nama itu, tapi sebagian besar pengikut ayah saya berada di samping saya,” ujar Warith Deen.

Farrakhan masih mengajarkan ajaran keliru Nation of Islam yang mengangkat Elijah sebagai tuhan. “Saya telah mengajaknya kepada jalan yang benar. Saya bahkan telah menantangnya untuk berdebat, tapi Farrakhan tak mau menerima,” kata Warith Deen. Ia kini tengah berpikir untuk menggunakan kembali Nation of Islam bagi gerakannya sehingga Farrakhan tak bisa lagi memanfaatkannya demi tujuan-tujuan politik dan pribadinya.

Warith Deen tergolong orang yang berhati-hati. Ia ketat menjaga reputasi pribadi dan organisasinya sebagai Muslim yang anti ide rasialis, dari mana pun datangnya. Ia, misalnya, menolak mendukung “pawai sejuta manusia” (million man march) yang diprakarsai Louis Farrakhan.

Tiga hari sebelum pelaksanaan pawai, seorang muridnya meminta izin turut serta. “Saya bukan pendukung Farrakhan, tapi saya rasa pawai itu cukup bermakna bagi rakyat kulit hitam,” ujarnya. Warith Deen menjawab, “Saya tak melarang Anda ikut, tapi saya sendiri tak mendukung pawai itu,” tegas Warith Deen. Ketegasan sikapnya itu dimaksudkan agar tak tumbuh kesan di kalangan umum bahwa dirinya mendukung prinsip-prinsip Farrakhan. Lagipula, “Farrakhan mendapat dukungan utama dari gereja Kristen, bukan dari Muslimin. Jumlah Muslim Afro-Amerika yang turut dalam pawai itu sangat kecil. Gereja memberi dukungan karena kepemimpinan Kristen kulit hitam di Amerika sangat lemah. Mereka menggunakan momentum pawai guna memperoleh dukungan kaum kulit hitam,” lanjutnya.

Muslim Community memang memiliki mesjid dan sekolah sendiri yang tersebar di seantero AS. Namun Warith Deen tak menganggap kelompoknya terpisah dari komunitas Muslim lainnya. “Selama tujuh tahun terakhir kami giat menggalang kerjasama dengan kelompok-kelompok Islam lainnya untuk menciptakan masyarakat Muslim yang bersatu,” ujarnya bersemangat.* Mansyur Alkatiri

BACA JUGA:
Pemurtadan Gaya Amerika
Imam Muslim Tentara Amerika
Mumia Abu-Jamal Menanti Keadilan Amerika

By mansyur

One thought on “Optimisme Muslim di Amerika Serikat”

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *