Oleh MANSYUR ALKATIRI
Majalah UMMAT Tahun I No. 09, 30 Oktober 1995 / 6 Jumadil Akhir 1416 H
Presiden Sani Abacha menjanjikan pemilihan presiden tiga tahun lagi. Tapi oposisi menolaknya.
Presiden Nigeria, Jenderal Muhammad Sani Abacha, memberi “kado” kemerdekaan pada rakyatnya. Namun sebagian rakyat tak mau menerimanya.
Dalam pidato resmi menyambut hari kemerdekaan Nigeria yang ke-35, 1 Oktober lalu, ia berjanji akan memulihkan pemerintahan sipil dalam masa tiga tahun. “Hanya militer yang mampu menciptakan pemerintahan sipil yang stabil. Dan itu perlu waktu,” katanya. Abacha menjanjikan pemilihan presiden pada 1998, menerapkan sistem politik multi partai dan model kepresidenan bergilir antar wilayah utara dan selatan.
Keinginan Abacha ini langsung ditentang oleh kelompok oposisi utama, National Democratic Coalition (NADECO), yang didominasi kalangan Kristen dari wilayah selatan. Mereka menuntut agar pemerintah langsung saja menyerahkan kekuasaan pada Moshood K.O. Abiola, seorang konglomerat muslim asal selatan, yang dianggap memenangkan pemilihan presiden Juni 1993. Pemilu itu dianulir oleh militer.
Moshood Abiola kini masih mendekam dalam penjara militer, sejak 15 bulan lalu. Ia ditahan karena menyatakan diri sebagai presiden Nigeria yang sah. Tapi Abacha sendiri telah mengakui, dirinya bersalah dalam kasus Abiola ini. Ia pun lalu mengumpulkan hakim-hakim baru guna mengadili Abiola di Mahkamah Agung.
Untuk menarik simpati oposisi dan mengurangi ancaman sanksi dari luar negeri, Abacha menyelamatkan nyawa 12 orang oposan yang telah dijatuhi hukuman mati oleh pengadilan rahasia. Termasuk dua jendral purnawirawan, Olusegun Obasanjo dan Shehu Musa ‘Yar Adua. Obasanjo ini satu-satunya mantan presiden yang mengembalikan kekuasan ke tangan sipil pada 1979, sedang Musa ‘Yar Adua, tokoh dari Gerakan Demokratik Rakyat (PDM) adalah mantan pembantu utamanya. Peradilan mereka cacat sedari awal. Tak ada bukti meyakinkan keterlibatan orang-orang itu dalam konspirasi untuk menjatuhkan Abacha.
Sebelumnya, rezim Abacha yang naik kuasa lewat kudeta November 1993 ini telah mencabut larangan terbit dua lembaga pers independen, Concord (milik Abiola) dan Punch.
Konstitusi Baru
Selain janji pemilu, Sani Abacha juga mengenalkan konstitusi baru yang cukup kontroversial. Konstitusi ini dirumuskan oleh 367 orang anggota National Constitutional Conference (NCC). Untuk pertama kalinya, kekuasaan akan digilir diantara enam wilayah yang ada. Ini merupakan kemenangan wakil-wakil dari selatan, basis utama Kristen Nigeria. “Untuk pertama kali sejak dibentuknya Konferensi Konstitusional tahun 1953, kepentingan wilayah utara dan hak-hak Muslim dicemooh dan diabaikan,” tulis Bello Bashir Gwarzo, dalam majalah Impact. Penyebabnya adalah, mereka hampir tak bisa bersatu dalam semua masalah yang dibicarakan.
Orang-orang Kristen yang minoritas sudah lama menuntut hak untuk bisa menjadi presiden. Padahal sekitar 80 persen dari 90 juta penduduk Nigeria beragama Islam. Mereka umumnya mendiami wilayah utara, yang telah menjadi wilayah Islam sejak jaman Khalifah Umar bin Khattab. Secara ekonomi, wilayah utara jauh lebih kaya, menjadi penyuplai utama devisa dari hasil minyak dan pertanian. Dalam istilah Profesor Ango Abdullahi, ahli pertanian dan mantan wakil rektor Universitas Ahmadu Bello, “Wilayah Utara adalah keranjang roti negeri ini, menghasilkan makanan untuk menopang seluruh bangsa Nigeria”.
Menurut konstitusi baru, presiden, wakil presiden, perdana menteri, wakil perdana menteri, ketua senat dan juru bicara DPR akan dipegang oleh orang-orang dari partai dan kelompok etnik yang berbeda. Namun tak banyak orang yang yakin apakah konsep itu dapat berjalan baik. Yang mencuat justeru perasaan khawatir, sistem baru itu justeru potensial mengancam kesatuan negara. Tapi, semuanya terpulang pada rakyat Nigeria sendiri.* (Mansyur Alkatiri)
BACA JUGA:
Mumia Abu-Jamal Menanti Keadilan Amerika
Muslim AS, Dirampas dan Dimurtadkan
Aljazair, Taruhan Politik Rezim Zeroual