Rintihan Dari Western Thrace
Oleh: Mansyur Alkatiri
Sumber: Majalah UMMAT, No. 35 Thn. III, 23 Maret 1998
Minoritas Muslim di Yunani hadapi penindasan HAM sistematis. Eropa diam seribu bahasa
Barat getol menyuarakan hak-hak kelompok minoritas Kristen di banyak negara. Bahkan di Kongres Amerika Serikat, kini tengah digodok undang-undang yang akan memberi sanksi pada negara yang mereka anggap melakukan diskriminasi terhadap umat Kristen. Daftar negarapun dibuat, dan kebanyakan adalah negara yang mayoritas penduduknya Muslim, termasuk Indonesia, Sudan dan Iran.
Bagaimana dengan derita minoritas Muslim di negara yang mayoritas penduduknya Kristen? Eropa dan AS tutup mata tutup kuping. Tragisnya, tak banyak pula negara Islam yang peduli. Nasib Muslim di Yunani misalnya, nyaris tak terdengar di telinga muslimin negara lain.
Muslim di Western Thrace (Yunani timur laut), sudah lama menderita akibat perlakuan buruk pemerintah dan masyarakat Kristen Ortodoks Yunani. “Orang Yunani menyerang warga dan masjid-masjid kami. Kami khawatir akan terjadi pembersihan etnis disana,” ujar Mehmet Emin Ega, Mufti kota Xanthi pada Muslim News (27/2) di London belum lama ini.
Beberapa hari sebelum Mufti Emin Ega ke London memenuhi undangan silaturahmi masyarakat asal Western Thrace di ibukota Inggris itu, orang Yunani menyerang Masjid Muhajir di Skepje dengan bom molotov. Namun untungnya, kata Mufti, tak ada jamaah shalat yang terluka.
Ketika pecah bentrokan antara warga Muslim Turki dan Kristen Yunani di Siprus dua tahun lalu, imbasnya sampai ke Western Thrace. Orang-orang Kristen Yunani menyerang toko-toko dan rumah milik Muslim, dan memukuli Muslim di kota Komotini. “Tujuannya untuk menakut-nakuti Muslim agar mereka mau keluar dari Yunani,” jelas Mufti Emin Aga.
Pertumbuhan komunitas Turki di Western Thrace sebetulnya cukup tinggi, namun angka jumlah penduduk tetap statis, sekitar 150.000 jiwa. Ini dikarenakan besarnya jumlah mereka yang memilih lari ke luar negeri.
Para Mufti dalam masyarakat etnis Turki, menurut sebuah UU yang baru disahkan 1990, dipilih oleh pemerintah Yunani. Sebelum itu, Mufti dipilih sendiri oleh masyarakat Turki. Kantor Mufti di Xanthi dan Komotini kini diduduki oleh Mufti tunjukan pemerintah Yunani. “Ini bertentangan dengan Perjanjian Athena (1913) dan Perjanjian Lausanne (1923), yang menyatakan bahwa pejabat agama harus dipilih sendiri oleh anggota masyarakat minoritas itu,” tambah Mufti.
Mufti Mehmet Emin Ega, yang dipilih sendiri oleh warga minoritas Turki sebagai Mufti Xanthi Iskece, 750 km utara Athena, pernah harus mendekam 10 bulan di penjara pada Januari 1995. Oleh pengadilan ia dipersalahkan “memakai gelar Mufti” dan “berceramah dalam kapasitas Mufti ilegal.” Setelah itu Mufti Emin Aga tercatat tiga kali dihukum penjara, namun selalu menang dalam pengadilan banding. Mufti lain yang jadi sasaran adalah Ibrahim Serif, yang terpilih sebagai Mufti Komotini pada 1990. Ia ditahan dua tahun lalu.
Muslim kurang mendapat kesempatan menyekolahkan anaknya. Kondisi bangunan sekolah disana buruk. Buku teks sudah ketinggalan jaman, dan guru masih bergantung pada kurikulum 1951. Ujian akhir hanya dilakukan dalam bahasa Yunani, meski pelajaran diberikan dalam bahasa Turki. Hanya sedikit saja anak keturunan Turki yang bisa bersekolah, 60 persen nya dikirim orang tua mereka ke Turki. Sampai 1995, tak seorang Muslim pun yang bisa kuliah di Universitas Yunani.
Mansyur Alkatiri