Oleh MANSYUR ALKATIRI
Dari:Majalah UMMAT, Tahun I No. 23, 13 Mei 1996 / 25 Zulhijah 1416 H
Perlawanan bersenjata Pattani melemah. Tapi kini lahir kekuatan baru dalam menghadapi diskriminasi budaya di Pattani.
“Apa Pattani bukan bagian dari Thailand? Apa kami tak membayar pajak?” tanya Muk Sulaiman geram. Anggota parlemen nasional dari propinsi Pattani ini kesal karena proyek jalan tol dari kota Hat Yai di Thailand selatan ternyata cuma sampai di Kota Chana, yang berbatasan dengan Pattani, wilayah Muslim Melayu.
Hat Yai dan Chana terletak di wilayah yang di huni etnis Thai yang beragama Budha, agama resmi “negeri gajah putih” ini. Padahal proyek pemerintah pusat tersebut cukup vital dalam menunjang perekonomian wilayah selatan, apalagi bagi kawasan etnis Melayu yang paling terbelakang ekonominya. Pemerintah memang berencana menambah panjang jalan tol tersebut agar melewati kawasan Muslim. Namun, itu dilakukan setelah Wan Muhammad Noor Matha, seorang Muslim Melayu, diangkat menjadi menteri transportasi dan komunikasi Juli lalu. Ia Muslim pertama yang menjadi menteri di Thailand.
Muslim Melayu Thailand tinggal di empat propinsi selatan yang berbatasan dengan Malaysia, yaitu Satun, Pattani, Yala dan Narathiwat. Jumlahnya sekitar 3,8 juta jiwa dari 53 juta penduduk Thailand.
Selama puluhan tahun, tepatnya sejak dimasukkannya wilayah Kesultanan Pattani ke dalam Thailand secara paksa di awal abad ini, umat Islam mengalami penindasan dan diskriminasi di segala sektor. Penguasa Thai menerapkan politik asimilasi secara paksa. Identitas Melayu dan agama Islam berusaha dilenyapkan.
Pemerintah Bangkok secara resmi melarang penggunaan bahasa dan tradisi Melayu, termasuk juga penerbitan dalam bahasa Melayu. Syariat dihapus, digantikan hukum Thai. Sementara pos-pos pemerintahan, diisi oleh orang-orang Budha Thai. Kebijakan ini menyebabkan bangsa Melayu memberontak. “Tak mudah bagi kami untuk menerima tradisi Thai seperti yang dilakukan etnis China,” ujar Ibrahim Narong Rakaset, dosen muda di College of Islamic Studies di Pattani.
Begitulah, selama puluhan tahun bangsa Muslim Melayu mengangkat senjata melawan kekuasaan “penjajah” Thai. Mereka ingin merdeka. Sebab, hanya dengan kemerdekaanlah identitas agama dan budaya mereka bisa terjaga. Sekurangnya ada 4 kelompok perlawanan bersenjata di kalangan bangsa Pattani, yaitu Barisan Islam Pembebasan Pattani (BIPP), Barisan Revolusi Nasional (BRN), Pattani United Liberation Organization (PULO) dan Gerakan Mujahidin Pattani (GMP). Pada 1991 mereka membentuk wadah bersama, Barisan Bersatu Untuk Kemerdekaan Pattani (BERSATU).
Strategi Baru
Setelah tentara Thai melancarkan operasi militer besar-besaran antara 1968-1975, kekuatan gerakan bersenjata Pattani agak melemah. Kini, bahkan kurang terdengar lagi aktivitas tempurnya. Para tokohnya lebih sering berjuang mencari dukungan dan pengakuan internasional. Namun ini tak berarti kekuatan bangsa Muslim Melayu sudah habis. Malah generasi baru kini tengah lahir, yang dipelopori oleh ulama-ulama muda, lulusan beberapa universitas Timur Tengah dan Pakistan.
Mereka alim dalam ilmu agama dan punya wawasan politik luas. Tetapi, berbeda dengan generasi sebelumnya, mereka lebih suka menempuh cara-cara nonkekerasan untuk menjaga identitas agama dan budaya bangsa mereka. Mereka berkonsentrasi dalam bidang pendidikan dan dakwah. Suasana politik di Bangkok yang makin demokratis turut mendukung strategi baru ini. “Sekarang, Muslim siap menerima pemerintah lebih daripada yang dilakukan pemerintah untuk memahami Muslim,” kata Ismail Ali, dekan di College of Islamic Studies di Pattani.
Figur-figur politisi Muslim kini juga muncul. Sekarang ada 13 Muslim anggota parlemen dan empat anggota Senat. Lima anggota dari Partai Aspirasi Baru, termasuk Muk Sulaiman, membentuk Kelompok Persatuan (Wahda Group) guna memperkuat suara muslim di Bangkok. “Sebelum ini Muslim anggota parlemen tak berpengaruh karena tersebar dalam berbagai partai,” kata Muk pada Far Eastern Economic Review. “Dengan bersatu di satu wadah, kami bisa memperoleh lebih banyak kursi dalam kabinet.”
Meski demikian, kawasan Muslim di selatan masih tergolong paling miskin dan terbelakang. Investasi melempem, sedangkan harga karet, komoditi utama wilayah ini, tak stabil. Banyak perusahaan di jalankan oleh non-Muslim atau etnis Cina. Pendapatan per kapita rata-rata di empat propinsi Muslim hanya 23.000 baht (US$ 917), dibanding angka 30.000 baht di propinsi lainnya yang non-Muslim.
Batas Budaya
Meski perlawanan bersenjata kini melemah, ikatan kawasan ini dengan Islam justeru kian menguat. Pemerintah memang menyediakan banyak sekolah negeri secara gratis. Namun, menurut Ibrahim Narong Rakaset, 60 % keluarga Muslim lebih suka menyekolahkan anaknya ke pondok, sebutan bagi sekolah swasta Islam.
Salah satu pondok terkenal ada di Berau, yang dibangun di belakang sebuah masjid indah berwarna putih. Sekolah ini punya 1.400 murid yang berdatangan dari seluruh Thailand. Sang kepala sekolah, Ismail Lutfi, adalah doktor dalam ilmu syariah lulusan sebuah universitas Arab Saudi. Ia dikenal luas di Thailand selatan. Lutfi menggunakan bahasa Melayu sebagai bahasa pengantar. Tesisnya, tentang penerapan syariat dalam masyarakat minoritas Muslim banyak dipublikasikan di Timur Tengah.
“Saya pendukung perdamaian,” ujar Lutfi yang berpakaian tradisional tok guru, yaitu jubah putih dan tutup kepala putih. Sikap ini memang kurang populer di kalangan garis keras yang menyukai perjuangan bersenjata.
Lutfi tergolong berhasil membangkitkan perasaan bangga menjadi Muslim. “Masjid-masjid kini penuh,” kata Hussein To-Tanyong, yang menjalankan sebuah sekolah Islam di Yala. “Ini karena rakyat makin terdidik dan lebih memahami agamanya,” tambahnya.
Pengaruh kebangkitan Islam kini gamblang terlihat. Ulama-ulama karismatis seperti Lutfi ini berhasil mendorong pengikutnya menjalankan aturan Islam secara ketat. Cara berbusana orang Muslim Melayu, sebagaimana tampak di jalan-jalan, makin Islami.
Makin taat pada aturan Islam pada gilirannya memperkuat identitas lokal bangsa Melayu. Buat mengantisipasi tantangan baru ini, pemerintah terpaksa mengenalkan kembali bahasa Melayu di sekolah-sekolah negeri. Pendidikan Islam diperluas ke tingkat dasar, Bahkan sebuah Universitas Islam direncanakan akan dibangun di Yala. “Batas budaya semakin menguat,” tutur Surin Pitsuwan, yang pernah menjabat deputi menteri luar negeri.* (Mansyur Alkatiri)
BACA LAINNYA:
UU Anti-Terorisme Targetkan Muslim Amerika
India Bunuh Tokoh HAM Kashmir
Muslim Albania Menapak Jalan Sulit
[…] BACA SELENGKAPNYA: Chechnya Peringati Deklarasi Kemerdekaan Kesepakatan Damai Chechnya-Rusia? Muslim Patani Thailand Bertahan di Pondok […]