Oleh: Mansyur Alkatiri
Nama Malcolm X sebagai salah seorang pahlawan pejuang masyarakat kulit hitam Amerika Serikat memang tidak setenar Martin Luther King, Jr. keduanya telah berjasa besar dalam memperjuangkan peningkatan harkat dan martabat bangsanya. Barangkali latar belakang kehidupan dan cara kerjanya yang membuat Malcolm X kurang dikenal terutama di luar Amerika Serikat. Malcolm mempunyai latar belakang yang kelam dan dia adalah seorang “Muslim”. Karena itulah ia kurang ‘dihargai’ pemerintah AS.
Tahun ini, tepatnya bulan Februari lalu adalah peringatan ke-25 tahun kematiannya di tangan tiga orang pembunuh yang merobohkannya saat awal pidatonya di sebuah aula di kota New York. Dia-lah Malcolm X alias El-Hajj Malik el-Shabazz.
Berbagai opini telah dilontarkan orang kepadanya. Ada yang menuduhnya sebagai ekstremis, pembenci kulit putih, seorang revolusioner yang menganjurkan kekerasan dilawan dengan kekerasan. Tetapi banyak pula yang menganggapnya sebagai pahlawan dan pejuang yang telah berhasil mengangkat rasa harga diri warga kulit hitam.
Malcolm X semula bernama Malcom Little. Nama akhir “X” menggantikan nama keluarga “Little”, mengikuti tradisi pengikut Elijah Muhammad dengan The Nation of Islam-nya. Elijah Muhammad menganggap nama akhir orang kulit hitam adalah nama pemberian tuan-tuan mereka ketika orang-orang hitam menjadi budak-budak mereka. Nama akhir mereka yang sebenarnya tidaklah diketahui, karena itu sebuat saja X.
Malcolm X lahir pada 19 Mei 1925 di kota Omaha, Nebraska. Ayahnya, Earl Little, adalah seorang pendeta Kristen sekte Baptist yang menggerakkan UNIA (Universal Negro Improvement Association). Ayahnya ini mengajarkan kepada para pengikutnya agar tidak gentar menghadapi orang-orang kulit putih yang dianggapnya penindas. Maklumlah, pada tahun-tahun itu diskriminasi rasial masih merajalela di AS. Karena sikap ayahnya itu, keluarga Malcolm mengalami penderitaan demi penderitaan. Rumahnya dibakar dan ayahnya pun mati dibunuh oleh kelompok kulit putih yang rasialis, yaitu Klu Klux Klan. Ibunya yang bernama Louise Little menderita sakit jiwa dan dirawat di rumah sakit mental.
Earl Little menikah dua kali dan mendapatkan sembilan orang anak. Dari istri pertamanya lahir Ella, Earl Jr., dan Mary. Dari perkawinan dengan Louise ia memperoleh enam anak, yaitu Wilfred, Hilda, Philbert, Malcolm, Reginald, dan Yvonne.
Malcolm kecil kemudian hidup dalam kemiskinan di daerah kumuh Harlem di New York. Tetapi ia adalah murid yang cerdas. Di SMP ia merasa terpojok karena ulah guru dan anak kulit putih yang meremehkannya. Pernah suatu ketika ia ditanya oleh guru Bahasa Inggrisnya yang bernama Mr. Otrowski tentang cita-citanya. Malcolm jawab ia ingin jadi pengacara. Tetapi gurunya ini dengan sinis menyatakan bahwa cita-citanya itu tidak realistis karena ia seorang negro. Sang guru malah menyarankan dengan kasar agar ia menjadi tukang kayu saja.
Karena makin terpukul dan terpojok ia pindah ke Boston pada 1941, tinggal bersama saudara perempuannya satu ayah, Ella. Tapi ia sudah terlanjur frustasi, dan kehidupan gelap menjerumuskannya sampai ia ditangkap polisi dan dihukum penjara 10 tahun dengan tuduhan pencurian di tahun 1946. Umurnya saat itu baru 21 tahun.
Ternyata penjara berhasil mengubah kehidupannya. Ia manfaatkan waktunya selama hidup di penjara itu dengan menekuni membaca buku-buku di perpusatakaan penjara. Ia lahap semua buku perpustakaan yang berisi segala hal tentang orang kulit hitam. Ia pun belajar secara otodidak dengan semangat luar biasa dengan dorongan Bimbi, teman satu selnya. Dari buku-buku itu ia mengenal sebuah organisasi kulit hitam bernama The Nation of Islam yang dikenal juga dengan Black Moslem pimpinan Elijah Muhammad. Adiknya, Reginald, yang mengunjunginya di tahun 1948 ikut mendorong Malcolm untuk memeluk Islam dengan menghentikan merokok dan makan babi. Reginald sendiri sudah menjadi anggota Black Moslem, dan ia membantu Malcolm makin berminat pada ajaran Elijah Muhammad ini.
Meskipun namanya Islam dan sering menggunakan istilah-istilah Islam, ajaran yang disebarkan oleh organisasi ini sebenarnya banyak yang bertentangan dengan ajaran Islam yang sebenarnya. Salah satu ajarannya, misalnya, mengatakan bahwa orang kulit putih adalah ‘setan’ dan orang kulit hitam lebih tinggi nilainya dari orang kulit putih, atau menganggap bahwa Elijah Muhammad adalah seorang nabi.
Malcolm tertarik pada organisasi itu. Karena tingkah lakunya dinilai baik, Malcolm di tahun 1952 dibebaskan dari penjara dengan syarat, empat tahun lebih cepat dibanding hukuman seharusnya. Ia segera menghubungi orang yang dikaguminya yang berkantor di Chicago. Ia pun lalu menjadi anggota yang fanatik, sampai-smapai Elijah mengangkatnya menjadi juru bicara organisasi nasionalis hitam ini. Sejak itulah ia mengganti namanya menjadi Malcolm X. tahun 1958 ia menikah dengan Betty X dan dikaruniau empat orang puteri, masing-masing: Attilah, Qubilah, Illyasah, dan Amiliah.
Dengan kharisma dan bakatnya menjadi orator, selama 10 tahun Malcolm menyampaikan pandangan-pandangan Muslim hitam yang sering dikatakan bersifat rasialis dan separatis itu. Nation of Muslim memang menginginkan sebuah Negara terpisah bagi orang kulit hitam.
Ia tak menyetujui cara-cara tanpa kekerasan yang diajarkan oleh Dr. Martin Luther King Jr. menurut pandangan Malcolm, kekerasan haruslah dilawan dengan kekerasan. Tidak boleh memberikan pipi sebelah setelah pipi sebelah lainnya ditampar orang.
Tapi, karismanya yang luar biasa membuat Elijah kemudian merasa tersaingi. Elijah pun mulai bersikap kurang bersahabat lagi dan mulai mengurangi dukungannya. Dan pada tahun 1963, Malcolm menyatakan pada wartawan bahwa ia merasa gembira mendengar Presiden Kennedy terbunuh. Pernyataannya ini tidak berkenan di hati Elijah. Malcolm pun diskors dari organisasi selama 90 hari. Namun, Malcolm tidak hanya menerima hukuman itu, ia malahan menyatakan keluar sama sekali dari Nation of Islam.
Keluar dari The Nation of Muslim Malcolm lalu mendirikan organisasinya sendiri. Dan, di sinilah awal kesadarannya untuk merenung, apakah sih ajaran Islam yang sebenarnya? Apakah sudah betul apa yang diajarkan Elijah Muhammad selama ini yang menganggap dirinya nabi itu? Untuk itu ia berniat belajar Islam dari sumbernya. Ia berkeinginan pergi ke Mekkah untuk menunaikan ibadah haji dan sekaligus mencari tahu tentang ajaran Islam yang sejati.
Saudara perempuannya, Ella, sudah terlebih dulu mempelajari Islam yang benar dari seorang imam masjid di Boston. Ia bahkan sudah menabung sedikit demi sedikit untuk bisa berhaji. Tetapi setelah mendengar bahwa Malcolm ingin pergi haji, uang tabungannya diberikan pada saudaranya yang sudah menjadi tokoh terkenal itu. Menurut pendapatnya, lebih penting bagi Malcolm untuk pergi haji dan mempelajari Islam yang sebenarnya.
Sejak dalam perjalanan hajinya di tahun 1964 itu, pandangannya yang selama ini dipegang Malcolm yang berkait dengan rasialisme, mulai goyah. Ia naik pesawat United Arab Airlines yang mengangkut jamaah haji dari Eropa menuju Mekkah. Ia menulis dalam otobiografinya: “Banyak sekali Muslim dari mana-mana dalam perjalanan haji ke Mekkah itu. Mereka saling berangkulan dan berpelukan. Warna kulit mereka bermacam-macam. Seluruh suasananya tidak lain hanyalah kehangatan dan keakraban. Saya jelas melihat tak ada masalah warna kulit di sini. Saya seolah-olah seperti baru saja keluar dari sebuah rumah penjara.”
Malcolm X dan Raja Faisal dari Arab Saudi, 1964
Malcolm X mendapat kehormatan sebagai tamu pribadi Pangeran Faisal dan mereka berdiskusi tentang perbedaan ajaran Elijah Muhammad dan ajaran Islam yang sebenarnya. Dan Malcolm merasa menjadi manusia di sini dan berikrar untuk menjadi Muslim yang benar.
Di tanah yang disucikan Allah itu Malcolm mengganti namanya menjadi El-Hajj Malik el-Shabazz.
Kesan keagungan Islam tergambar terus sejalan pengalamannya menunaikan ibadah haji. Tema kesatuan manusia di bawah Tuhan yang satu menggugah kesadaran jiwanya. Ia juga menjumpai orang-orang yang menurut pandangannya dapat digolongkan berkulit putih. Mereka tidak menindasnya, tidak meremehkannya dan tidak memandang rendah. Tetapi malah memberinya bantuan, bahkan kadang-kadang dengan mengorbankan kepentingannya sendiri.
Pandangannya terhadap orang kulit putih pun mulai berubah. Ia pun menulis surat kepada istrinya, Betty. Antara lain: “Di tanah Muhammad dan di tanah Ibrahim, saya telah diberi berkah oleh Allah dengan kesadaran baru akan agama Islam yang sejati.”
Setelah selesai ibadah haji, Malcolm alias El-Hajj Malik el-Shabazz meneruskan perjalanan untuk menemui pemimpin-pemimpin Arab, Afrika dan Asia, baik yang Muslim maupun yang bukan. Ini diulangi lagi beberapa waktu kemudian. Ia telah bertemu dengan Presiden Gamal Abdel-Nasser (Mesir), Presiden Nigeria Nnamdi Azikiwe, Presiden Tanzania Julius Nyerere, Presiden Guinea Ahmed Sékou Touré, dan lainnya.
Sekembali dari Mekkah, Amerika melihat Malcolm sebagai orang yang tidak lagi rasialis. Yoseph Devers, seorang mahasiswa Universitas Georgetown di Washington yang menulis tesis tentang Malcolm X ini mengatakan, “Sekembali dari Mekkah, Malcolm menyatakan harapan timbulnya persaudaraan sejati antara warga hitam dan warga putih di Amerika.”
Mekkah juga telah mengubah sikap Malcolm mengenai separatisme dan perkawinan campuran yang semula ditentangnya. Mengutip John Dever lagi, “Mekkah telah membuktikan kepada Malcolm kemungkinan tetap tinggal di Amerika sambil mewujudkan masyarakat yang buta warna kulit, di mana warga kulit hitam dan warga kulit putih hidup bersama secara damai. Sedang mengenai perkawinan campuran antara kulit hitam dan kulit putih, ia tidak lagi tegas-tegas menentang, tetapi menyerahkan kepada yang bersangkutan.”
Sikap Malcolm X atau El-Hajj el-Shabazz itu sudah tentu tidak disenangi oleh organisasinya Elijah, The Nation of Islam. Mereka marah dan menyesalkan. Sampai akhirnya datang hari itu, Minggu 21 Februari 1965. Ketika itu, El-Hajj Malik atau Malcolm X bersiap menyampaikan pidatonya di aula sebuah gedung di New York. Ia berdiri di mimbar dengan mantap, mengucapkan salam Islam, “Assalamu’alaikum…..” Lalu terjadilah keributan dan tembakan-tembakan. Malik el-Shabazz pun roboh bersimbah darah dan tewas seketika. Ia menemui Tuhannya saat tugas sucinya mulai memekarkan hasil.
Tiga orang ditangkap, dan kemudian ketiganya dijatuhi hukuman seumur hidup. Norman Butler, Thomas Johnson dan Talmadge Hayer. Salah seorang terhukum mengakui bahwa ia dibayar untuk membunuh Malik el-Shabazz, tetapi ia tidak mau mengungkapkan siapa yang telah membayarnya. Kecurigaan terbesar memang diarahkan ke Elijah Muhammad. Malcolm sendiri di saat-saat akhir hidupnya merasa dirinya diincar oleh para pembunuh. Ia yakin bahwa Elijah akan membunuhnya. Tetapi Elijah sendiri menyangkal bahwa ia mengingini kematian Malcolm. Jadi, siapa sebenarnya di belakang pembunuhan ini? Elijah? Atau ada golongan lain yang tidak menginginkan tersebarnya Islam sejati di tengah masyarakat kulit hitam Amerika yang dapat menjadi picu melawan ketidakadilan? Wallahu a’lam.
Pada tahun ke-25 kematiannya, bermunculan kembali kenangan orang pada El-Hajj Malik el-Shabazz yang mereka akui sebagai seorang pemimpin yang memberi banyak inspirasi dan kekuatan batin. Tidak saja bagi orang kulit hitam yang beragama Islam, tapi juga bagi orang kulit hitam lainnya.*
[…] JUGA: Malcolm X, Pahlawan Kulit Hitam yang Kurang Dikenal Mengenang Dr Said […]
[…] BACA JUGA: Giliran Ikhwanul Muslimin Disikat Mubarak MUSLIM AS: Dirampas dan Dimurtadkan Malcolm X, Pahlawan Kulit Hitam yang Kurang Dikenal […]
[…] Sam Krasniqi sedang hidup dalam impian Amerika. Sampai suatu hari, 12 Agustus 1989, sistem hukum Amerika memecah belah keluarga Krasniqi, menghancurkan impian mereka, mengubah paksa agama kedua anaknya, […]
[…] BACA JUGA: Pemurtadan Gaya Amerika, Kasus Anak-anak Krasniqi Mengenang Dr Said Ramadhan Malcolm X, Pahlawan Kulit Hitam yang Kurang Dikenal […]
[…] bergolak. Negara di Tanduk Afrika ini sekarang mendapat gempuran bergelombang dari pasukan Amerika Serikat yang bertindak atas nama PBB. Tujuan serangan ini adalah menghancurkan kekuatan faksi terbesar di […]
[…] JUGA: Malcolm X, Pahlawan Kulit Hitam yang Kurang Dikenal Perang Saudara di Somalia (Harian Suara Merdeka) Kosovo, Target Serbia Berikutnya (Harian Suara […]
[…] menjadi calon presiden di Amerika Serikat? Mengapa tidak? Imam Warith Deen Muhammad (62), pemimpin Muslim Afro-Amerika (kulit hitam AS), kini tengah memikirkan kemungkinan itu. Namun, meski dirinya seorang tokoh kulit […]