MERDEKA ATAU PERANG
Oleh: Mansyur Alkatiri
Dari: Majalah UMMAT, No. 44 Thn. III, 25 Mei 1998
Slobodan Milosevic dan Ibrahim Rugova akhirnya berunding. Namun kecil kemungkinan tercapai kesepakatan
Jenazah Isuf Hadjari terbaring di atas meja, dibawah rimbunnya pepohonan apel di kebun milik almarhum. Selembar bendera nasional Albania, bergambar rajawali hitam berkepala dua diatas dasar kain warna merah, menutup jenazah warga kota Pristina itu. Ditempat itulah ia juga ditembak mati oleh serdadu Serbia, 12 jam sebelumnya (12/5).
Jenazah warga kota Pristina itu, baru saja dimandikan oleh seorang ulama setempat, dibantu teman dan keluarga. Tiga lubang peluru -satu di tulang rusak dan dua di kepalanya-, terlihat jelas saat jenazah dimandikan dan dibungkus kain kafan. Diantar ratusanĀ pelayat, jenazah Isuf Hadjari dibawa ke sebuah masjid melewati jalan-jalan Pristina, ibukota Kosovo. Usai dishalatkan, Hadjari dikuburkan di pemakaman di puncak bukit, dimana telah menunggu ribuan pelayat lainnya.
Menurut polisi Serbia, Hadjari tewas dalam baku tembak antara polisi Serbia dan Tentara Pembebasan Kosovo (UCK), kelompok perlawanan bersenjata warga etnis Albania di Kosovo. Namun keterangan itu dibantah anak lelaki Hadjari. “Ayah saya dieksekusi polisi saat dia berdiri di kebun tanpa senjata,” tuturnya seperti dikutip Reuters.
Sekitar 200 orang telah terbunuh di Kosovo sejak Maret silam. Sebagian besar adalah warga sipil Albania tak bersenjata. Dan jumlah itu setiap hari terus bertambah, seiring dengan makin kuatnya represi penguasa Kristen Ortodoks Serbia terhadap warga keturunan Albania.
Warga etnis Albania yang umumnya Muslim, adalah mayoritas di Kosovo. Jumlahnya meliputi 90 persen dari 2,1 jiwa penduduk wilayah yang diklaim Serbia sebagai propinsinya itu. Namun mereka menderita berat akibat kebijakan tangan besi pemerintah Serbia. Di bawah Presiden Slobodan Milosevic, Serbia menghapus secara sepihak status otonomi Kosovo pada 1989. Ia lantas menjalankan politik apartheid disana.
Berunding
Di hari pemakaman Isuf Hadjari, Richard Holbrooke, utusan khusus Amerika yang dulu menengahi konflik Bosnia, tiba di Pristina. Ia berusaha menjembatani perbedaan antara penguasa Serbia dan etnis Albania. Setelah berhari-hari membujuk Milosevic dan “Presiden Republik Kosovo” Ibrahim Rugova, misi Holbrooke mulai menampakkan sedikit hasil. Keduanya mau bertemu di Beograd, ibukota Yugoslavia, Jum’at (15/5).
Perundingan yang diperkirakan bakal lama itu, ditunggu dengan was-was oleh warga kedua etnis, yang sejak dulu hidup bagai minyak dengan air. Warga Serbia takut Milosevic akan melunak pada tuntutan warga Albania. “Tak ada politisi atau orang lainnya yang berhak menyerahkan Kosovo,” ujar Zarko Krekeljic (26), mahasiswa Serbia di Universitas Pristina. “Ini tempat lahir peradaban Serbia.”
Di lain pihak, warga etnis Albania tetap keras menuntut lepas dari Serbia, yang mereka anggap sebagai penjajah. “Tujuan kami adalah kemerdekaan, bukan otonomi. Jika Presiden Rugova berpikir etnis Albania akan bisa menerima keputusan sedikit di luar kemerdekaan, dia pasti keliru,” tegas Bajram (31), sopir truk dari Mitrovica.
Kesediaan Rugova untuk berunding dengan Milosevic bahkan dikritik oleh Adem Demaci, tokoh yang sangat dihormati warga Albania. “Saya takutkan Rugova melakukan kesalahan politik fatal,” ujar Demaci pada wartawan di Pristina, ibukota propinsi Kosovo. “Saat ini, ketika rezim Serbia menyerang dan membunuhi rakyat Albania yang tak berdosa setiap hari, adalah sangat buruk untuk memulai perundingan dengan Milosevic.” Demaci dikenal sebagai Mandela-nya Kosovo. Seperti presiden Afrika Selatan itu, Demaci juga pernah mendekam 28 tahun di penjara sebagai tahanan politik.
Sukseskah perundingan Milosevic-Rugova? Rata-rata orang melihatnya pesimis. Tuntutan warga Albania untuk merdeka kian menguat, sementara Serbia mustahil mau melepasnya dengan sukarela karena menganggap Kosovo sebagai pusat budaya Ortodoks Serbia.
Salah satu masalah kunci yang bakal membuat alot perundingan Milosevic-Rugova adalah kiprah Tentara Pembebasan Kosovo (UCK), yang sangat militan menuntut Kosovo merdeka. Kelompok ini makin meningkatkan serangan pada sasaran milier Serbia di Kosovo, melalui taktik hit and run. UCK diperkirakan telah menguasai 40 persen wilayah Kosovo. Dan kini makin mendekat ke ibukota Pristina.
Kalangan pengamat yakin, UCK mungkin akan menunggu hasil perundingan Milosevic-Rugova, sambil mengumpulkan senjata baru untuk kemungkinan perang yang lebih besar. Nampaknya rakyat Albania telah siap untuk menghadapi resiko seberat apapun, meski minim senjata. Dengarlah ucapan seorang pelajar yang ikut menguburkan Isuf Hadjari. “Orang ini telah mati. Ia tidak dibunuh oleh sejarah. Ia dibunuh oleh polisi Serbia, yang kini harus kami hadapi dalam perundingan. Bila kami bisa bicara jalan untuk merdeka, saya setuju. Tapi jika kami harus berperang, saya siap.” *