Kosovo Terus Bergolak
Oleh: Mansyur Alkatiri
Dari: MAJALAH UMMAT, No. 26 Thn. III/ 12 Januari 1998
Penguasa Serbia terus menindas mayoritas Muslim Albania di Kosovo. Muslim pun mulai beralih ke perlawanan bersenjata
Represi yang dilakukan penguasa Serbia terhadap Muslim keturunan Albania di Kosovo semakin menjadi-jadi. Demonstrasi damai para mahasiswa keturunan Albania di Pristina, ibukota propinsi di Serbia selatan itu, ditanggapi ganas oleh polisi Serbia, Selasa (30/12) lalu. Para demonstran yang membawa buku, dipukuli dan ditendangi secara membabi buta.
Aksi protes mahasiswa dilakukan untuk menuntut hak memperoleh pendidikan kembali. Mahasiswa dan dosen-dosen keturunan Albania dikeluarkan dari universitas pada 1991 dalam program Serbianisasi wilayah itu.
Saksi-saksi mata mengatakan, sekitar 2.000 mahasiswa turut dalam aksi protes di Pristina itu. Ratusan polisi berpakaian anti huru-hara bersiaga di pusat kota. Demonstran berkumpul dalam kelompok-kelompok kecil setelah dibubarkan. Mereka lalu menyebarkan pamflet-pamflet yang berisi tuntutan mereka. Beberapa kelompok dipukuli secara ganas oleh polisi.
Protes serupa juga menyebar ke enam kota lain di Kosovo. Di propinsi ini, jumlah warga Muslim keturunan Albania mencapai 90 persen dari 2 juta total penduduk. Namun semua jajaran birokrasi dan kepolisian dikuasai etnis Serbia. Mayoritas warga Kosovo menginginkan status otonomi, seperti di zaman penguasa komunis Yugoslavia Joseph Broz Tito dulu. Status otonomi ini dihapus pada 1989 oleh Slobodan Milosevic, presiden Serbia waktu itu. Milosevic kini menjabat presiden Federasi Yugoslavia, yang beranggota Serbia dan Montenegro.
Tindakan keras aparat keamanan tak membuat surut nyali mahasiswa untuk turun kembali ke jalanan. “Kami melancarkan gerakan perdamaian … kami akan lanjutkan selama mungkin,” ujar pemimpin mahasiswa Ismet Harjari seperti dikutip Reuters. Upaya protes serupa pada 1 Oktober silam juga dibubarkan dengan kekerasan oleh polisi. Aksi-aksi itu dilancarkan sebagai bagian merebut perhatian dunia bagi tuntutan otonomi Kosovo.
Tapi bagi penguasa Ortodoks Serbia, tak ada bedanya tuntutan otonomi dengan separatisme. Bosko Drobnjak, seorang pejabat lokal yang etnis Serbia mengatakan, “Ini Serbia. Disini ada hukum dan pemerintahan. Lebih cepat warga Albania menyadarinya dan melupakan impian untuk memisahkan diri, akan lebih baik bagi mereka.”
Munculnya KLA
Kalangan diplomat asing khawatir, Kosovo akan menjadi ladang pembantaian baru yang bisa menyulut konflik yang lebih besar di Balkan, setelah perang brutal di Kroasia dan Bosnia. Amerika Serikat dan Eropa Barat telah meminta Presiden Yugoslavia Slobodan Milosevic berkompromi dengan tokoh-tokoh politik keturunan Albania Kosovo guna mencegah konflik yang lebih besar.
Namun sejauh ini Beograd menganggap sepi semua himbauan internasional. Awal bulan lalu, delegasi Yugoslavia walk out dari konperensi perdamaian Bosnia di Bonn, Jerman, ketika isu itu dimunculkan negara-negara Barat.
Paling sedikit 40 orang tewas tahun ini dalam beberapa serangan bermotif politik di Kosovo. Diantaranya polisi Serbia dan warga Albania yang berkolaborasi dengan Serbia.
Sebutan terorisme kerap dilekatkan penguasa Serbia pada warga etnis Albania, baik yang menuntut otonomi atau yang ingin merdeka, semenjak munculnya Kosovo Liberation Army (KLA) dua tahun silam. KLA adalah kelompok perlawanan bersenjata etnis Albania pertama. Manifesto yang mereka keluarkan dengan tegas menyebut tujuan KLA untuk “membebaskan seluruh tanah Albania terjajah.” Jadi bukan lagi otonomi seperti tuntutan kelompok moderat.
Tak ada yang tahu persis seberapa besar kekuatan KLA. Tapi disinyalir masih kecil. KLA dianggap banyak pengamat sebagai embrio kekuatan bersenjata warga Albania Kosovo yang lebih besar di masa depan. Desember lalu, KLA menyatakan bertanggung jawab atas pesawat latih Yugoslavia. KLA juga dianggap berada di belakang serangan terhadap polisi-polisi Serbia.
Aksi kekerasan KLA merupakan cetusan rasa ketidaksabaran etnik Albania, yang sudah sangat kesal dengan pendudukan militer Serbia. Mereka juga kecewa dengan kegagalan para pemimpin politik etnis Albania dalam perundingan dengan Beograd. Presiden “Republik Kosovo” Ibrahim Rugova, yang dipilih dalam ‘pemilu’ 1991 kini dianggap terlalu lunak pada Beograd dan menyerah pada tekanan Barat.
Melihat kegagalan para pemimpin politik diatas, komunike KLA menyatakan: “Kosovo tak bisa dibebaskan dengan telefon dari kantor, tapi hanya dengan perjuangan bersenjata yang serius.” Mampukah KLA? Banyak yang yakin, tapi tak sedikit pula yang ragu. Tapi bagi Adam “Mandela” Demaqi, salah satu tokoh politik etnik Albania yang pernah mendekam 28 tahun di penjara rezim komunis Yugoslavia, KLA amat membantu perjuangan warga Kosovo. “Eksistensi KLA akan memacu penyelesaian masa depan Kosovo,” kata ketua Partai Parlementer etnis Albania ini.*