BERJAGA-JAGA DENGAN TAP MPR
Oleh: Mansyur Alkatiri
Dari: Majalah UMMAT, No. 7 Thn. III/ 1 September 1997; Rubrik: Peristiwa Utama
Ancaman dianggap masih ada, tapi kekuasaan presiden dinilai sudah besar. Keraguan akan kekuatan wapres mendatang dibantah
Merunut jalan kelahiran dan perkembangannya, Tap No. VI/MPR/1988 sangat terkait dengan kondisi sosial politik yang ada, yang lumayan sarat potensi konflik. Tap itu diperlukan guna menjaga ketertiban, sebagai prasyarat utama berjalannya pembangunan nasional.
Awalnya adalah Tap IX/MPRS/1966, yang mengukuhkan Surat Perintah Sebelas Maret (Supersemar) sebagai bagian dari Ketetapan MPRS. “Dengan pengukuhan itu, kedudukan pemegang Supersemar, Jendral Soeharto, menjadi kuat. Sebab mandatnya langsung dari MPRS,” jelas pakar hukum Tata Negara Prof. Dr. Sri Soemantri, SH, pada UMMAT. Tap IX/MPRS/1966 inilah yang kemudian menjelma dalam bentuk Tap-Tap sejenis selama 20 tahun.
Pada 1967, Soeharto diangkat sebagai Penjabat Presiden, setelah MPRS memberhentikan Presiden Soekarno. Setahun kemudian MPRS mengangkatnya sebagai presiden penuh. Saat itu pertanyaan menyangkut masih perlu atau tidaknya eksistensi Tap ini mengemuka.
Namun nyatanya Tap itu tetap disetujui karena kebutuhan mendesak akan suatu pemerintahan yang efektif dan kuat, sebagai landasan untuk melaksanakan program-program ekonomi. Dengan Tap itu MPR memberikan kewenangan yang sangat besar kepada presiden untuk mengamankan pembangunan, menjaga persatuan, dan menjaga jangan sampai ada subversi.
Tap IX/MPRS/1966 itu menjelma dalam bentuk Tap X/MPR/1973 tentang Pelimpahan Tugas Kepada Presiden/Mandataris Untuk Melaksanakan Pembangunan, dalam SU MPR 1973. Tap 1966 yang begitu luas, dibatasi dengan penekanan pada aspek “pembangunan”. Namun di dalamnya tersurat pula upaya untuk mencegah come back nya PKI.
Tap itu terus dikukuhkan sampai 1988, dalam bentuk Tap VI/MPR/1988 tentang Pelimpahan Tugas dan Wewenang Kepada Presiden/Mandataris MPR Dalam Rangka Penyuksesan dan Pengamanan Pembangunan Nasional.
Menurut Mayjen TNI (Purn) R. Suprapto, yang saat itu menjabat wakil ketua MPR mewakili Fraksi Utusan Daerah, Tap itu di perlukan demiĀ pelaksanaan Pelita V. Masa itu kebetulan menjelang dimulainya periode terakhir dari pembangunan jangka panjang tahap pertama. “Pertimbangannya agar pelita kelima itu betul-betul berhasil, guna memasuki kebangkitan nasional kedua,” ujar mantan gubernur DKI itu kepada Agus Feisal Karim dari UMMAT.
Memang dalam periode MPR sebelumnya (1983-1988) sempat terjadi beberapa gejolak sosial seperti kasus Tanjung Priok, peledakan BCA dan rentetannya. Akibatnya banyak tokoh yang harus berurusan dengan pengadilan dan penjara, termasuk Letjen (purn) HR Dharsono, salah seorang bidan kelahiran Orde Baru dan mantan Pangdam Siliwangi.
Riwayat Tap di atas sementara berakhir ketika Sidang Umum MPR 1993. Tak ada fraksi yang mengajukannya lagi. Tapi seperti yang didengar pakar hukum Tata Negara Sri Soemantri, dari seorang mantan anggota DPR/MPR dari F-ABRI, tak dicantumkannya lagi Tap itu justeru atas kemauan Presiden Soeharto sendiri. “Bahkan ketika diusulkan agar isi Tap itu masuk ke GBHN saja, Presiden tetap tidak mau,” ujar Rektor Universitas 17 Agustus itu. Agaknya itu disebabkan oleh kondisi keamanan yang cukup stabil saat itu.
Berjaga-jaga
Lalu kenapa kini tiba-tiba dirasa perlu untuk menghidupkan lagi Tap tersebut? Soeprapto (77) melihat masih adanya ancaman yang bisa menghambat pembangunan bangsa. “Peristiwa 27 Juli, Situbondo, Banjarmasin dan lainnya dimungkinkan masih berkembang,” katanya.
Untuk itulah dibutuhkan kewenangan plus kepada presiden mandataris, agar presiden bisa melakukan tindakan lebih cepat bila diperkirakan muncul hambatan dan gangguan terhadap bangsa. “Para pejabat yang bilang kondisi negara aman dan terkendali, kan sebenarnya hanya untuk menenteramkan situasi masyarakat saja,” tambahnya.
Pendapat senada dilontarkan Dr Burhan D. Magenda, Ketua Departemen Cendekiawan, Iptek dan Hubungan Luar Negeri DPP Golkar. “Tap itu diperlukan untuk berjaga-jaga,” ujarnya. “Akhir-akhir ini banyak timbul kerusuhan yang bermotif sara dan psikologis. Ada pula masalah globalisasi.”
Dr. J. Kristiadi (49), Ketua Departemen Politik dan Wakil Direktur Eksekutif CSIS (Centre for Strategic and International Studies), membenarkan bahwa dengan Tap seperti itu presiden mempunyai kekuatan lebih efektif untuk meredam gejolak sosial. Namun ia sekaligus mempertanyakan apakah situasi sekarang masih relevan menyelesaikan gejolak-gejolak sosial melalui pendekatan kekuasaan yang berorientasi pada efektifitas saja?
“Mestinya kita harus mendalami substansi persoalan yang ada,” ujar doktor Ilmu Politik dari UGM ini kepada wartawati UMMAT Mimin Rukmini di rumahnya, di Jakarta Barat. “Dalam negara sebesar dan semajemuk ini, persoalan tidak bisa diselesaikan instant. Harus ada mekanisme yang mampu mengerti gejolak yang timbul dari bawah ini. Kita kan sudah 52 tahun merdeka. Orde Baru juga sudah berusia 30 tahun,” tambahnya
Urgensi untuk menghidupkan kembali Tap VI/MPR/1988 juga dipertanyakan Sri Soemantri. Sebab dari segi Hukum Tata Negara, presiden mempunyai kekuasaan untuk melaksanakan UUD dan GBHN. Ini bermakna kalau terjadi gangguan, juga bisa melakukan tindakan preventif maupun represif. “Yang harus menyatakan negara dalam keadaan darurat kan presiden,” ujar mantan guru besar Fakultas Hukum Universitas Padjajaran ini. “Tanpa Tap VI/MPR/1988 itu, presiden tetap mempunyai kekuasaan yang cukup besar.
Ia lalu membeberkan betapa kuatnya kekuasaan Presiden dalam UUD 1945. Presiden RI mempunyai empat kedudukan, yakni kepala negara, mandataris, kepala pemerintahan dan panglima tertinggi Angkatan Bersenjata. Bahkan berkait dengan aspek politik, Presiden RI memiliki enam kekuasaan, yaitu kekuasaan eksekutif, legislatif, yudikatif, administratif, militer dan kekuasaan administratif.
Besarnya kekuasaan yang diberikan kepada presiden terlihat pula dari 12 pasal UUD 1945 yang menyangkut presiden. Bandingkan dengan pasal tentang kekuasaan kehakiman yang hanya dua buah, dan MPR yang cuma tiga pasal. “Dalam pasal 22 UUD 1945, presiden berhak mengeluarkan Peraturan Pemerintah (PP) dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa,” jelas Soemantri.
Kopkamtib
Debat Tap MPR ini kian meluas setelah terlontar tanggapan dari Dr Yusril Ihza Mahendra, Ketua Jurusan Hukum Tata Negara Fakultas Hukum UI. Menurut dia, gagasan dihidupkannya Tap VI/MPR/1988 itu merupakan antisipasi Presiden bila tiba-tiba berhalangan tetap, atau tak mampu melaksanakan jabatannya karena sebab-sebab tertentu.
Untuk menghindari kemungkinan pergolakan sosial yang melibatkan elite kekuasaan, maka Presiden yang diangkat perlu diberi kewenangan perundang-undangan yang tegas.
“Menyimak calon-calon yang disebut-sebut media massa, wapres itu tak sekuat presiden yang digantikannya. Padahal dia harus bertindak. Nah, pada situasi itu dia memerlukan hukum tertulis, yaitu Tap MPR yang kuat,” katanya (Kompas, 21/8).
Tapi pemikiran dugaan Yusril ditolak Dr. Afan Gaffar. “Kita tidak bisa melihatnya seperti itu,” tukas pengamat politik dari Fisipol UGM ini. “Kalau Presiden berhalangan tetap, otomatis wapres yang naik, sesuai UUD 1945. Jangan dilihat nanti wapres yang muncul tak sekuat Presiden Soeharto. Secara konstitusional wewenangnya kan wewenang seorang presiden yang sudah sangat besar itu.”
Kekhawatiran lain juga menyeruak. Tap MPR itu bisa melahirkan lembaga apa saja, yang bisa identik dengan Kopkamtib. Lembaga yang terakhir ini dulu cukup menghantui aktifitas sosial politik mereka yang “berbeda pandangan” dengan pemerintah. “Ini karena kekuasaan Tap tersebut seakan-akan bisa berbuat apa saja untuk mengamankan pembangunan nasional dan menjaga persatuan bangsa,” kata Kristiadi.
Tapi anggapan itu ditampik oleh Yusril. “Setiap negara memiliki aturan seperti itu,” katanya sambil mencontohkan Presiden Amerika Serikat yang setiap saat mempunyai wewenang komando, memerintahkan pasukan untuk menyerbu. “Apakah AS lalu dilihat sebagai negara dalam keadaan bahaya? Kan tidak juga,” tambahnya.
Hanya saja, untuk mencegah kemungkinan kesewenang-wenangan, Yusril menyarankan agar diadakan perubahan redaksional dalam Tap itu, yang memungkinkan Presiden melaporkannya lebih dulu pada DPR bila akan melaksanakan Tap tersebut. Itu pula yang diperkirakan oleh Kristiadi.
(Mansyur Alkatiri; Laporan: Ahmad Muayad & Saikhu)
[…] JUGA: Kontroversi Tap MPR untuk Hadapi Gejolak MUSLIM AS: Dirampas dan Dimurtadkan Kosovo Makin Panas […]