Indra Masygul, Indra Mundur
Oleh: Mansyur Alkatiri
Dari: MAJALAH UMMAT No. 04, Tahun IV, 3 Agustus 1998 M / 9 Rabiul Akhir 1419 H
Sukses mempertahankan Piala Thomas, Indra Gunawan justeru terpaksa mundur.
Merupakan kebanggaan bagi seorang pelatih untuk mundur di kala tim yang diasuhnya sukses. Ia akan senantiasa dikenang dengan catatan tinta emas. Tak ada cela. Itulah yang dilakukan Aime Jacquet saat Perancis menjadi juara dunia sepakbola 12 Juli lalu. Itupula jalan yang ditempuh Carlos Alberto Perreira dari Brazil empat tahun silam dan Franz Beckenbauer dari Jerman pada 1990.
Namun Indra Gunawan tidak seberuntung ketiga pelatih sepakbola itu. Ia harus mundur sebagai pelatih nasional bulutangkis dengan perasaan getir. Padahal pelatih tunggal putera di pelatnas bulutangkis ini berhasil membawa Tim Merah Putih mempertahankan Piala Thomas di Hongkong Mei silam. Sebuah sukses yang tergolong luar biasa karena materi pemain yang ada saat ini kurang meyakinkan dibanding tahun-tahun sebelumnya.
Resminya Indra Gunawan mundur karena alasan capek dan jenuh, setelah 12 tahun melatih di pelatnas. Namun ia juga mengakui alasan lain, yaitu tak tahan dengan banyaknya kritik yang memojokkan dirinya. “Dari pada terus dipojokkan, saya lebih baik mundur,” tukasnya pada UMMAT. Sebab kondisi seperti itu tak memungkinkannya berkonsentrasi melatih.
Indra dituduh sok kuasa, pilih kasih dan melakukan kolusi untuk meloloskan pemain ke berbagai turnamen. Metode latihannya juga dianggap ketinggalan jaman, hingga tak layak lagi melatih di pelatnas. Salah satu yang berpendapat demikian adalah Marleve Mainaky.
“Pola dan teknik latihan Pak Indra biasa-biasa saja,” ujar anggota tim Piala Thomas lalu itu. “Untuk menghadapi pemain muda dunia sekarang, dibutuhkan strategi baru. Tak mungkin lagi mengandalkan strategi lama.” Marleve juga mengkritik Indra kurang bisa berkomunikasi dengan pemain.”
Bukti
Benarkah Marleve? Entahlah. Tapi yang jelas, dengan pola dan tekniknya itu, Indra masih mampu membawa Hendrawan dkk menjuarai lagi Piala Thomas. Hendrawan sendiri bahkan muncul sebagai pahlawan, sementara prestasi Marleve justeru tak memuaskan. “Jadi sebenarnya metode dan teknik latihan saya masih efektif,” tegas Indra.
Pembelaan diri Indra itu didukung dua pemain tunggal utama: Hariyanto Arbi dan Hendrawan. “Teknik-Teknik yang beliau berikan cukup bagus dan pas buat kami,” tutur Hariyanto, yang dijumpai UMMAT di sela-sela latihan di Pelatnas Bulutangkis Cipayung, Jakarta Timur, Rabu lalu. “Metode Indra memang tergolong lama, namun Indra juga punya kelebihan seperti teknik penjagaan kondisi dan stamina pemain,” timpal Hendrawan. “Variasi antara latihan berat dan ringan juga cukup baik sehingga tak membosankan bagi pemain.”
Pembelaan juga datang dari Christian Hadinata, Ketua Bidang Pelatihan dan Pelatnas PBSI. “Indra tak bisa dibilang gagal. Ia sudah banyak menghasilkan prestasi bagi Indonesia dan banyak melahirkan pemain muda berbakat,” ujar mantan jawara ganda putera dunia itu. “Indra mampu membawa Alan juara Olimpiade dan membawa tim kita juara Piala Thomas.”
Menurut Christian pula, kalau selama ini pelatnas dinilai gagal melakukan regenerasi, itu bukan semata kesalahan Indra. “Terlambatnya regenerasi pemain adalah kesalahan pembinaan secara keseluruhan. Tidak bisa ditimpakan kepada pelatih saja. Kita semua bertanggung-jawab,” tegasnya. Sedang mengenai hubungan Indra dengan pemain, mereka bertiga berpendapat tak ada masalah.
Indra Gunawan (51), juara ganda putera Asian Games 1970 dan juara ganda Asia 1971, melatih di pelatnas sejak 1986. Awalnya ia menangani pemain ganda putera. Namun pada 1988-1989 ia ditunjuk menjadi asisten Tong Sinfu melatih tunggal putera. Dan mulai 1990, Indra dipercaya menangani pemain-pemain lapis pertama seperti Ardy B. Wiranata, Joko Suprianto, Alan Budikusumah, Haryanto Arbi dan Hermawan Susanto.
Melihat deretan aktifitas dan sukses pemain kelahiran Solo ini, pantas kalau Indra masygul dengan suara-suara minor yang tertuju padanya. “Agaknya karena saya terlalu lama melatih di pelatnas, sehingga iklim pelatihan di pelatnas juga perlu direformasi,” tuturnya. Kejenuhan, barangkali. “Sebab saya tak punya masalah dengan pemain. Kalau ada, mana mungkin saya sanggup melatih belasan tahun disana,” tambahnya.
Kalau memang faktor kejenuhan yang menjadi penyebabnya, berarti Agus Dwi Yulianto bersama Joko Suprianto dan Alan Budikusuma –pelatih dan asisten pelatih baru– harus mampu menyegarkannya kembali. Mampukah mereka? Melihat tanggapan adik-adiknya di pelatnas, mungkin mereka bisa. “Masuknya mereka sangat membantu. Joko dan Alan bisa menjadi sparring partner kita,” ungkap Arbi.
“Saya tertantang untuk memberikan prestasi yang lebih dari Pak Indra,” kata Agus. Namun Hendrawan merasa tak terjadi perubahan suasana mencolok di Pelatnas. “Pola latihan yang diterapkan Indra dan penggantinya sama saja,” katanya. Jadi? Lebih baik, kita tunggu buktinya.
Mansyur Alkatiri, laporan dari Hamid Abidin