Al Khalil Kembali Tanpa Masjid Ibrahim
Oleh: Mansyur Alkatiri
Majalah UMMAT, No. 16 Thn. II/ 3 Februari 1997
Arafat dan Netanyahu menyepakati perjanjian tentang al-Khalil. Tapi Masjid Ibrahim tetap dikuasai Yahudi Israel.
Warga Palestina bersiap menyambut pemindahan kekuasaan dari Israel ke Otoritas Palestina di al-Khalil (Hebron). Poster-poster Presiden Yasser Arafat berukuran besar mulai muncul di jalan-jalan, Rabu kemarin. Mobil-mobil polisi berwarna biru dan agen-agen polisi berpakaian sipil dari Dinas Keamanan Preventif, juga mulai kelihatan.
Kepala dinas keamanan Palestina sendiri, Jibril Rajoub, yang kelahiran al-Khalil, mungkin akan memindahkan markasnya dari Jericho ke kota tempat makam Nabi Ibrahim itu. Dibanding kota-kota lainnya yang sudah diserahkan Israel, keamanan di al-Khalil memang paling rawan dan mudah meledak. Meski jumlahnya hanya 450 dibanding 150.000 warga Palestina, pemukim Yahudi di al-Khalil sangat ekstrem. Aksi sadis Baruch Goldstein 1994 dan Noam Friedman awal tahun baru lalu hanyalah salah satu contoh kebrutalan mereka. Maka pemindahan markas ke al-Khalil cukup beralasan.
Kalah Konsesi
Kesepakatan Hebron diparaf Rabu (15/1) dinihari pukul 02.15 waktu setempat di Erez, perbatasan Gaza-Israel, oleh ketua tim perunding Palestina, Dr. Saeb Erekat dan wakil Israel, Dan Shamron.
Menurut perjanjian itu, Israel akan menyerahkan 80 persen wilayah kota al-Khalil dalam 10 hari. Penarikan tahap pertama dari wilayah B (450 desa Palestina) dan wilayah C (jalan-jalan yang menghubungkan kota dan desa Palestina) di Tepi Barat akan dimulai 7 Maret. Proses penarikan Israel dari wilayah B dan C berakhir Agustus 1998.
Arafat ingin Palestina sudah bisa memperoleh 80 persen wilayah Tepi Barat pada penarikan mundur yang ketiga, sebelum dilakukannya perundingan tentang al-Quds (Jerusalem). Saat ini Otoritas Palestina praktis baru menguasai 3 persen saja wilayah Tepi Barat. Dan menurut pembantu dekat Netanyahu, Israel mungkin hanya memberikan 50 persen Tepi Barat saja di akhir tahap ketiga penarikan itu.
Menurut surat kabar Amerika, Christian Science Monitor, Netanyahu paling tidak berhasil menerima 12 konsesi dari Palestina. Antara lain: polisi Palestina hanya diijinkan membawa pistol, bukan senapan mesin, di wilayah yang dekat dengan enklave Yahudi; membentuk ‘tim gerak cepat’ gabungan untuk mencegah kekerasan; patroli bersama di lereng bukit dekat pemukiman Yahudi, yang menurut Netanyahu mungkin menjadi target serangan dari atas.
Sedangkan Arafat hanya sedikit mendapat konsesi. Ia berhasil memaksa Israel membuka dua daerah yang selama ini ditutup tentara zionis: pasar grosir dan jalan Syuhada, jalan masuk ke kawasan yang dikuasai Israel. Hasil ini nampaknya maksimal bagi Arafat karena tekanan yang ia dapatkan bukan hanya dari Netanyahu tapi juga dari utusan khusus Amerika Serikat, Dennis Ross, yang mestinya bertindak sebagai mediator yang adil.
Masjid Ibrahim
Figur Dennis Ross, warga Amerika keturunan Yahudi, sudah sedari awal membuat kesal Arafat dan perunding Palestina karena dirasakan terlalu memihak Israel. “Lebih baik kami berunding langsung dengan Netanyahu. Ross telah memposisikan dirinya sebagai pihak lawan ketimbang mediator,” keluh Arafat seperti dikutip harian Arab Saudi Asharq al-Awsat (15/1). Ross adalah mantan petinggi AIPAC, lobbi Yahudi paling kuat di AS yang dikenal dekat dengan politik garis keras Partai Likud di Israel.
Palestina kehilangan hak untuk menguasai kompleks Masjid Ibrahimi, yang menjadi ladang pembantaian 29 Muslim oleh seorang fundamentalis Yahudi, Baruch Goldstein. Bahkan Arafat akhirnya menarik pula tuntutan untuk mengadakan keamanan bersama di kompleks yang juga berisi makam Nabi Ibrahim, Yakub, Ishak dan Ismail.
Kegagalan menguasai Masjid Ibrahimi itu dikecam keras oleh oposisi Islam Palestina, Hamas. Dalam pernyataan resmi kelompok ini Rabu kemarin, Hamas menolak kesepakatan itu. “Kesepakatan ini untuk pertama kalinya telah menjadikan kota al-Khalil milik bersama bangsa Palestina dan Yahudi, sementara al-Haram al-Ibrahimi (Masjid Suci Ibrahimi) masih tetap di kuasai pasukan pendudukan Israel,” tegas statemen itu.
Apakah kesepakatan di atas akan berjalan mulus? Ada yang optmis tapi banyak pula yang pesimis, meski sudah ada jaminan tertulis dari Washington. Ini mengingat perilaku Israel sebelumnya yang selalu menunda realisasi perjanjian.
Tanda-tanda untuk itu sudah terlihat ketika kabinet Israel tak mampu mencapai kebulatan sikap dalam mendukung perjanjian al-Khalil. Tujuh dari 18 menteri menolak langkah Netanyahu. Bahkan Menteri Iptek Benny Begin, anak mantan PM Menachem Begin, langsung mengundurkan diri sebagai protes. Ada pula ancaman dari rekan koalisi Likud seperti National Religious Party (NRP) dan Moledet yang berniat menimbang kembali dukungannya pada pemerintahan Netanyahu. Jadi?
BACA JUGA:
Proyek Raksasa Hijaukan Sinai
Israel Bunuh Yahya Ayyash
Israel Bunuh Fathi Shaqaqi, Pemimpin Jihad Islam
[…] Hecht tidak sendirian. Banyak rabbi lain di Amerika dan Israel sepaham dengannya. Salah satunya adalah Avishai Raviv, pemimpin kelompok Eyal, di Tel Aviv. […]
[…] tempat ibadah Muslim sebagai sasaran serangan. Bom berkekuatan cukup besar menghancurkan sebuah masjid di distrik Ziniaville, kawasan pertambangan Rustenburg, Minggu 5 Januari lalu. Dua orang menderita […]