Oleh: MANSYUR ALKATIRI  –  Peneliti pada Indonesia Society for Middle East Studies (ISMES)

Dimuat di: Harian REPUBLIKA, Selasa 17 Februari 1998, Halaman 10.

Dalam pandangan Curtiss, kecurigaan adanya Israel Connection makin terbuka setelah surat kabar terkemuka Israel Yediot Ahronot mewawancarai pengacara Lewinsky, William Ginsbert, dan bertanya apakah mereka berdua menginginkan Clinton turun sebagai presiden akibat tuduhan skandal itu. Ginsberg menjawab: “Justru sebaliknya. Kami pendukung Presiden Clinton dan menyukai posisi dan kebijakannya menyangkut Israel. Clinton sangat positif pada Israel dan Yahudi, dan Monica dan saya adalah Yahudi.”

Menurut surat kabar Israel itu, Ginsberg menguraikan lebih jauh perasaannya sendiri. “Saya menangis karena saya takut pada nasib kepresidenan dalam demokrasi kami. Saya tak ingin presiden mundur, karena saya tak tahu siapa pengganti Clinton dan bagaimana nantinya ia berhubungan dengan Israel?”

Nampak Ginsberg sebagai seorang Yahudi AS begitu concern dengan Israel. Ia tak mau berspekulasi dengan presiden baru yang belum diketahui posisinya terhadap Israel. Tapi bagi kaum Yahudi pro-Likud di AS, mereka tahu persis bahwa Al Gore , wakil presiden sekarang, lebih mudah mereka kendalikan dibanding Clinton.

Al Gore dan Lobbi Israel

Wakil Presiden AL GORE, keturunan Yahudi pertama yang potensial jadi Presiden AS

Sampai saat ini, kalangan tua di Timur Tengah, masih percaya adanya kaitan langsung rencana Presiden Richard Nixon dulu untuk menekan Israel, dengan skandal Watergate yang menimpanya. Skandal yang dibeberkan harian The Washington Post , salah satu media terkemuka AS yang dimiliki taipan Yahudi, akhirnya membuat Nixon terpental mundur di awal masa jabatannya yang kedua. Kalangan di Eropa juga cenderung berpendapat sama. Tapi 99 persen rakyat Amerika, tak pernah mendengar hal ini karena membisunya media AS pada setiap tuduhan yang menyangkut intervensi Israel dalam masalah AS.

Awal tahun lalu, Richard Curtiss juga pernah menulis, kalau Clinton terpilih kembali untuk masa jabatan kedua sebagai Presiden AS, ia takkan lagi menikmati perlindungan media, seperti pada masa jabatan pertamanya.

Prediksi itu dilandasi oleh alasan bahwa para pendukung Israel di AS sebetulnya lebih suka Al Gore, yang sudah lama mereka bina. Ketergantungan Al Gore pada lobi Israel, baik saat menjadi senator maupun wakil presiden, membuktikan dirinya loyal pada kemauan Yahudi. Gore memenuhi kantornya dengan penasihat dan staf yang tak lain pendukung fanatik Israel, termasuk Martin Peretz.

Dengan kasus yang menerpa Clinton sekarang, agaknya lobi pro-Israel kini tengah menemukan jalan mudah untuk membawa Gore ke kursi presiden. Mereka mengeksploitasi kecenderungan destruktif pribadi Clintor agar sang presiden mengakhiri jabatan lebih awal. Meskipun bukti-bukti pasti yang mendukung kemungkinan itu belum tampak, ada beberapa caatan yang bisa mengindiksikan ke arah itu.

Reporter investigasi dari mingguan kenamaan Newsweek, Michael Isikoff, mengatakan telah menyelidiki cerita perselingkungan Clinton-Lewinsky itu selama beberapa bulan. Kebanyakan cerita itu didasarkan pada telepon-telepon dari orang yang tak mau menyebut nama (anonim) dan kaset-kaset berisi percakapan dengan Lewinsky. Tapi Isikoff tak buru-buru menyiarkan cerita itu sampai satu minggu sebelum jadwal kunjungan Netanyahu dan Arafat ke Washington.

Lalu Isikoff dan Newsweek melakukan aksi yang besar. Ketika cerita itu sudah siap untuk dipublikasikan dalam edisi 17 Januari, Isikoff dan beberapa temannya berhasil membujuk Newsweek untuk menunda menerbitkan cerita itu. Alasannya, bila diterbitkan saat itu bisa mencampuri upaya investigasi jaksa penuntut independen Kenneth Starr. Newsweek pun menunda pemuatan cerita itu satu minggu.

Namun tiga hari kemudian, setelah Starr mempunyai bukti-bukti yang diperlukan, The Washington Post, harian terkemuka yang satu kepemilikan dengan Newsweek, memuat cerita itu, tepat di hari kedua kunjungan Netanyahu. Warga Amerika ingat, harian The Washington Post pula yang dulu sendirian membongkar skandal Watergate dan menjadi berita sampai berbulan-bulan sampai keputusan mundurnya Presiden Richard Nixon.

Kalau dulu The Washington Post bekerja sama erat dengan jaksa penuntut khusus yang mengusut Presiden Nixon, kini koran itu bekerja sama lagi dengan jaksa khusus yang menangani kasus Clinton-Lewinsky. Dalam dua kasus itu, rakyat Amerika mendapatkan kedua presiden mereka itu orang yang jelek. Namun, dalam dua kasus itu pula, Israel telah terlindungi dari konfrontasi serius dengan Presiden AS, yang bisa merugikan negara Yahudi yang berdiri di atas tanah rampasan dari bangsa Palestina itu.* (HABIS)

BACA JUGA:
Israel Connection di Balik Skandal Clinton-Lewinsky (Bagian 1)
Kosovo Bangkit Melawan Serbia
Pesta Yahudi di Atas Derita Palestina

By mansyur

4 thoughts on “Israel Connection di Balik Skandal Clinton-Lewinsky (Bagian 2)”

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *