Oleh: MANSYUR ALKATIRI  –  Peneliti pada Indonesia Society for Middle East Studies (ISMES)

Dimuat di: Harian REPUBLIKA, Senin 16 Februari 1998, Halaman 10.

Kamis, 22 Januari 1998, Presiden Palestina Yasser Arafat mendapat kesempatan berharga untuk mempengaruhi opini publik Amerika Serikat. Arafat akan membuat ajakan langsung pada rakyat AS agar mau campur tangan menyelamatkan proses perdamaian Timur Tengah. Ajakan itu akan disampaikan lewat media massa Amerika, dalam sebuah konferensi pers langka di Gedung Putih bersama Presiden Bill Clinton.

Pesan Arafat sangat penting mengingat dua hari sebelumnya, Perdana Menteri Israel Benyamin Netanyahu di tempat yang sama menolak memenuhi komitmen penarikan mundur dari wilayah Palestina, yang sebelumnya telah ditandatangani pemerintah Partai Buruh pimpinan Yitzhak Rabin pada September 1993 dan 1995. Ini kesempatan berharga bagi Arafat untuk membongkar dan menunjukkan betapa Netanyahu seorang keras. Arafat pun berkesempatan mengimbau seluruh rakyat Amerika –khususnya Presiden Clinton- agar berperan sebagai “penengah yang jujur” dalam proses perdamaian yang lama tertunda itu.

Seperti lazimnya sebuah konferensi pers penting di Gedung Putih, pesan itu semestinya menghiasi halaman muka koran-koran besar Amerika. Dan Palestina bakal mengambil keuntungan besar darinya. Di lain pihak kerugian besar bagi citra pemerintah Israel.

Tapi apa yang kemudian terjadi? Puluhan wartawan Gedung Putih ternyata tak tertarik pada Yasser Arafat. Mereka tak tertarik berbicara Timur Tengah. Mereka justru mencecar habis Presiden Clinton dengan pertanyaan-pertanyaan tajam menyangkut skandal seks Presiden yang baru saja diledakkan harian The Washington Post dua hari sebelumnya, di hari kedua kunjungan Netanyahu. Wartawan melihat, inilah kesempatan terbaik dan mungkin satu-satunya, untuk menanyakan masalah sensitif itu langsung pada Presiden.

Presiden Bill Clinton dan Monica Lewinsky

Sebagai hasilnya, rakyat Amerika jadinya tak mendapat informasi yang cukup tentang akhir dan hasil tak memuaskan kunjungan Netanyahu di Washington. Dua kali pertemuan Netanyahu dan Clinton itu terasa ‘dingin’, tanpa acara makan siang dan makan malam seperti lazimnya sebuah kunjungan diplomatik.

Netanyahu saat itu bahkan menolak memberi peta rencana penarikan mundur tentara Israel. Netanyahu juga menolak desakan AS bahwa tindakan Israel yang lama menunda-nunda penarikan mundur akan membuat proses perdamaian semakin rumit. Satu tahun setelah satu dari tiga tahap penarikan territorial terlaksana, Israel masih belum menawarkan secara jelas rencana penarikan berikutnya.

Kalangan pengamat independen umumnya sepakat, hanya intervensi AS lah yang dapat menjembatani jurang antara kira-kira 2,9 persen wilayah Tepi Barat yang sekarang dikuasai Otoritas Palestina, dan 92 persen wilayah yang masih dikuasai Israel. Yasser Arafat menuntut penyerahan yang 92 persen itu sebelum mereka memasuki perundingan status akhir dengan Israel. Tapi saying, tak satu pun masalah ini muncul dalam konferensi pers Arafat-Clinton.

Israel Connection

Meskipun para wartawan tak menyinggung kunjungan Arafat, dan tak bersangkut paut sengan permasalahan Timur Tengah, pengamat Timur Tengah Richard H Curtiss (Arab News, 30/1), mencatat adanya Middle East Connection pada fakta bahwa dua kasus yang sangat berbeda, yaitu momen penting proses perdamaian dan skandal seks Clinton, bisa terjadi bersamaan.

Pada akhir 1997, Clinton mengundang makan malam di Gedung Putih sejumlah pemimpin organisasi Yahudi mainstream AS. perbincangan mereka cukup serius dan sering emosional. Para pemimpin Yahudi itu berusaha meyakinkan Clinton agar mau bertindak keras pada Netanyahu. Jika tidak, PM Israel itu pasti akan menghancurkan proses perdamaian dan membuat lenyap peluangterakhir Israel untuk berintegrasi secara damai ke dalam Timur Tengah.

Namun Clinton nampak sangat skeptis menanggapi suara keras yang tidak biasanya itu. Clinton tak yakin mereka yang menyarankan untuk bersikap keras pada Netanyahu itu akan mendukungnya bila Netanyahu nantinya menghajar balik si presiden melalui tangan-tangan pro-Likud yang sangat berpengaruh dalam masyarakat Yahudi dan “media elite” AS.

Pada Januari lalu, terdengar berita tak sedap bagi lobbi Yahudi Israel. Menteri Luar Negeri Medeleine Albright mulai kehilangan kepercayaan pada tim perdamaian Timteng yang semuanya Yahudi pro-Israel. Albright mulai mengalihkan perhatian pada Thomas Pickering, diplomat kawakan yang pernah enam kali menjadi duta besar, termasuk di Jordania dan Israel. Pejabat ranking tiga Deplu AS ini dikenal brilian. Tapi langkah berani Albright ini sepertinya mentok di Presiden Clinton.

Dalam tulisannya di surat kabar Jordan Times (4/2), James Zogby, direktur Arab American Institute, juga mengemukakan banyaknya sangkaan seperti itu di kalangan intelektual Arab-Amerika, para pembuat kebijakan dan pembuat opini. Menurut Zogby, rencana Clinton untuk mengambil langkah yang lebih keras pada Israel setelah kegagalan pertemuan Clinton-Netanyahu di Washington, menjadi alasan utama di balik tudingan itu.

Meskipun Zogby sendiri meragukan kemungkinan konspirasi seperti itu, ia memberi tambahan contoh yang kian membuat lobbi Israel gatal kupingnya pada Clinton. Lebaran kemarin, Presiden Clinton membuat pesan Idul Fitri yang mengesankan bagi Muslim di seluruh dunia. Clinton untuk pertama kalinya menyatakan dukungannya bagi hak Palestina untuk “hidup sebagai rakyat yang bebas”. Pernyataan ini disambut baik oleh para pemimpin Palestina, tapi sebaliknya dikritik kaum garis keras Israel.

Pada kesempatan yang sama, Clinton juga menjawab positif ajakan Presiden Iran Mohammad Khatami yang disebarkan melalui stasiun televisi CNN ke seluruh Amerika beberapa waktu lalu. Ia memuji Iran sebagai negara penting yang kaya warisan peradaban.

Clinton juga menunjukkan bahwa masalah yang sekarang terjadi antara AS dan Iran “bukannya tak dapat diatasi” dan menyambut baik “pertukaran lebih banyak antara rakyat kedua negara”. Pandangan ini tak bisa diterima oleh pendukung garis keras Israel di AS yang menolak setiap pendekatan dengan Iran.*

(Bersambung ke Bagian 2)

BACA JUGA:
Muslim di AS Dirampas dari Orang tuanya dan Dimurtadkan
Kosovo Di Ambang Revolusi
Skenario Bosnia di Kosovo

By mansyur

2 thoughts on “Israel Connection di Balik Skandal Clinton-Lewinsky (Bagian 1)”

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *