Irak Menemukan Islam Kembali
Oleh: Mansyur Alkatiri
SUMBER: MAJALAH UMMAT No. 34, Tahun III, 16 Maret 1998 / 17 Zulkaidah 1418 H
Tujuh tahun sanksi PBB, justeru membuat rakyat Irak kembali pada Islam. Saddam Hussein pun ikut alim.
Di jantung kota Baghdad, para kuli bekerja keras membangun konstruksi masjid yang besar nan megah. Bangunan yang masih pada tahap awal ini akan diberi nama Masjid Saddam. Dari namanya, tentu bisa diterka siapa yang paling antusias menanti rampungnya pembangunan masjid itu.
Namun, bukan cuma Presiden Saddam Hussein yang ingin cepat melihat bangunan agung itu berdiri. Warga Irak pun rata-rata tak sabar menunggu. Dibangun di atas kawasan Muthana Airport, Masjid Saddam diperkirakan bisa menampung sekitar 45.000 jamaah. Memang luar biasa. Arsiteknya pun sudah merencanakan membangun sejumlah menara setinggi 100 hingga 150 meter.
Bagi orang yang tahu sepak terjang Saddam Hussein dan Partai Baath dulu, pembangunan masjid agung itu memang terasa aneh. Sejak awal berkuasa di akhir 1970-an, Saddam dengan bengis menghabisi seluruh lawan politiknya, terutama gerakan-gerakan Islam. Kelompok komunis pun juga dilindasnya. Ideologi Baathist –yang dipelopori pemikir Kristen Suriah, Michel Aflaq– menggabungkan sosialisme dan nasionalisme Arab.
Tak ada ruang hidup bagi Islam sebagai suatu ideologi politik.Namun, Perang Teluk tujuh tahun lalu telah mengubah semuanya. Ketika pasukan multinasional pimpinan Amerika Serikat mulai melancarkan Operasi Badai Gurun, Saddam langsung memerintahkan perubahan bendera nasional Irak. Kata Allahu Akbar diletakkan di tengah bendera yang dihiasi warna merah, putih dan hitam. Tujuannya sudah jelas: meraih simpati rakyat sendiri dan umat Islam di seluruh dunia.
Makin Islam
Melihat watak Saddam saat itu, ada yang berpikir, bulan madu dengan Islam akan berakhir segera setelah selesainya Perang Teluk. Namun, dugaan itu ternyata meleset. Di tengah penderitaan yang sudah tujuh tahun dialami rakyat Irak akibat embargo Perserikatan Bangsa-Bangsa. Saddam Hussein dan hampir seluruh rakyatnya justeru kian menoleh pada Islam.
Selain itu, pidato-pidato Saddam Hussein akhir-akhir ini bisa menjadi tolok ukur. Sebagian besar warga Irak pun makin terkesan dengan pidato Saddam. Sebab, sang presiden kerap mengutip ayat-ayat Al-Qur’an di hampir setiap pidatonya.
Tak hanya itu, Saddam juga mengundang dai-dai dari luar negeri, termasuk mereka yang tergolong “keras”, untuk mengajari warga Irak tentang Islam. Tahun lalu, misalnya, Saddam bahkan mengizinkan Abdul Munim Abu Zant untuk memberi ceramah agama setiap hari di televisi milik pemerintah. Padahal, Abu Zant dikenal sebagai aktivis Muslim beraliran radikal, yang bertahun-tahun berjuang untuk mendirikan negara Islam di Yordania.
Simbol-simbol di atas diperkuat lagi dengan meningkatnya jumlah jamaah yang shalat di masjid. Seorang warga Baghdad yang ditemui The Economist mengatakan, “Sebelum perang, hanya kira-kira 90 jamaah yang datang ke mesjid untuk melakukan shalat Jumat di lingkungan saya. Sekarang hampir seribu jamaah –kebanyakan kalangan muda– membanjiri mesjid yang sama.”
Krisis Irak baru-baru ini, yang sempat menjadi perhatian dunia, juga ikut memberi andil bagi kebangkitan Islam di Irak. Diplomasi dan krisis yang berkepanjangan serta suhu politik yang meningkat ternyata berimbas pada kedekatan kaum Muslim Irak kepada agamanya. Belum lagi, keberhasilan diplomasi Sekjen PBB Kofi Annan dengan Saddam yang pasti membuat semua warga Irak bersyukur.
Kondisi hidup sengsara rakyat negeri seribu dan satu malam itu turut mendongkrak semangat menggapai spiritualitas. Pada saat warga kekurangan bahan makanan dan obat-obatan, sikap hidup mereka menjadi lebih pasrah dan tawakal kepada Yang Maha Kuasa. Padahal, sebagian warga pada musim dingin harus rela menjual selimut dan alat pemanas mereka demi membeli sepotong roti.
Kalangan muda Irak tak ketinggalan. Bagi mereka, agama Islam mampu memberdayakan dan memberikan spirit perjuangan baru dalam kondisi yang kritis. “Mereka tak punya uang, pekerjaan, maupun masa depan,” ujar seorang bapak. “Islam-lah yang membuat mereka terus bertahan.”
Para wanita pun kini banyak yang mau memakai abaya, pakaian longgar yang menutup seluruh tubuh kecuali muka dan telapak tangan. Pemandangan wanita berpakaian serba hitam itu tak hanya dijumpai di desa-desa atau pinggiran kota. Di ibukota Baghdad pun, mayoritas wanita kini ber-abaya, termasuk wanita profesional. Padahal sebelumnya, wanita di Baghdad –kecuali warga keturunan Palestina–, umumnya berpakaian Barat mutakhir dan suka menghias rambut.
Dan semua perubahan itu kini disimbolkan dalam bentuk Mesjid Agung Saddam.*
[…] BACA JUGA: Bom Al-Qaida di Karbala – Koran Tempo Setelah Road Map Arab-Israel Disodorkan – Koran Tempo Irak Menemukan Islam Kembali – Ummat […]
[…] meskiĀ tanpa persetujuan Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa. Ia mengultimatum Presiden Irak Saddam Hussein untuk meninggalkan Bagdad dalam waktu 48 jam. Jika Saddam dan keluarganya […]