Oleh: MANSYUR ALKATIRI
Tanggal 19 Desember 1948, Belanda melancarkan agresi keduanya langsung ke Yogyakarta, ibukota Republik Indonesia saat itu. Nasib Republik yang baru tiga tahun merdeka ada di ujung tanduk. Istana Presiden Gedung Agung Yogyakarta pun dikepung pasukan penjajah.
Dalam situasi genting itu, Presiden Soekarno memanggil Mayor Husein Mutahar, seorang keturunan Arab, ajudan kepercayaannya. Soekarno menugaskan Mutahar untuk menyelamatkan Bendera Pusaka Merah Putih, hasil karya Ibu Fatmawati Soekarno, yang dikibarkan saat Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945 di Pegangsaan Timur 56, Jakarta. Bendera Pusaka itu simbol negara yang tidak boleh jatuh ke tangan Belanda.
Bung Karno pun memanggil Husein Mutahar ke kamarnya, sementara beliau sendiri tidak tahu nasib apa yang bakal menimpanya. “Dengan ini aku memberikan tugas kepadamu secara pribadi. Dalam keadaan apapun juga, aku perintahkan kamu untuk menjaga bendera ini dengan nyawamu! Tidak boleh jatuh ke tangan musuh. Dan di satu waktu, jika Tuhan mengizinkan, engkau harus mengembalikannya kepadaku sendiri dan tidak kepada siapa pun kecuali kepada orang yang menggantikanku sekiranya umurku pendek. Andaikata engkau gugur dalam menyelamatkan bendera ini, percayakan tugasmu kepada orang lain dan dia harus menyerahkan ke tanganku sendiri sebagaimana engkau mengerjakannya. Apa yang terjadi terhadap diriku, aku sendiri tidak tahu,” demikian perintah Bung Karno seperti yang tertulis dalam buku BUNG KARNO, Penyambung Lidah Rakyat Indonesia karya Cindy Adams.
Mutahar terdiam. Ia memejamkan matanya dan berdoa. Sementara bom berjatuhan di sekeliling Gedung Agung. Tentara Belanda terus mengalir melalui setiap jalanan kota. “Tanggung jawabnya sungguh berat,” kata Bung Karno dalam buku itu.
Lelaki keturunan Arab ini akhirnya memecahkan kesulitan itu dengan mencabut benang jahitan yang memisahkan kedua belahan dari bendera itu. Dibantu oleh Ibu Perna Dinata, benang jahitan yang menyambung warna merah dan putih Bendera Pusaka itu berhasil dipisahkan.
Hal itu terpaksa dilakukan karena kalau Belanda memergoki ia membawa bendera merah putih pasti ia akan dieksekusi karena dianggap Republiken anti-Belanda, dan Bendera Pusaka itu bakal disita. Ia yakin, setelah kedua kain itu dipisahkan maka tak bisa lagi disebut bendera, karena hanya berupa dua carik kain merah dan putih.
Setelah berhasil dipisahkan menjadi dua, Husein Mutahar pun memasukkan dua kain merah dan putih itu ke dalam dasar dua tas miliknya, yang kemudian dijejali seluruh pakaian dan kelengkapan miliknya.
Presiden Soekarno dan Wakil Presiden Muhammad Hatta akhirnya memang ditangkap dan diasingkan oleh Belanda. Dan, Husein Mutahar juga ditangkap bersama beberapa staf Kepresidenan lainnya, diangkut dengan pesawat Dakota. Ternyata mereka dibawa ke Semarang dan ditahan di sana. Namun, saat menjadi tahanan kota, Husein Mutahar berhasil melarikan diri ke Jakarta dengan naik kapal laut.
Di Jakarta, Mutahar menginap di rumah R. Said Soekanto Tjokrodiatmodjo (Kapolri pertama). Ia terus mencari informasi bagaimana caranya dapat segera menyerahkan Bendera Pusaka kepada Presiden Soekarno.
Akhirnya, pada pertengahan Juli 1948, Husein Mutahar menerima pemberitahuan dari Soedjono yang tinggal di Oranje Boulevard (sekarang Jl. Diponegoro) Jakarta, bahwa ada surat pribadi dari Presiden Soekarno untuknya. Mutahar pun ke rumah Soedjono, mengambil surat itu. Ternyata benar berasal dari Presiden Soekarno pribadi. Isinya adalah perintah kepadanya agar menyerahkan Bendera Pusaka yang ia bawa kepada Soedjono. Bendera itu selanjutnya akan dibawa Soedjono ke Bangka (Muntok) untuk diserahkan kepada Presiden Soekarno.
Presiden Soekarno tidak memerintahkan Husein Mutahar datang ke Bangka untuk menyerahkan sendiri Bendera Pusaka langsung kepada beliau, tetapi lewat Soedjono. Sebab, tak semua orang bebas mengunjungi tempat pengasingannya. Presiden Soekarno hanya boleh dikunjungi oleh anggota delegasi Republik Indonesia dalam perundingan dengan Belanda di bawah pengawasan UNCI (United Nations Committee for Indonesia), dan Sudjono adalah salah satu anggota delegasi itu. Sementara Husein Mutahar bukan anggota delegasi.
Setelah mengetahui tanggal keberangkatan Soedjono ke Bangka, maka dengan meminjam mesin jahit milik seorang istri dokter, Bendera Pusaka yang sudah terpisah menjadi dua lembar itu dijahit kembali oleh Husein Mutahar, persis di lubang bekas jahitan aslinya. Namun, ada kesalahan jahit sekitar 2 cm dari ujung bendera. Selanjutnya Bendera Pusaka ini dibungkus dengan kertas koran dan diserahkan kepada Presiden Soekarno oleh Soedjono.
Pada 6 Juli 1949, Presiden Soekarno dan Wakil Presiden Mohammad Hatta kembali ke Yogyakarta dari Bangka dengan membawa kembali Bendera Pusaka. Dan pada 17 Agustus 1949, Bendera Pusaka kembali dikibarkan di Istana Presiden Gedung Agung Yogyakarta, lalu tahun berikutnya di Istana Merdeka, Jakarta.
Sebagai penghargaan atas jasanya menyelamatkan Bendera Pusaka, Pemerintah Republik Indonesia telah menganugerahkan Bintang Mahaputera kepada Husein Mutahar pada tahun 1961, yang disematkan oleh Presiden Soekarno.
Husein Mutahar lahir di Semarang, Jawa Tengah, pada 5 Agustus 1916. Setelah menempuh pendidikan dasar di ELS, yang dilanjutkan ke MULO dan AMS, ia kemudian menempuh kuliah di Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, meski hanya selama dua tahun (1946-1947) karena harus berjuang. Selepas dari MULO (1945), Mutahar sempat bekerja sebagai Sekretaris Panglima Angkatan Laut RI di Yogyakarta, kemudian menjadi pegawai tinggi Sekretariat Negara di Yogyakarta (1947).
Karirnya kemudian berpindah-pindah ke beberapa departemen, mengikuti perintah Presiden Soekarno. Salah satu puncaknya adalah saat ia diangkat menjadi Duta Besar RI di Vatikan (1969-1973). Ia menguasai paling tidak enam bahasa secara aktif. Jabatan terakhirnya adalah sebagai Penjabat Sekretaris Jenderal Departemen Luar Negeri (1974).
Bapak Paskibaraka, Tokoh Pramuka Indonesia, dan Komponis Besar
Di luar perannya yang besar dalam penyelamatan Bendera Pusaka, Husein Mutahar dikenal sebagai komponis musik, tokoh kepanduan dan Bapak Paskibraka.
Sebagai komponis, ia menciptakan beberapa lagu nasional dan anak-anak. Lagu nasional ciptaannya yang populer adalah Mars Merdeka dan hymne Syukur. Karya terakhirnya, Dirgahayu Indonesiaku, bahkan menjadi lagu resmi ulang tahun ke-50 Kemerdekaan Indonesia. Sedangkan lagu anak-anak ciptaannya, antara lain adalah: “Gembira”, “Tepuk Tangan Silang-silang”, “Mari Tepuk”, “Slamatlah”, “Jangan Putus Asa”, “Saat Berpisah”. Ia juga pencipta “Hymne Pramuka”.
Di bidang kepanduan, Mutahar dikenal sebagai salah seorang tokoh utama Pandu Rakyat Indonesia, sebuah gerakan kepanduan independen yang berhaluan nasionalis dan anti-komunis. Dan ketika seluruh gerakan kepanduan dilebur menjadi Gerakan Pramuka, Mutahar juga menjadi tokoh di dalamnya.
Husein Mutahar juga dikenal sebagai Bapak Pasukan Pengibar Bendera Pusaka (Paskibaraka), karena beliau lah yang mendirikan dan membina Paskibraka. Sebagai salah seorang ajudan Presiden, Mutahar diberi tugas oleh Presiden Soekarno untuk menyusun upacara pengibaran bendera ketika Republik Indonesia merayakan hari ulang tahun pertama kemerdekaan, 17 Agustus 1946. Pada saat itu, ia memilih lima anak muda (tiga pemuda dan dua pemudi) yang tinggal di Yogyakarta tapi berbeda asal daerahnya untuk mengibarkan Sang Saka.
Pada tahun 1967, Presiden Soeharto meminta Husein Mutahar untuk menyusun tata cara pengibaran Bendera Pusaka. Saat itu Mutahar menjabat sebagai Direktur Jenderal Urusan Pemuda dan Pramuka Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Hasilnya adalah seperti yang kita lihat setiap tahun dalam upacara Peringatakan Proklamasi 17 Agustus, yaitu pengibaran bendera oleh satu pasukan yang terdiri dalam tiga kelompok: Kelompok 17 sebagai pengiring atau pemandu, Kelompok 8 sebagai kelompok inti pembawa bendera, dan Kelompok 45 sebagai pengawal. Pembagian menjadi tiga kelompok tersebut merupakan simbol dari tanggal Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia.
Husein Muhahar selama hidupnya tidak menikah. Ia meninggal dunia di Jakarta pada 9 Juni 2004 di usia 88 tahun. Meski beliau berhak dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata karena memiliki Tanda Kehormatan Negara Bintang Mahaputera atas jasanya menyelamatkan Bendera Pusaka Merah Putih dan juga memiliki Bintang Gerilya atas jasanya ikut berperang gerilya pada tahun 1948-1949, tapi ia tidak ingin itu. Sesuai dengan wasiatnya sebelum meninggal, ia pun dimakamkan sebagai rakyat biasa di Tempat Pemakaman Umum (TPU) Jeruk Purut Jakarta Selatan.*
BACA JUGA:
Muslim di AS Dirampas dari Orang Tuanya dan Dimurtadkan
Aktivitas Masjid di Kampus
Bulgaria, Eksodus Baru Muslim