Oleh: Mansyur Alkatiri
(Peserta Peace Camp Against War, Jakarta, peneliti pada ISMES, Indonesian Society for Middle East Studies)
Dimuat di: Koran Tempo, Jumat, 21 Maret 2003
“Apakah seseorang akan merasa aman hidup di sebuah dunia di mana tatanan hukum hanya datang dari mata pedang Amerika?”
Pertanyaan yang tidak memerlukan jawaban ini bukan diungkapkan oleh Saddam Hussein dan para pendukungnya, tapi justru oleh orang Amerika sendiri, Robert Jensen, seorang profesor jurnalisme di University of Texas, Austin. Dalam tulisannya yang berjudul “Confronting Our Fears So We Can Confront The Empire” (zmag.net, 17 Maret 2003), ia membabat habis arogansi George Bush dan para hawkish-nya yang tetap ngotot menyerang Irak tanpa mengindahkan hukum internasional.
Tapi sayang, suara Robert Jensen, dan banyak lagi tokoh antiperang Amerika, itu tidak bermakna apa-apa bagi Presiden George W. Bush. Raja minyak Texas ini tetap memutuskan menyerang Irak, meski tanpa persetujuan Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa. Ia mengultimatum Presiden Irak Saddam Hussein untuk meninggalkan Bagdad dalam waktu 48 jam. Jika Saddam dan keluarganya mengabaikan ultimatum itu, maka “Sang Penguasa Dunia” akan segera melumatkan Bagdad dan kota-kota di Irak.
Makna apa yang bisa dipetik dari ultimatum Presiden Bush?
Pertama, pemerintah Bush telah menunjukkan salah satu motif invasi ke Irak, yaitu motif pribadinya: tergusurnya Saddam Hussein. Ia ingin membalaskan dendam ayahnya, George Bush Sr, yang justru terjungkal dari kursi kepresidenan AS setelah menang perang melawan Irak, sementara Saddam malah terus berkuasa di Bagdad.
Motif ini seakan tertutup oleh retorika-retorika ‘patriotis’ dan ‘relijius’ George Bush selama ini, antara lain bahwa perang itu untuk menghancurkan senjata-senjata pemusnah massal Irak, yang bisa mengancam kepentingan Amerika di Timur Tengah.
Karena tim inspeksi senjata PBB tidak juga menemukan senjata-senjata pemusnah massal seperti yang dituduhkan Amerika itu, dan ini membuat mayoritas anggota PBB menolak invasi ke Irak, Bush pun menjadi berang dan hilang akal. Sebab, sedari awal, ia dan kawan-kawan garis kerasnya di Gedung Putih hanya punya satu tujuan: Saddam Hussein harus dilenyapkan, apa pun caranya dan apa pun alasannya. Maka, tidak heran kalau kemudian ia tidak mau menggubris PBB.
Kedua, sejak hari pertama penyerbuan ke Irak, Amerika telah secara resmi memasukkan hokum baru dalam pola hubungan internasional, yaitu hukum rimba. Sebuah negara yang merasa lebih kuat, punya hak untuk menyerang atau melumatkan negara lain, dengan alasan apa pun, tanpa perlu mengindahkan hukum dan konvensi internasional. Bahkan hukum rimba bisa jadi sudah menjadi salah satu konvensi.
Dalam ‘konvensi hukum rimba’ ini Amerika tidak lagi memerlukan legitimasi badan dunia PBB. Hanya Amerika-lah satu-satunya kekuatan dunia yang berhak menentukan apakah suatu negara benar atau bersalah, apakah boleh dihukum atau tidak. ‘Konvensi’ Bush ini bukan tidak mungkin bakal diikuti oleh negara-negara lain untuk menyerang suatu negara yang merugikan kepentingan sosial, politik, dan ekonomi negara tersebut. Dan bagi AS sendiri, ‘hukum rimba’ ini –yang sudah ‘diterima’ secara internasional—bisa dipastikan akan terus digunakan terhadap negara lain yang dianggapnya membangkang.
Konsep ‘desain ulang Timur Tengah’ yang dikenalkan oleh para hawkish di pemerintahan Bush seperti Donald Rumsfeld, Dick Cheney, Richard Perle, Elliott Abrams, dan Paul Wolfowitz, bakal menargetkan Iran, Libanon, Syria, dan Arab Saudi, setelah misi menaklukkan Irak berhasil. Paul Wolfowitz pernah secara terbuka mengungkapkan desain itu, antara lain dengan mengganti rezim mullah di Iran dan rezim Baath di Damaskus, serta menggusur kekuatan gerilyawan anti-Israel Hezbollah di Libanon.
“Bila rezim Iran bisa diganti oleh kelompok ‘demokratis’, dan rezim Damaskus disingkirkan, maka tak ada lagi bantuan bagi gerilyawan Hezbollah. Setelah Hezbollah dilumpuhkan, maka amanlah Israel,” kata Wolfowitz, Yahudi zionis sejati yang kini duduk sebagai wakil menteri pertahanan Amerika.
Betapa kacau balaunya dunia, bila permainan koboi ini menjadi ‘konvensi’ dalam hubungan internasional saat ini dan masa mendatang. Maka, tepat sekali pertanyaan Robert Jensen di awal tulisan ini.
Akhir Pax-Americana?
Dalam setiap pidatonya yang ‘patriotis’ dan ‘relijius’, Presiden George Bush berkali-kali menjanjikan akan ‘menghadiahi’ rakyat Irak dengan sebuah rezim baru yang ‘demokratis’, setelah Saddam Hussein disingkirkan. Ia begitu yakin, kedatangan pasukan AS di Irak, akan disambut sebagai ‘pasukan pembebas’ oleh rakyat Irak.
Biar sejarah yang akan membuktikan, apakah keyakinan Bush itu benar atau salah. Jika benar, Bush akan memperoleh laba besar dari bisnis perangnya di Irak: sebuah negara yang memiliki cadangan minyak terbesar kedua di dunia, yang bisa dieksploitasi oleh karib kerabat dan para kroninya dalam industri minyak Amerika. Namun, jika sebaliknya yang terjadi, Bush akan kembali mengulang masa gelap Amerika di Vietnam.
Apa pun yang terjadi, dua kemungkinan itu tetap tidak akan membawa maslahat bagi perdamaian dan kesejahteraan dunia, termasuk bagi rakyat Amerika Serikat sendiri.
Bila kemungkinan pertama yang terjadi, sulit kiranya Amerika akan dibiarkan begitu saja oleh para pesaingnya menikmati kue kemenangan berupa cadangan minyak yang tidak terkira besarnya itu. Rusia, Prancis, Cina, dan Jerman, yang selama ini menikmati rezeki minyak Saddam Hussein, tak bakal tinggal diam dan membiarkan Amerika merasakan kenikmatan sendiri. Maka, perang bisnis minyak di antara Amerika dan Eropa-Cina, bisa jadi bakal kian menghebat di waktu-waktu mendatang.
Eropa dan Cina yang kecolongan atas Irak, kemungkinan bakal mem-back-up cadangan minyak besar lainnya di Iran, yang masih alergi terhadap Amerika. Sementara Arab Saudi, yang akhir-akhir ini mulai terlibat friksi dengan Washington, bisa jadi mulai menengok Eropa dan Cina.
Perang hebat di bisnis minyak ini, bakal pula menghebat ke sektor finansial, yaitu antara euro dan dolar Amerika. Amerika sangat marah dan dirugikan setelah Irak beberapa waktu lalu memutuskan hanya mau menerima mata uang euro untuk pembelian minyaknya. Keputusan inilah yang sangat membantu mendongkrak nilai euro melampaui dolar Amerika. Bagaimana kalau nanti Iran, Arab Saudi, juga Venezuela mengikuti jejak Bagdad?
Sementara itu, bila kemungkinan kedua yang terjadi, bisa bermakna habisnya umur Amerika sebagai Negara superpower. Biaya besar yang sudah dikeluarkan untuk perang di Irak, juga di Afganistan, akhirnya hilang percuma. Modal tidak kembali berupa kucuran minyak, tapi justru dalam bentuk sumpah serapah, darah, dan hancurnya ekonomi AS sendiri.
Charles Kupchan, direktur Europe Studies dan senior fellow di Council on Foreign Relations, sudah meramalkan bahwa akhir dari Pax Americana sudahlah dekat. Dalam buku terbarunya, The End of the American Era: US Foreign Policy and the Geopolitics of the Twenty-first Century, Kupchan memperhitungkan bahwa tantangan ke depan Amerika akan berasal dari Uni Eropa, yang kekuatan ekonominya kini sudah menjadi rival Amerika.
Kekalahan Amerika di Irak, jelas akan makin memperkuat posisi ekonomi Eropa. Euro makin mendongak, sebaliknya dolar makin terhempas.
Maka, ada baiknya George Bush dkk. merenungkan saran Marwan Bishara, seorang ilmuwan Palestina, agar Washington melihat pengalaman Israel saat ini. Israel adalah penganut kuat doktrin pre-emptive dan sangat berpengalaman dalam perang melawan terorisme. Tapi nyatanya, korban di pihak warga Yahudi Israel saat ini justru terus meningkat. “Korban warga Yahudi Israel dalam dekade ini justru meningkat 10 kali lipat dibanding tiga dekade sebelumnya,” kata Bishara.
Juga nasihat bijak dari seorang ahli sejarah militer Israel Martin van Creveld, “Jika Anda merasa kuat, dan Anda setiap waktu memerangi mereka yang lemah, Anda sendiri akan menjadi lemah.”*
BACA JUGA:
Israel Connection di Balik Skandal Clinton-Lewinsky – Bagian 2
Husein Mutahar Penyelamat Bendera Pusaka
Faradj Martak Hadiahkan Rumah Proklamasi untuk Bung Karno