Ketika Fajar Perdamaian Menyingsing
Oleh: Mansyur Alkatiri
Dimuat di: Majalah UMMAT, No. 15 Thn. II/ 20 Januari 1997
Pemerintah komunis Tajikistan dan oposan Islam menandatangani perjanjian damai.
Fajar perdamaian mulai menyingsing di bumi Tajikistan. Bertempat di Moskow, ibukota Rusia, Senin 23 Desember lalu, Presiden Republik Tajikistan Imomali Rakhmanov dan pemimpin oposisi Islam Sayed Abdullah Nuri, menandatangani kesepakatan pembentukan Komite Rekonsiliasi Nasional, lengkap beserta fungsi dan wewenang lembaga itu.
Dibanding pertemuan-pertemuan sebelumnya yang hanya mampu melahirkan gencatan senjata, perundingan di Moskow membersitkan harapan nyata bagi perdamaian. Pembentukan komite ini diharapkan bisa mengakhiri perang saudara antara pemerintah neo komunis dengan kekuatan-kekuatan demokratik yang beroposisi pimpinan kelompok Islam, Partai Kebangkitan Islam (IRP), yang sudah berlangsung 4 tahun.
Sebelum acara di Moskow, Rakhmanov dan Nuri sudah bertemu di sebuah kota di Afghanistan utara, di dekat perbatasan Tajikistan. Sejak kalah dalam perang saudara 1992, Noori dan banyak pemimpin oposisi lainnya tinggal di pengasingan di Afghanistan dan Iran.
Pembagian kekuasaan
Jalannya perundingan Moskow berlangsung alot, sebagaimana dijelaskan Akbar Turajonzoda, tokoh senior IRP. “Oposisi dan pemerintah sekular Tajikistan menyepakati fungsi dan wewenang Komite lewat perdebatan sengit,” katanya seperti dikutip kantor berita Rusia Interfax. Turajonzoda adalah mantan ketua ulama (qadi) Tajikistan. Ia disingkirkan oleh pemerintah Rakhmanov pada 1993 karena mendukung IRP.
Namun PM Rusia Viktor Chernomyrdin yang menyaksikan penandatanganan itu yakin, kedua pihak akan berupaya keras merealisasikan perdamaian. “Dokumen itu merefleksikan aspirasi seluruh rakyat Tajik yang sudah lelah dengan perang dan perseteruan,” ujarnya.
Rusia berperan besar mempertemukan kedua pemimpin. Konflik berkepanjangan di negara Asia Tengah itu amat membebani Moskow yang menempatkan 25.000 tentaranya di sepanjang perbatasan Tajikistan-Afghanistan, membantu rezim komunis Rakhmanov. Rusia khawatir masuknya pengaruh Islam dari Afghanistan ke Tajikistan bisa membahayakan kepentingan Rusia di kawasan Asia Tengah. Namun kini Rusia menyadari, beban ekonomi yang harus disangganya terlalu besar, mengingat Tajikistan yang berpenduduk lebih 6 juta jiwa itu adalah negara miskin. Maka Rusia mulai menekan pemerintah Dushanbe untuk berdamai.
Komite Rekonsiliasi Nasional beranggotakan wakil-wakil pemerintah dan oposisi. Dalam barisan oposisi yang didominasi IRP, terdapat wakil kelompok Rastokhez dan Partai Demokratik Tajikistan (DPT) yang beraliran liberal dan Lale Badakhshon, kelompok suku Pamiri (Badakhshoni) yang menginginkan otonomi lebih luas bagi Wilayah Otonomi Gorno-Badakhshon.
Menurut jubir pemerintah, Zafar Saidov, Komite akan membagi kekuasaan dengan kelompok oposisi di semua jenjang jabatan pemerintahan. Komite juga akan menyiapkan referendum konstitusi dan pemilu parlemen. Tapi Saidov tak menjelaskan kapan pemilu itu akan dilangsungkan. Selain itu, komite akan pula mengatur kembalinya para pengungsi Tajik yang jumlahnya mencapai lebih 800.000 jiwa, memperbaiki ekonomi negara itu yang sudah hancur, amnesti dan pertukaran tawanan perang. Kedua pihak juga setuju 1 Juli 1997 sebagai tanggal penyelenggaraan perundingan komplit bagi penyelesaian damai secara permanen.
Harapan?
Pendirian Komite Rekonsiliasi sebagai landasan bagi pembagian kekuasaan secara adil, sebenarnya merupakan tuntutan lama kelompok oposisi pimpinan IRP. Namun pemerintah Dushanbe selalu menolaknya. Lantas kenapa sekarang Dushanbe tak lagi menolak?
Selain faktor tekanan Rusia, agaknya pemerintah Rakhmanov juga menghitung kemajuan oposisi di medan tempur, terutama dua bulan terakhir ini. Awal Desember lalu, milisi IRP berhasil merebut kota strategis Garm di Tajikistan tengah dengan korban besar di pihak pemerintah. Sebelumnya, mereka berhasil pula merebut Komsomolobad, Tajikobad dan sebagian besar daerah Tavildara, beberapa minggu terakhir.
Mereka kini telah menguasai separuh negara, yaitu wilayah timur dan sebagian wilayah tengah. Menurut petugas bantuan kemanusiaan, tentara oposisi bahkan sudah berada 80 km timur ibukota Dushanbe. Ini ancaman serius bagi rezim Rakhmanov.
Harapan perdamaian kini terbuka sudah. Rakyat Tajikistan menunggu dengan sedikit senyum. Namun kecemasan memang belum sepenuhnya lenyap. Menurut kalangan diplomat asing di Dushanbe, seperti dilaporkan kantor berita Reuters, pemerintah bisa saja menggunakan perjanjian rekonsiliasi tersebut demi mencuri waktu untuk memperkuat cengkeraman atas kekuasaan. Benarkah? Wallahu a’lam.* (MA)
[…] lima republik baru di Asia Tengah –Kazakhstan, Uzbekistan, Turkmenistan, Kirgistan dan Tajikistan. Bahkan juga Baghdad, mantan seteru […]