Menggugat Model 12 Besar
Oleh: Mansyur Alkatiri
SUMBER: Majalah UMMAT, No. 39 Thn. III, 20 April 1998
Dalam kondisi krisis keuangan sekarang, model 12 besar dipertanyakan kembali. Persiapan timnas juga harus dipertimbangkan
Kompetisi Liga Indonesia yang kembali berputar usai Sidang Umum MPR, nampak meriah dari luar. Padahal sebetulnya tengah oleng akibat hantaman badai yang datang bertubi-tubi. Krisis moneter, hengkangnya sponsor, penundaan kompetisi sampai tiga bulan, dan mafia perwasitan. Keprihatinan menyeruak dimana-mana. Sempat malah tercetus pertanyaan: Layakkah kompetisi periode IV ini diteruskan?
Ternyata PSSI dan pemilik klub memilih melanjutkan kompetisi. Namun baru saja berlangsung, muncul hujatan lain. Beberapa tokoh klub menganggap, putaran 12 besar tak layak lagi dipertahankan. Sebagai gantinya, ada usulan sistem 6 besar. “Sistem 12 besar hanya membuang waktu dan tenaga,” teriak Rudi William Keltjes, pelatih Barito Putera. “Enam besar lebih efisien dan menghemat pengeluaran klub.”
Penghematan memang menjadi alasan utama di balik usul Keltjes. Krisis moneter yang melanda nusantara, sangat memukul persepakbolaan nasional, yang lagi merintis diri menjadi sebuah lahan industri yang menjanjikan. Apalagi sponsor, yang menjadi penyambung nyawa klub, kini tak ada lagi. Kesulitan klub kian bertambah setelah mereka ‘dipaksa’ berkorban untuk menunda kompetisi cukup lama dengan alasan SU MPR. Ini berarti, klub harus mengeluarkan duit tambahan tanpa diimbangi pemasukan dari pertandingan.
Banyak klub kini berjalan tertatih-tatih. Ada yang berteriak tak kuat lagi membayar gaji pemain. Gaji pun terlambat, bahkan untuk kasus pemain impor sekelas Dejan Glusevic, sampai empat bulan. Padahal ia anggota klub Pelita, yang nota bene cukup kaya dibanding lainnya. Tak terbayangkan bagaimana nasib para pemain di klub-klub gurem.
Melihat kondisi itu, pendapat Keltjes layak dimaklumi. Mantan kapten PSSI ini tak bisa membayangkan bila Persiraja Banda Aceh harus terbang ke Jayapura atau sebaliknya, hanya untuk sebuah pertandingan. Rencananya putaran 12 besar memang diadakan secara home and away. Dalam keadaan krisis seperti sekarang, itu bisa sangat membebani.
Pendapat Keltjes di setujui Don Kardono, manajer Mitra Surabaya. “Ubah 12 besar menjadi enam besar demi efisiensi waktu dan dana,” katanya seperti dikutip tabloid Bola. Don lebih jauh mengusulkan, enam klub di babak kedua bisa dibagi dalam dua grup. “Babak final sebaiknya dimainkan antara juara masing-masing grup di babak enam besar,” kata Don. Bagi Don, cara ini cukup efektif dan juaranya pun cukup teruji.
Selain masalah keuangan, Keltjes juga mempertimbangkan persiapan tim nasional. Kalau sistem 12 besar diberlakukan, praktis timnas hanya punya waktu enam bulan persiapan menghadapi Piala Tiger. Padahal ajang kejuaraan se Asia Tenggara ini menjadi patokan evaluasi pantas tidaknya PSSI dikirim ke Asian Games Bangkok.
Pelatih timnas Rusdy Bahalwan adalah yang pertama meminta dipercepatnya kompetisi, agar punya waktu lebih banyak mempersiapkan Fachry Husaini Cs. Dengan gagalnya uji coba dengan tim asing yang telah disusun sebelumnya, Rusdy merasa kurang punya kesempatan melihat kemampuan seluruh pemain.
Mengurangi Pemasukan
Namun perubahan dari 12 besar menjadi enam besar nampaknya bakal tak terwujud. PSSI, sebagai penyelenggara kompetisi, cenderung tetap mempertahankannya. “Masukan dari beberapa klub yang ada saat ini juga tetap mengarah kesana. Hanya mungkin ada beberapa perubahan. Tapi kalau untuk 6 besar, sepertinya tak mungkin,” jelas Sekum PSSI, Nugraha Besoes.
Meski demikian, PSSI masih menunggu hasil presentasi bidang kompetisi untuk menentukan format kompetisi yang akan diterapkan dalam putaran final. “Hal itu masih diolah dan akan dipresentasikan di depan pengurus harian PSSI, Selasa (14/4) mendatang,” tambahnya.
Melihat kondisi yang ada, nampaknya usulan manajer Persib Bandung Dwi Koernianto layak dipertimbangkan. Dwi tetap ingin 12 besar namun formatnya di ubah, dengan mengganti sistem home and away dengan sistem gugur. Tiga juara grup dan satu runner up terbaik di penyisihan wilayah mendapat bye di pertandingan awal 12 besar.
Usulan Dwi diatas bisa dianggap kompromi diantara dua pendapat diatas. Kompetisi tetap menggunakan 12 besar, tapi waktunya dipersingkat. Mempercepat kompetisi mungkin bisa menurunkan sisi entertainment dan income PSSI. Namun seperti kata Keltjes, “Apa yang kita dari Ligina? Hura-hura atau prestasi?”
Lagipula agak naif kiranya untuk mengharap income menggiurkan dari 12 besar, seperti halnya tahun-tahun silam. Bila tidak dipersingkat, masa kompetisi akan melewati waktu putaran final Piala Dunia Perancis (10 Juni-12 Juli). Dengan kondisi persepakbolaan nasional seperti sekarang, apalagi kompetisinya sendiri sudah tercoreng, siapa yang mau mengubah konsentrasinya dari Piala Dunia ke Liga Indonesia?
Mansyur Alkatiri