Oleh: MANSYUR ALKATIRI

(Penulis adalah peneliti pada Indonesia Institute of Peace and Justice, INPEACE)

Dimuat di: Koran Tempo, Jumat, 5 Maret 2004

Rentetan serangan dahsyat yang memporak-porandakan peringatan Asyura oleh warga Syiah Irak di kota Baghdad dan Karbala, Selasa (2/3), kembali menegaskan betapa Irak di bawah pendudukan Amerika Serikat makin menuju ke titik kehancuran. Semakin lama usia pendudukan Amerika, semakin gelap nasib negara yang pernah menjadi kekuatan superpower dunia dimasa Dinasti Abbasiyah dulu.

Serangan bom di kota suci Syiah Karbala dan di kawasan Syiah di Baghdad membawa pesan kuat bahwa serangan ini memang ditujukan bagi komunitas Syiah Irak. Masjid-masjid yang diserang adalah masjid kaum Syiah, dan momentumnya adalah peringatan Asyura yang sarat dengan ritual ke-Syiahan. Dan segera setelah peledakan itu rumor deras pun menyergap, bahwa pelaku pemboman adalah para loyalis Saddam Hussein yang umumnya warga Muslim Sunni.

Untung saja para ulama Syiah di Karbala dan Baghdad segera meredam rumor itu. Seorang ulama di Karbala langsung menyatakan bahwa pemboman itu tidak mungkin dilakukan oleh seorang Muslim sekalipun berbeda mazhab, karena semua Muslim itu bersaudara. Dari pihak warga Sunni muncul pula solidaritas dengan menyumbangkan darah bagi para korban.

Al-Qaidah pelakunya?

Namun hanya selang beberapa jam setelah aksi pemboman itu, pejabat tinggi militer Amerika Serikat Brigadir Jenderal Mark Kimmitt menuding Abu Mussab al-Zarqawi sebagai tersangka utama peledakan itu. Al-Zarqawi adalah warga Yordania keturunan Palestina, yang oleh AS dianggap memiliki hubungan dengan jaringan Al-Qaida pimpinan Usamah bin Ladin. AS juga menuduh al-Zarqawi sebagai simpul hubungan antara Al-Qaida dan rezim Saddam Hussein.

Tudingan Jendral Kimmit ini diamini oleh beberapa anggota pemerintahan sementara Irak boneka Amerika. Mereka menganggap Al-Qaida punya tujuan menghasut perang saudara di Irak pasca “penyerahan kekuasaan pemerintahan” di Irak dari penjajah Amerika ke tangan pemerintahan sementara Irak.

Berbeda dengan para ulama Syiah yang berusaha meredam massanya, tudingan jenderal penjajah ini jelas berusaha membimbing opini warga Syiah, untuk mengarahkan telunjuk marah ke Al-Qaida, loyalis Saddam, dan kaum Sunni. Sebab selama ini pemerintahan penjajah Amerika selalu mengkait-kaitkan Al-Qaida dengan loyalis Saddam yang berbasis di wilayah Segitiga Sunni (Sunni Triangle).

Tudingan Amerika ke Al-Qaida itu juga bisa bermakna ke warga Arab Sunni non-Irak yang datang ke Irak selama atau setelah agresi Amerika. Mereka adalah para pejuang dari beberapa negara Arab, yang hanya punya satu tujuan: mengusir kaum penjajah Amerika dan sekutunya. Maka dengan menuding mereka adalah Al-Qaida, para pejuang Arab itu bisa menjadi sasaran kemarahan warga Syiah.

Ini sudah terjadi pada Agustus tahun lalu, saat serangan bom dahsyat menewaskan ulama Syiah Ayatollah Mohammad Baqr al-Hakim dan ratusan pengikutnya di Najaf. Warga Syiah saat itu langsung memburu, membunuh, atau menganiaya warga Arab non-Irak yang mereka temui di Najaf dan beberapa kota di selatan Irak yang menjadi basis komunitas Syiah. Pemboman atas pemimpin kelompok SAIRI (Supreme Assembly of the Islamic Revolution) ini, juga berdampak besar pada kerukunan warga Syiah dan Sunni di Irak, karena warga Syiah yang marah lantas mengambil alih beberapa masjid warga Sunni di wilayah yang mayoritas Syiah.

Kini, seruan para ulama Syiah kepada warganya untuk tidak membalas serangan bom itu kepada warga Sunni menghadapi cobaan berat dari kampanye ‘opini publik’ yang terus dilancarkan Amerika untuk mendiskreditkan perjuangan bersenjata warga Irak yang menentang kolonialisme Washington di negerinya.

Perang Saudara

Benarkah Al-Qaida atau milisi Sunni loyalis Saddam Hussein pelaku Bom Asyura? Betulkah mereka ingin mengobarkan perang saudara di Irak antara kaum Sunni-Syiah dan Kurdi? Kalau kita tidak malas untuk mencermati agenda perjuangan kelompok-kelompok pejuang di Irak, tudingan Amerika dan pemerintah bonekanya di Irak sangat lemah, dan mengandung maksud politis yang berbahaya.

Memang benar, perjuangan para gerilyawan Irak banyak dilancarkan oleh kelompok-kelompok Islam dan nasionalis di kalangan Muslim Sunni. Tapi tujuan perjuangan mereka adalah mengusir penjajah Amerika dan sekutunya di Irak. Termasuk disini adalah orang-orang Irak yang langsung bekerjasama dengan Amerika, seperti polisi dan politisi di pemerintahan sementara Irak bentukan AS.

Memang ada kejengkelan di sementara kaum Sunni terhadap kebanyakan warga Syiah yang bersikap netral terhadap agresi Amerika. Namun sulit dicerna akal kalau kemudian seluruh warga Syiah mereka jadikan sasaran serangan, karena tidak sedikit pula tokoh dan warga Syiah yang terang-terangan menentang kehadiran pasukan pendudukan AS. Contohnya adalah ulama muda Moqteda al-Sadr yang memiliki banyak pengikut di Baghdad dan Najaf. Bahkan pemimpin spiritual utama Syiah di Irak, Ayatullah Ali Muhammad Al-Sistani, selalu menolak bertemu dengan “gubernur jenderal” AS di Irak Paul L. Bremer, sebagai bentuk penentangan atas terus bercokolnya pasukan Amerika di bumi Irak.

Ayatullah Sistani akhir-akhir ini bahkan kerap bersuara keras terhadap Amerika, dan mengancam menggerakkan “intifada” di Irak bila AS terus menunda pemilihan umum demokratis di Irak, serta memperpanjang usia pemerintahan sementara yang dibentuknya.

Melihat makin kerasnya oposisi kaum Syiah terhadap Amerika, maka sulit dicerna akal kalau kemudian mereka dijadikan sasaran serangan bom oleh kaum Sunni atau Al-Qaida yang berhubungan dekat dengan kaum Sunni (ini versi Amerika).

Lagipula kelompok Sunni Irak merupakan kelompok yang paling keras memperjuangkan kesatuan negara Irak, hingga paling nyaring bersuara menentang bentuk negara federasi yang diusulkan kaum Kurdi. Serangan ke kaum Syiah terus-menerus justeru bisa memancing perang saudara yang memperlicin terpecahnya Irak.

Khusus tentang Al-Qaida, tuduhan bahwa Al-Qaida menghendaki perang saudara di Irak pasca 30 Juni juga tidak masuk akal. Perang saudara justeru tidak kondusif bagi persatuan Islam internasional, yang dicita-cita kan Al-Qaida. Dan sangat menghambat upaya mengusir keluar pasukan Amerika, yang menjadi musuh utama Al-Qaida.

Lantas siapa pelaku Bom Asyura kalau bukan Al-Qaida dan kelompok Sunni? Jawaban atas pertanyaan ini bisa dilihat dari siapa yang paling banyak mengambil keuntungan dari aksi pemboman itu.

Bom-bom berkekuatan besar yang meledakkan Baghdad dan Karbala Selasa lalu, agaknya digerakkan dengan motif yang sama dengan pemboman yang menewaskan Ayatollah Mohammad Baqr al-Hakim dan ratusan pengikutnya di Najaf. Yaitu memancing kemarahan kelompok Syiah terhadap loyalis Saddam Hussein dan pengikut Al-Qaida, yang umumnya berasal dari kelompok Sunni. Dengan kata lain, serangan itu bertujuan untuk melicinkan jalan bagi sebuah konflik komunal dahsyat, yang pada akhirnya membuat Irak hancur lebur dan terpecah dalam tiga negara baru berdasarkan etnik dan mazhab.

Kalau itu terjadi, maka tak ada lagi ancaman dahsyat dari Irak bagi Israel. Kaum nasionalis Arab yang berbasis di komunitas Arab Sunni di Irak Tengah, hanya memiliki negara kecil dengan sumber daya alam yang kecil. Sumber-sumber minyak utama umumnya terletak di wilayah Kurdi di Irak Utara dan wilayah Syiah di Irak selatan.

Kaum Kurdi jelas mudah diajak kerjasama oleh Amerika nantinya, dan juga oleh Israel. Keinginan Amerika untuk menguasai sumber minyak murah terpenuhi. Begitu juga dengan keinginan lama Israel yang berharap minyak dari ladang Kirkuk bisa mengalir kembali ke Pelabuhan Haifa di negara Yahudi itu seperti sebelum Perang Arab-Israel 1948. Sementara ketakutan akan negara teokratis baru di Irak selatan, bisa dibereskan kemudian, dengan skenarip baru ‘Axis of Evils’.

Jadi siapa pelaku paling logis dari aksi pemboman di Najaf 2003 dan Bom Asyura 2004? Bisa Anda tebak sendiri! *

KLIPING TULISAN ASLI di Koran Tempo, Jumat 5 Maret 2004:

BACA JUGA:
George Bush Si Pendusta
Setelah Road Map Arab-Israel Disodorkan
Husein Mutahar Penyelamat Bendera Pusaka

By mansyur

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *