IBUKOTA BARU MEREDAM SEPARATISME
Oleh MANSYUR ALKATIRI
SUMBER: MAJALAH UMMAT Tahun III No. 50, 6 Juli 1998 M / 11 Rabiul Awal 1419 H
Kazakhstan memindahkan ibu kotanya ke Astana. Diduga, ini upaya untuk meredam kemungkinan separatisme etnis Rusia.
Presiden Kazakhstan, Nursultan Nazarbayev, melangkah spektakuler. Di tengah kondisi ekonomi yang labil, ia membuat proyek monumental: memindahkan ibu kota negara. Segala macam kritik ditepisnya. Ambisinya untuk dikenang dalam sejarah modern negara pecahan Uni Soviet itu terlalu kuat untuk ditentang lawan-lawan politiknya. Sebelum ini, Nazarbayev juga mencoba mengubah negeri kaya minyak itu menjadi Kuwait-nya Asia Tengah.
Lewat upacara yang amat mewah, dan dihadiri banyak utusan negara asing, Presiden Nazarbayev meresmikan Kota Astana sebagai ibu kota baru Kazakhstan, Kamis (12/6) lalu. Di tengah kilatan cahaya laser, ia bahkan turut tenggelam dalam pesta semalam suntuk di alun-alun utama Astana, bersama ribuan rakyatnya yang berdatangan dari seluruh penjuru negeri. “Kami telah tunjukkan kepada dunia apa yang bisa kami lakukan,” ujar Nazarbayev bangga.
Kazakhstan tak hanya memindahkan ibu kotanya, tapi juga mengubah nama ibu kota baru itu, dari Akmola menjadi Astana. Akmola bermakna “Batu Nisan Putih”. Astana sendiri bermakna “Ibu kota”.
Tapi sebagai ibu kota, Astana belum siap segala-galanya. Banyak bangunan kantor pemerintah dan bisnis belum selesai dibangun. Jaringan transportasi dan telepon masih buruk, apalagi telepon internasional. “Kami cuma mengerjakan sebagian kota yang dibutuhkan untuk upacara peresmian,” ujar Farid Galimov, deputi pertama Wali Kota Astana, kepada Newsweek (22/6). Tak jelas juga kapan kedutaan asing dipindahkan.
Separatisme Rusia
Kenapa ibukota harus dipindah ke Astana? Bukankah kota industri di gerbang Siberia itu dikenal tak bersahabat suhunya. Jika musim panas, suhunya amat panas, dan sebaliknya di musim dingin. Bagaimana pula dengan ibu kota lama, Almaty, kota tua yang apik?
Pemerintah beralasan, Almaty tak cocok sebagai ibu kota karena rawan gempa. Airnya juga tak sejernih di Astana. Adapula alasan politis, yaitu letak Almaty yang hanya berjarak 160 kilometer dari perbatasan Cina. Ini dipandang rawan dari sudut keamanan.
Namun ada alasan politis lain yang lebih penting, dan barangkali menjadi pertimbangan utama Nazarbayev. Astana adalah pusat komunitas etnis Rusia di Kazakhstan. Pemindahan ibu kota itu akan makin memantapkan teritorial Kazakhstan, dari kemungkinan bahaya separatisme etnis Rusia.
Ketakutan akan separatisme itu cukup cukup beralasan, mengingat jumlah etnis Rusia yang mencapai 40 persen dari seluruh penduduk Kazakhstan. Pengalaman di Krimea (Ukraina) dan Moldova membenarkan ketakutan itu.
Apalagi sejarah menunjukkan, warga Rusia bukanlah penduduk asli di Astana dan sekitarnya. Mereka didatangkan oleh Moskow untuk mengubah perimbangan demografi di wilayah kaya mineral itu. Tujuannya tentu untuk mencegah pribumi Muslim Kazakh melepaskan dari dari kekuasaan Rusia. Cara yang sama juga ditempuh Moskow di negara-negara bekas Soviet lainnya, terutama yang berpenduduk mayoritas Muslim.
Saat ini pun wilayah negara Kazakhstan sudah berkurang dari yang semestinya. Beberapa daerah telah dimasukkan paksa ke wilayah kekuasaan Rusia di masa rezim komunis Soviet.
Diyakini, Nazarbayev kini juga punya agenda rahasia untuk memindahkan banyak warga etnis Kazakh dari wilayah lain ke Astana dan kota sekitarnya, yang umumnya dihuni etnis Rusia. Dan ini membuat etnis Rusia khawatir. Mereka takut akan bangkitnya nasionalisme Kazakh, bersamaan dengan kepindahan para birokrat dan pejabat baru ke Astana. Jalan-jalan di Astana kini telah diubah dengan nama-nama pahlawan Kazakh.
Kritik juga datang dari kalangan Kazakh sendiri. Mereka menilai proyek itu sebagai pemborosan. Bahkan ada yang menuduhnya “monumen egoisme” sang Presiden. Nazarbayev menolak pandangan seperti itu. “Ini bukan ambisi pribadi,” bantahnya pada International Herald Tribune (11/6). “Kami negara kesembilan terbesar di dunia. Ibu kota di negeri seluas itu harus berada di tengah-tengah wilayahnya, bukan di pinggirannya. Mengapa kami harus menunggu jika kami mampu mengatasi masalah itu seawal mungkin?” Biaya yang sampai akhir tahun depan mencapai 10 miliar dolar pun dianggapnya masuk akal.
“Memindahkan ibukota itu bukan masalah sederhana,” ujar Presiden Azerbaijan, Heydar Aliyev, seperti dikutip Newsweek (22/6). Ia salah satu kepala negara asing yang menghadiri upacara peresmian Astana. Namun bagi Nazarbayev, bos mantan Partai Komunis Kazakhstan yang kini berganti wajah menjadi seorang nasionalis Kazakh, tak ada yang sulit. Maklum, sebagai seorang diktator yang meredam habis suara oposisi, ia seperti bebas melakukan apa saja. Parlemen pun tak lebih sekedar stempel belaka.*
BACA JUGA:
Bulgaria, Eksodus Baru Muslim
Kosovo, Merdeka atau Perang
Kebohongan Kampanye Barat di Sudan