Mesjid Kampus di Tengah Perubahan

 

Dari: Majalah UMMAT, No. 27 Thn. III, 19 Januari 1998 / 20 Ramadhan 1418 H

Meski tampak menurun aktivitasnya, mesjid-mesjid kampus tetap eksis di tengah perubahan orientasi mahasiswa

RAMADHAN DI KAMPUS (RDK) JAMAAH SHALAHUDIN UGM. Tetap eksis di tengah perubahan
RAMADHAN DI KAMPUS (RDK) JAMAAH SHALAHUDIN UGM. Tetap eksis di tengah perubahan

Ribuan jamaah shalat Tarawih malam itu memenuhi Gelanggang Mahasiswa Universitas Gadjah Mada. Mereka bahkan meluap ke jalan-jalan sebelah timur, utara dan selatan gelanggang. Musim ujian nampaknya tak begitu mempengaruhi minat mahasiswa shalat Tarawih di Jamaah Shalahuddin itu.

Tapi, lain halnya dengan aktifitas di luar Tarawih. Di banding tahun-tahun lalu, aktifitas Ramadhan di Kampus (RDK) Jamaah Shalahudin memang berkurang gregetnya. “Sekarang semua PTN dan PTS di Yogyakarta mengadakan kegiatan RDK di tempat masing-masing,” ujar M. Arif Rahman, Ketua Jamaah Shalahudin UGM.

Menurut mahasiswa Jurusan Teknik Nuklir ini, kurang maraknya kegiatan RDK kali ini juga dikarenakan bertepatan dengan jadwal ujian, musim hujan dan krisis moneter. “Krisis ini membuat pihak sponsor seret mengeluarkan dana. Kita hanya mengandalkan donatur dari alumni,” jelas Rahman yang angkatan 1993 ini.

Masa ujian juga menjadi kendala aktifitas Ramadhan di Mesjid Manarul Ilmi Institut Teknologi Surabaya (ITS). “Untuk Ramadhan kali ini, kegiatan mesjid kampus nyaris tak ada karena selama dua minggu pertama Ramadhan ada ujian,” tutur Ahmad Imran Rosyadi (22), Ketua Jamaah Mesjid Manarul Ilmi (JMMI). Hal yang sama terjadi juga di Mesjid Raden Fatah Universitas Brawijaya (Unibraw) Malang.

Monoton

Tapi, benarkah hanya ujian yang menjadi penyebabnya? Lantas bagaimana dengan aktifitas di luar Ramadhan yang juga terkesan meredup dibanding dulu?

Pakar Komunikasi Jalaluddin Rachmat menganggap salah satu sebab melemahnya mesjid kampus itu adalah kemunculan kelompok-kelompok haraqi. Bersifat cenderung eksklusif, kelompok-kelompok ini mengembangkan lingkup dakwah dengan sistem sel yang pembinaannya berlapis-lapis. “Pemahaman keagamaan mereka cenderung monolitik dan tak mentolerir perbedaan,” katanya.

Menurut Jalal, kelompok-kelompok seperti itulah yang sekarang marak di kalangan mahasiswa.

AKTIVITAS DISKUSI MAHASISWA DI SERAMBI MASJID SALMAN ITB.  Sentuhan nilai keagamaan
AKTIVITAS DISKUSI MAHASISWA DI SERAMBI MASJID SALMAN ITB. Sentuhan nilai keagamaan

Dari pengamatan UMMAT di beberapa mesjid kampus, masing-masing kelompok itu sangat beragam orientasinya. Mereka menyebut kelompoknya dengan nama seperti Ikhwanul Muslimin (IM), Hizbut Tahrir (HT), Jamaah Salafy atau Jamaah Tabligh. Masing-masing punya tekanan dakwah sendiri. Ikhwan, misalnya, menitik beratkan pada penggemblengan akhlak dan akidah demi terbentuknya kepribadian Muslim. Sedang HT lebih menekankan upaya islamisasi melalui posisi strategis di kampus-kampus, seperti di Senat dan BPM. Salafy lebih ke pemurnian akidah dan ibadah ritual, sementara Tabligh lebih memfokuskan diri pada dakwah keliling (khuruj).

Ada faktor lain, menurut Jalaluddin, yang membuat pengajian di kampus-kampus merosot dari segi aktivitas: monotonnya materi pengajian di situ. “Materinya sering berputar-putar dari situ ke situ saja,” katanya. “Kalau saya mahasiswa dan ngaji disana satu tahun saja, maka saya pasti sudah tahu apa yang diomongkan para mubalig itu.”

Birokrasi kampus ternyata berperan pula melemahkan mesjid kampus. Hal ini diakui oleh Widlan (21), aktivis Mesjid Raden Fatah Universitas Brawijaya Malang. “Banyak hambatan dari birokrasi kampus,” tukas mahasiswa Fakultas Pertanian (1995), Jurusan Teknologi Pertanian ini. Mesjid ini tak bisa optimal digunakan. Kelompok lain diluar Unit Aktivitas Kerohaniaan Islam dilarang oleh pimpinan Unibraw melakukan kegiatan di mesjid ini. Hal yang kurang lebih sama juga dirasakan aktivis masjid di lingkungan Universitas Indonesia Depok.

Namun, hambatan-hambatan itu tak membuat surut para aktivisnya. Setiap tahun masih saja banyak yang berminat menjadi aktivis mesjid. Kendati harus diakui, mesjid-mesjid ini agaknya sudah gagal menarik kader-kader Muslim terbaik di kampus masing-masing. Motivasi awal mereka memasuki dunia mesjid kampus ini memang beragam, tapi kemudian disatukan oleh semangat kebersamaan yang tinggi.

Widlan misalnya, memilih aktif di mesjid kampus karena melihat masih cukup banyaknya garapan dakwah di kampusnya. “Kegiatan mahasiswa banyak menitik beratkan pada kepentingan dunia semata. Maka diperlukanlah sentuhan nilai keagamaan,” ujar mahasiswa angkatan 1995 ini.

Sementara Ruli Balia, mahasiswa angkatan 95 Teknik Fisika ITB, memilih terjun ke Mesjid Salman ITB karena waktunya memang lebih banyak tersita di lingkungan kampus dibanding lingkungan tempat tinggalnya. “Di Salman suasananya lebih intelektual dibanding di luar kampus,” tukas aktifis Majelis Taklim Salman ini.

Yahmin Setiawan (21) tertarik bergabung ke Mesjid Arif Rahman Hakim UI karena semangat silaturahminya yang besar. “Dulu, ketika opspek, kakak-kakak dari mesjid ARH tidak terlalu sangar. Mereka cukup santun. Ini membuat saya tertarik,” tutur mahasiswa Fakultas Kedokeran Umum yang kini ketua PPKR (Panitia Pelaksana Kegiatan Ramadhan).

Gigih

Melihat kegigihan para aktifisnya itu, plus pengkaderan yang rutin setiap tahun, tampaknya mesjid-masjid kampus itu akan bisa terus bertahan. Mereka juga ditopang secara moral dan finansial oleh alumnusnya, baik yang menjadi dosen di kampusnya maupun yang berada di luar kampus. Menurut penuturan Samsu Basarudin, alumnus jurusan Teknik Elektro ITB yang kini menjabat Sekretaris Lembaga Pengkajian Islam Salman (LPI-Salman), dosen dan mahasiswa ITB yang taat beragama punya tanggung jawab moral untuk memakmurkan mesjid. “Mesjid Salman adalah salah satu sarana efektif untuk membangun SDM dalam perspektif keislaman,” ujarnya.

MASJID SALMAN ITB. Sarana Membangun SDM Muslim
MASJID SALMAN ITB. Sarana Membangun SDM Muslim

Sebagai Mesjid kampus, Salman tidak eksklusif ITB. Aktivisnya heterogen, datang dari kampus-kampus lain di Bandung. Keberadaan mesjid dimaksudkan sebagai sarana pengembangan manusia seutuhnya. “Di kampus, mereka dilatih pikirnya. Di mesjid, potensi zikirnya digarap,” jelas Basarudin, sambil menyebutkan tiga tataran yang menjadi visi Salman: sebagai wadah pembinaan insan, pengembangan masyarakat, dan pembangkit kembali peradaban Islam.

Dana Salman selama ini dari tiga sumber utama: jamaah, donatur dan sponsor. Tapi, di masa datang Salman ingin mengembangkan sebuah usaha swadana dalam bentuk penjualan jasa profesional. Potensi ketrampilan dan keahlian profesional dosen dan mahasiswa belum termanfaatkan secara maksimal. Padahal, itu bisa menjadi sumber dana besar. Memang usaha itu sudah dirintis, tapi masih kecil. Dengan dukungan dana tetap, aktivitas mesjid relatif bisa terjaga.

Gejala menarik juga terlihat dalam hubungan para aktivis mesjid kampus dengan ormas-ormas mahasiswa Islam. Pada awalnya, kebangkitan aktivitas masjid kampus justru dipelopori oleh aktivis ormas mahasiswa Islam, terutama Himpunan Mahasiswa Islam (HMI). Mereka menggarap mesjid karena aktivitasnya terbentur oleh larangan berkiprah di kampus, saat pemerintah memberlakukan NKK/BKK pada akhir 1970-an.

Dalam perkembangannya kemudian, aktivis mesjid yang muncul kini justru tak banyak bersinggungan dengan HMI. Mereka ini umumnya produk perkaderan internal mesjid sendiri. Maka, seperti dikemukakan Nuril Huda, Wakil Sekjen PB HMI, para mahasiswa itu merasa tak perlu terlibat dalam HMI. “Dulu HMI dianggap satu-satunya alternatif. Kini multi-alternatif,” tambah alumnus IAIN Sunan Ampel Surabaya ini.

Tak jarang kalau ada nada minor dari aktivis mesjid kampus terhadap ormas-ormas tersebut. Ahmad Imron Rosyadi (22) misalnya. “Saya lihat dari segi akhlak, mereka telah mereduksi citra mahasiswa Muslim. Misalnya dengan kongres yang gontok-gontokkan dan rebutan kursi ketua segala.” Maka Ketua Jamaah Mesjid Manaril Ilmi ITS (JMMI) ini kurang berminat masuk ke ormas mahasiswa Islam seperti HMI, PMII, atau IMM.

Pendapat Imron Rosyadi itu dibenarkan Budi Setiadi dari Mesjid Abu Dzar al-Ghiffari IPB. “Ormas-ormas itu cenderung berpolitik praktis, hingga pembinaan internalnya kurang tergarap. Kekisruhan dalam Kongres HMI lalu mengajarkan pada kami,” ujarnya mahasiswa Fakultas Kedokteran Hewan IPB yang lahir di Jakarta, 16 Mei 1972 ini.

Lain halnya dengan Arif Rahman dari UGM, yang justru melihat ormas-ormas itu sebagai pendukung para aktivis mesjid kampus. “Mereka memasok SDM yang baik untuk Shalahuddin,” ujarnya.

Apapun sikap para aktivis mesjid itu terhadap organisasinya, Nuril Huda merasa senang dengan kegiatan mereka. “Kegiatan seperti pengkajian pemikiran-pemikiran kontemporer Islam paralel dengan misi HMI yang meningkatkan kepedulian terhadap diskursus keagamaan,” kata Nuril.*

Mansyur Alkatiri

Laporan: Agung Puspito, Mimin Rukmini, Imam Bukhori (Surabaya), Edi Purnawadi (Bandung), Afnan Malay (Yogya)

By mansyur

One thought on “Aktivitas Masjid Kampus”

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *