Oleh: Mansyur Alkatiri
Majalah UMMAT Thn. I No. 22, 29 April 1996 / 11 Zulhijjah 1416 H
Militer Niger siapkan peralihan ke pemerintahan sipil segera. Ada angin baru bagi Islam.
Forum Nasional, badan musyawarah beranggota 600 orang di Niger akhirnya secara aklamasi memilih pemberlakuan sistem pemerintahan presidensil di negeri gurun Sahara itu, selasa (3/4). Demikian laporan AFP mengutip televisi nasional Niger. Keputusan ini mengakhiri sistem pemerintahan semi-presidensil yang berlaku sebelum kudeta militer 27 Januari.
Forum tersebut, dipanggil bersidang Senin lalu oleh Dewan Keselamatan Nasional (CNS) bentukan militer, untuk membahas lima buah rancangan undang-undang yang diajukan oleh Komite Musyawarah. Komite beranggota 32 orang ini bertindak sebagai parlemen sementara.
Rancangan itu meliputi sistem pemerintahan, sistem pemilu baru, peraturan bagi partai-partai politik dan rencana untuk depolitisasi birokrasi pemerintah.
Pada hari Rabu, anggota majelis yang terdiri dari tokoh-tokoh tradisional dan agama, hakim, intelektual, para bekas anggota parlemen sebelum kudeta, dan wakil-wakil organisasi non pemerintah, juga mulai bekerja menyiapkan rancangan konstitusi baru.
NSC merencanakan akan menyelenggarakan referendum hasil keputusan Forum Nasional diatas pada 16 Juni. Sedangkan pemilihan presiden dan anggota parlemen akan diadakan bulan September tahun ini juga.
Niger, salah satu negeri luas di Afrika tapi berpenduduk hanya sekitar 7 juta jiwa, merdeka dari tangan Perancis pada 1960. Sepuluh tahun kemudian, kudeta militer yang dipimpin Kolonel Sani Kounche mengakhiri kekuasaan sipil. Namun angin demokratisasi yang melanda dunia di awal 90-an ternyata mengimbas ke negeri yang lebih 90 persen rakyatnya beragama Islam ini. Pemerintahan pun beralih ke tangan sipil kembali pada 1994. Mahammane Ousmane dari partai CDS, yang bersama rekan koalisinya, PNDS, berhasil menguasai suara mayoritas di parlemen, diangkat menjadi PM.
Namun setahun kemudian, PNDS keluar dari kabinet dan menjadi oposisi. Ousmane pun kehilangan suara mayoritas. Friksi kedua partai utama itu kian lama kian menajam. Akibatnya Niger dilanda krisis politik.
Keadaan ini memaksa militer mengambil alih kekuasaan. Boukary Adji lantas ditunjuk sebagai perdana menteri baru. Adji, yang terakhir menjabat sebagai wakil presiden Bank Sentral negara-negara Afrika Barat, adalah ahli ekonomi terpandang di negeri tempat tinggal suku Tuareq ini.
Selama masa peralihan ini, dua masalah besar menghadang Bouakry Adji: pemberontakan di wilayah utara dan pemulihan ekonomi negara. Niger dijanjikan menerima 102 juta dolar AS bantuan dari IMF. Pemerintah belum membayar tiga bulan gaji pegawai negeri. Defisit negara mencapai 364 juta dolar, tiga kali lipat penerimaan tahunan negara. Gaji para menteri dan perwira Angkatan Bersenjata dipotong sampai 40 persen.
Penguasa baru Niger tak punya kapasitas untuk mengubah status sekuler negeri ini atau memenuhi tuntutan rakyat untuk memasukkan pendidikan Agama Islam dalam kurikulum sekolah. Namun dalam Komite Musyawarah yang dibentuk pertengahan Februari, terdapat beberapa tokoh Islam, termasuk Oumarou Ismael, ketua Asosiasi Islam Niger. Ini perkembangan baru dalam hubungan Islam dengan negara di Niger.* (MA)
BACA JUGA:
Islam di Polandia
Siapa Berkomplot Penjarakan Omar Abdel Rahman
MUSLIM ETHIOPIA, Mayoritas yang Dipinggirkan
[…] JUGA: Niger, Demokrasi Setelah Kudeta Islam di Polandia Siapa Berkomplot Penjarakan Omar Abdel […]