Oleh: MANSYUR ALKATIRI

Majalah UMMAT No. 8  Thn. I, 16 Oktober  1995 /21 Jumadil Awal 1416 H

GEDUNG PENGADILAN DALLAS. Melegalkan perampasan dan pemurtadan anak Muslim

Dua anak imigran Muslim di Amerika dirampas negara dan dipaksa memeluk Kristen. Sekarang kasusnya jadi perdebatan nasional.

Tim Krasniqi (10), anak dari sepasang imigran Muslim Albania asal Kosovo, tak kuat lagi menahan derita. Ia lalu berdiri di bibir jendela sebuah panti asuhan di Dallas, Texas, Juni 1990, bersiap loncat untuk bunuh diri. Sambil menahan air mata, ia menjerit, “Saya ingin mama, saya ingin bertemu baba (ayah). Lebih baik saya mati kalau tak boleh berkumpul dengan mereka!”

Adik perempuannya, Lima (5), menangis keras, memohon sang kakak mengurungkan niatnya. “Bagaimana dengan saya, Tim,” tangisnya. “Apa yang akan terjadi pada diri saya bila kamu bunuh diri? Siapa yang akan menjaga saya?”

Air mata Lima mampu menundukkan hati Tim. Tim menjauh dari jendela dan berlari memeluk adik satu-satunya itu. Demi Lima, Tim rela kembali ke hari-hari penuh derita yang terpaksa mereka jalani sepuluh bulan ini akibat ketidakadilan hukum Amerika. Sementara itu, orang tua Tim, Sadri (Sam) dan Sebhat (Kathy) Krasniqi, hanya bisa berdoa kepada-Nya, memohon agar kedua anak tercinta bisa kembali ke pangkuan mereka.

RUMAH YATIM BAPTIS, DALLAS. Tempat pemurtadan anak-anak Krasniqi

Dua tahun kemudian, tangis Lima meledak lagi. Kini di pangkuan sang ibu, yang mengunjunginya dengan didampingi petugas negara. “Mengapa menangis, Nak? Katakan terus terang sama mama,” tanya ibu muslimah Albania yang gigih dan salehah ini. Sambil terus menangis, Lima bercerita. Di panti itu, ia dikasih makan daging babi dan diajari bahwa Yesus itu Juru Selamat mereka. Jantung Kathy berdetak keras mendengar penuturan anaknya itu. Ternyata ia bukan cuma kehilangan kedua anaknya, tapi juga iman Islam mereka, yang ia tanamkan secara ketat sewaktu mereka masih berkumpul. Tim mulai memakai T-shirt bertuliskan “Jesus Juru Selamat”.

Tragedi yang menimpa keluarga Krasniqi bermula di Sabtu pagi, 12 Agustus 1989. Sam Krasniqi pergi menyaksikan anak lelakinya, Urtim (Tim), ikut pertandingan karate. Lima, yang waktu itu masih empat tahun, duduk di pangkuan ayahnya di baris bangku penonton. Sam memeluk anaknya dengan kasih sayang seorang ayah, yang umum di kalangan bangsa Albania. Tapi ternyata hal ini ditangkap keliru oleh Mary Lou Taylor, seorang penonton yang duduk di belakang Krasniqi. Alam pikiran sempitnya sebagai orang Katolik selatan yang konservatif, membuatnya memanggil polisi. Sam Krasniqi dituduh melakukan pelecehan terhadap anaknya sendiri. Krasniqi pun ditahan polisi. Upaya Tim dan Lima memohon pembebasan ayah mereka sia-sia.

Dinas Perlindungan Anak-anak Texas (TCPS) tanpa mau tahu budaya keluarga ini, memutuskan bahwa Sam Krasniqi terbukti telah memperlakukan anak-anaknya dengan tak semestinya. Lebih keji lagi, TCPS memasukkan kedua anak ini ke sebuah panti Baptis, meskipun tahu mereka Muslim. Di panti ini, Tim dan Lima dipaksa makan daging babi dan mempelajari agama Kristen. Tim berusaha menolak. “Kami Muslim, kami tak makan babi dan pergi ke gereja,” katanya. Tapi Tim akhirnya tak kuasa melawan.

Pada 15 Maret 1990, TCPS mengajukan permohonan pada pengadilan untuk mengakhiri hak Sam dan Kathy Krasniqi sebagai orang tua Tim dan Lima. Dalam keputusan yang sangat mengejutkan, 13 April 1990, pengadilan menerima permohonan TCPS. Kedua anak ini lalu secara hukum dianggap sebagai anak yatim. Berkali-kali upaya hukum ditempuh Krasniqi untuk membatalkan putusan itu, namun sia-sia. Kalangan hukum di Amerika juga acuh tak acuh saja dan menyalahkan Sam Krasniqi.

Harapan kembali muncul saat Krasniqi bertemu dengan Prof. Barbara Halpern, ahli budaya Albania dari Universitas Harvard. Ia amat terkejut mendengar pengaduan suami istri imigran Albania itu. “Anak-anak di Albania mendapat limpahan kasih sayang secara fisik. Mereka biasa mendapat ciuman dan pelukan tanda kasih sayang. Orang Amerika yang tak tahu budaya Albania akan keliru menilainya. Ini perilaku normal, bukan kejahatan,” katanya.

Atas bantuan Halpern, Sam Krasniqi akhirnya dinyatakan tak bersalah oleh pengadilan pada Februari 1994, lima tahun setelah dakwaan berlalu, setelah pengadilan setuju bahwa penyelidikan kasus ini didasarkan atas “salah paham budaya”. Namun, sebelum keluarga Krasniqi memperoleh kembali hak untuk memelihara anak-anaknya kembali, sepasang orang tua angkat telah mengadopsi Tim dan Lima.

Kisah sedih keluarga Krasniqi akhirnya sampai ke telinga Khalid Hamideh, pengacara keturunan Arab di Texas. Ia langsung menemui Sam Krasniqi. “Saya sampai tak percaya pada telinga saya,” ujar Hamideh pada Arab News. “Saya segera putuskan untuk menangani kasus ini.” Hamideh tak mau dibayar. “Adalah kewajiban seorang Muslim untuk menolong saudara seimannya,” tuturnya.

KHALID HAMIDEH. Pengacara Muslim yang tergerak membantu keluarga Krasniqi

Sam dan Kathy Krasniqi sekarang tak tahu di mana anak-anaknya. Tim sekarang berusia 16 dan Lima 11 tahun. Mereka tumbuh dalam sebuah keluarga Kristen dan pergi ke gereja setiap minggu bersama orang tua angkatnya. Mereka berdua sudah tak mengerti bahasa Albania dan tak tahu lagi ajaran dan tradisi Islam. Orang pun sekarang meragukan, apakah kedua anak ini masih mencintai dan mengasihi “mama” dan “baba”-nya.

Usaha dagang Sam Krasniqi telah bangkrut. Ia terpaksa menjual lima toko pizzanya di Texas untuk menutup biaya perkara yang tak membawa hasil. Kathy Krasniqi menghabiskan hari-harinya dengan melihat rekaman video kedua anak tercintanya saat mereka berkumpul sambil berlinang air mata. Kathy berharap dapat segera membuat manisan Albania kembali bagi Tim dan Lima.

Tiga minggu lalu, kasusnya marak setelah diangkat majalah berita televisi, ABC News 20/20. Berbagai koran kemudian mengangkatnya menjadi berita utama. Ini hasil strategi Hamideh. Rasa simpati pun datang dari mana-mana. “Kasus ini telah meledak di sini,” ujar Hamideh.

Masyarakat Muslim Amerika juga giat berkampanye mendukung Krasniqi. Mereka mengaktifkan jaringan nasional mereka untuk menyebarkan informasi mengenai kasus ini dan mengumpulkan dana membantu keluarga Krasniqi.

Namun, untuk membongkar kembali kasus ini di pengadilan, masih butuh waktu lama. Meski tragedi ini telah menjadi isu nasional di Amerika, harapan untuk berkumpul kembali bagi keluarga Krasniqi tampaknya masih di awang-awang, samar diliputi mendung yang tebal.* (Mansyur Alkatiri)

BACA JUGA:
Partai Muslim Pertama di Rusia
Mengenang Dr Said Ramadhan
Malcolm X, Pahlawan Kulit Hitam yang Kurang Dikenal

By mansyur

10 thoughts on “Pemurtadan Gaya Amerika”

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *