Oleh MANSYUR ALKATIRI – Peneliti pada Indonesian Society for Middle East Studies (ISMES)
Dimuat di Harian SUARA MERDEKA, 29 Desember 1998
“Stop Lewinsky War,” demikian bunyi poster yang dibawa seorang demonstran Amerika di Washington. Pesannya jelas, meski berbau sindiran: bahwa serangan peluru kendali ke Irak berhubungan erat dengan kasus skandal sex Presiden Bill Clinton bersama Monica Lewinsky. Clinton memerintahkan serangan itu guna meraih kembali popularitas di dalam negeri, hingga bisa terhindar dari tindakan impeachment (pemecatan) oleh Kongres, yang dijadwalkan Sabtu (19/12).
Bill Clinton dan jajaran pemerintahannya membantah keras kaitan itu. Tapi dunia tak bisa dibohongi. Bahkan rakyat Amerika, yang selama ini menjadi korban petualangan politik yang dibalut gincu patriotisme para pemimpinnya, pun tak lagi percaya. Mereka, seperti diekspresikan pembawa poster itu, yakin benar bahwa serangan ke Baghdad dan beberapa kota Irak lainnya itu merupakan upaya Clinton membeli waktu, menunda voting impeachment di Kongres.
Ketidakpercayaan masyarakat Amerika akhirnya memang membawa kekalahan besar bagi Bill Clinton. Dalam pemungutan suara, Kongres akhirnya memutuskan memecat Presiden Clinton. Keputusan ini selanjutnya akan dibawa ke Senat tahun depan. Dan Clinton pun lantas menghentikan serangan ke Irak, tanpa membawa keuntungan apa-apa bagi dirinya dan rakyat Amerika.
Tapi bagi Irak, serangan koboi ke negaranya itu membawa malapetaka besar. Puluhan orang tak bersalah tewas dan luka-luka. Beberapa sarana sosial, seperti rumah sakit, dan rumah penduduk hancur. Ini menjadi bukti bukan hanya sasaran militer yang menjadi target serangan rudal AS. Dan sedihnya, segala korban itu harus terjadi sebagai akibat kepentingan pribadi seorang pemimpin negara adidaya.
Bagi Bill Clinton, bukan kali ini saja melakukan serangan ke negara Dunia Ketiga atas dasar motif pribadi. Bulan Agustus silam, ia memerintahkan serangan rudal ke Sudan dan Afghanistan, hanya 72 jam setelah juri agung membuktikan bahwa sang presiden telah berbohong karena mengatakan tak pernah melakukan hubungan tak senonoh dengan Lewinsky. Resminya, serangan itu dilakukan sebagai balasan atas pemboman terhadap Kedutaan Besar AS di Kenya dan Tanzania. Tapi, sasaran serangan sungguh berbeda dan ternyata terbukti tak akurat.
Bulan lalu, serangan besar-besaran hampir pula dilancarkan ke Irak, setelah kekuatan Partai Republik di Kongres dipastikan bisa meng-impeach Clinton. Namun keputusan itu dibatalkan disaat-saat akhir. Di duga berat, itu dilakukan setelah Clinton puas melihat hasil pemilihan baru anggota Kongres yang menguntungkan kubu Partai Demokrat. Apalagi ketua Kongres yang sangat bernafsu memecat Clinton, Newt Gingrich (Republik), mundur sebagai akibat kekalahan Republiken di beberapa daerah pemilihan.
Bukan Ancaman AS
Dalam tulisannya di harian Los Angeles Times (18/12), kolumnis Matthew Rothschild menolak keras hak pemerintah menyerang Irak. “Pemboman itu merupakan aksi perang, bukan soal sanksi oleh hukum internasional atau konstitusi AS,” tulisnya.
Rothschild memaparkan, dalam konstitusi Amerika, Kongres lah yang punya wewenang menyatakan perang. Tapi nyatanya, Kongres tak menyatakan itu. Menurut hukum internasional, sebuah negara memang bisa melancarkan serangan unilateral ke negara lain, tapi hanya untuk tujuan membela diri. “Tapi serangan sekarang sulit dikategorikan membela diri. Saddam Hussein tak menyerang AS dan tak menampakkan wajah sebagai ancaman nyata bagi keamanan negeri AS,” tegasnya.
Argumen Clinton bahwa Irak tak mau bekerjasama dengan tim inspeksi senjata PBB (UNSCOM) hingga harus diserang, juga patut dipertanyakan. Sudah menjadi pembicaraan di tingkat diplomasi dunia, bahwa AS memperalat UNSCOM untuk kepentingannya sendiri. Harian AS sendiri International Herald Tribune pernah menulis, data-data yang didapat Tim Inspeksi PBB ternyata dimanfaatkan benar oleh Dinas Intelijen Amerika (CIA) untuk kepentingan negara adidaya itu.
Belum lagi keberadaan Richard Butler, ketua Tim Inspeksi, yang dituding banyak kalangan lebih membela kepentingan Washington dibanding bersikap netral. Rusia dan Cina, dua anggota tetap Dewan Keamanan PBB, terangan-terangan menuding Butler “orang”-nya AS.
Di kalangan anggota Tim Inspeksi sendiri, Butler cukup kontroversial. Ia dianggap terlalu bermain sendiri dan menonjolkan diri. Maklum, diplomat Australia ini memang dikenal punya ego tinggi, termasuk saat menjadi wakil negaranya di beberapa jabatan.
Salah satu bukti adanya ‘main mata’ antara Butler dan Washington dikemukakan oleh Scott Ritter, mantan anggota tim Butler yang mengundurkan diri Agustus silam tanpa alasan resmi. Kepada harian New York Post (16/12), warga Amerika ini mengatakan, Butler telah memenuhi keinginan AS dengan mempertajam bahasa yang ia gunakan dalam laporannya, agar AS dapat membenarkan pemboman atas Irak. Serangan AS memang dilakukan setelah mendapat laporan akhir Butler minggu lalu.
Keakuratan tim UNSCOM pimpinan Butler makin dipertanyakan setelah terbit laporan dari Badan Tenaga Atom Internasional (IAEA) beberapa waktu lalu. Menurut IAEA, program senjata nuklir Irak sebenarnya sudah berhasil dibuat tak berfungsi lagi oleh tim inspeksi PBB. Program senjata kimia dan biologinya juga telah dihancurkan. Baghdad mungkin saja masih memiliki beberapa rudal, tapi tak satupun yang bisa menjangkau wilayah Amerika. Kekuatan militernya, kendati diduga masih besar, juga sekarang bukan tandingan bagi Israel dan Turki, dua sekutu AS di kawasan itu.
Menyangkut sikap Irak, tim IAEA yang lebih netral, justeru menganggap Baghdad telah menunjukkan kerjasama penuhnya. Sungguh berlainan dengan UNSCOM yang terkesan mencari-cari dalih untuk tetap melestarikan sanksi atas Irak. Tapi apapun sikap Baghdad, keputusan apakah Irak telah menunjukkan kerjasama penuh atau sebagian saja, sebetulnya urusan Dewan Keamanan PBB untuk memutuskannya, bukan AS atau Inggris. Keengganan Irak bekerjasama dengan tim inspeksi PBB tak bisa diartikan Inggris dan AS punya lampau hijau untuk menggelar pemboman.
Tindakan apa yang harus diambil terhadap Irak sebetulnya juga urusan dan wewenang Dewan Keamanan PBB, bukan negara anggotanya. Hal itu juga yang dikatakan Menteri Luar Negeri AS Madeleine Albright Agustus lalu, “Ini urusan PBB, bukan urusan AS.” Sayang, empat bulan kemudian jadi berubah, dan Irak menjadi urusan AS, bukan PBB.
Brutal
Jikapun benar motif Washington membom Irak adalah untuk memusnahkan ancaman senjata pemusnah massal Irak, maka efektifitasnya juga rendah. Dan menurut Los Angeles Times, itu sempat diakui sendiri oleh para pejabat AS, yang menyatakan kampanye pemboman takkan bisa menghancurkan program senjata kimia dan biologi Saddam Hussein.
Mereka juga mengakui, sebagai hasil pemboman, tim inspeksi senjata PBB mungkin tak bisa lagi datang ke Irak. Padahal, tim tersebut telah melakukan pekerjaan jauh lebih hebat untuk menghancurkan senjata pemusnah massal Irak, daripada 110.000 serangan udara selama Perang Teluk. Alasan inipula yang sebenarnya juga digunakan Clinton saat menghentikan rencana serangan udara ke Irak November lalu. Lantas kenapa kini berubah? Apalagi alasannya selain demi keuntungan politik Presiden Clinton sendiri?
AS terus menghukum rakyat Irak karena ‘dosa’ para pemimpinnya kepada Washington. Menurut penelitian PBB sendiri, lebih dari setengah juta anaka-anak Irak telah mati sebagai akibat sanksi ekonomi terhadap negara itu. Dan jumlah korban itu terus bertambah, bahkan sebelum serangan rudal AS.
“Empat sampai lima ribu anak-anak telah mati setiap bulannya sebagai akibat sanksi,” ujar Denis Halliday, yang mengundurkan diri sebagai kordinator bantuan kemanusiaan PBB, Oktober silam, sebagai protes terus diperpanjangnya sanksi kepada Irak. “Kita sekarang tengah melakukan penghancuran terhadap seluruh bangsa Irak,” katanya.
Berapa ribu lagi nyawa yang harus dibayar rakyat Irak sekarang? Menurut The Washington Post, Kementerian Pertahanan Amerika (Pentagon) telah membuat perkiraan bahwa sekitar 10.000 warga Irak bakal menjadi korban dalam pemboman bulan lalu, yang ternyata baru dilakukan minggu lalu. Dan banyak lagi warga Irak akan mati akibat terganggunya sistem sanitasi dan kesehatan negara itu. Korban sebesar itu dianggap Washington sebagai kalkulasi logis sebuah hukuman terhadap Irak. Begitu brutalnya kah Si Paman Sam itu?
Kini setelah Kongres menjatuhkan impeachment, nasib Clinton tinggal bergantung pada Senat, yang akan memutuskannya tahun depan. Akankah Clinton tergiur melakukan aksi kembali ke negara Dunia Ketiga, termasuk Irak, guna meraih popularitas rakyat Amerika kembali, dan mempengaruhi suara Senat? Rasanya rakyat AS tak bodoh untuk mempercayainya.*
BACA JUGA:
Israel Connection di Balik Skandal Clinton-Lewinsky – Bagian 2
Israel Connection di Balik Skandal Clinton-Lewinsky – Bagian 1
Kosovo Bangkit Melawan Serbia