Dimuat di: Majalah UMMAT, No. 18 Thn. II, 3 Maret 1997 /  / 23 Syawal 1417 H

Oleh: Mansyur Alkatiri

Pasukan Cina mengeksekusi ratusan demonstran Muslim di Xinjiang menjelang Idul Fitri.

Tak seperti kaum muslimin di negara-negara lain, Muslim di Xinjiang (Turkistan Timur) menyambut hari raya Idul Fitri dengan tangis dan hati pedih. Ratusan keluarga Muslim di kota Yining (Xinjiang utara) kehilangan anggota keluarganya, dieksekusi oleh pasukan pemerintah Cina, menyusul kerusuhan yang meledak di hari-hari akhir puasa Ramadan. Ribuan Muslim suku Uighur lainnya, ditahan dan tak diketahui nasibnya sekarang.

Menurut keterangan penduduk setempat, sekitar 100 orang aktifis Muslim suku Uighur dieksekusi Kamis 6 Februari, hanya sehari setelah kerusuhan, lewat sebuah pengadilan kilat. Sementara lebih dari 1.000 pemrotes Muslim ditangkap selama dan setelah bentrokan berdarah antara Muslim Uighur dengan tentara dan penduduk etnis Cina Han itu.

“Pengadilan di mulai pada tanggal 6 dan enam pemimpin demonstrasi dieksekusi pada hari itu juga,” ujar seorang penduduk non-Han di Yining, seperti dikutip harian Arab News (13/2). Sementara sumber lokal lainnya, yang mengutip pejabat-pejabat di kepolisian, juga membenarkan berita eksekusi tersebut. “Pengadilan dilakukan setiap hari di pinggiran kota, dan sekitar 100 pemimpin Uighur telah dieksekusi,” katanya.

Kerusuhan meledak pada 5 dan 6 Februari menyusul pengumuman pemerintah Cina yang melarang perayaan Idul Fitri di Yining. Tak lama setelah larangan itu, polisi mengepung masjid utama di Yining dan menangkap ulama terkenal Khojah Muhammad Yakub. Tindakan itu kontan membuat Muslim marah. Ribuan pemuda Uighur kemudian menggelar demonstrasi penuh kekerasan. Mereka menyerang polisi, menghancurkan toko dan membakar mobil-mobil milik warga Cina. Bentrokan antar etnis pribumi Uighur dan pendatang Cina Han tak terelakkan. Militer dan polisi Cina pun turun tangan membantu etnis Cina.

Jumlah korban bentrokan simpang siur. Menurut pernyataan resmi Beijing, 10 penduduk terbunuh dan 144 lainnya luka-luka. Tapi menurut laporan  sebuah lembaga hak-hak asasi manusia Jerman, sekurang-kurangnya 300 orang terbunuh dalam kerusuhan itu, 200 diantaranya warga Muslim Uighur. Society for Threatened Peoples (STP), kelompok pembela hak-hak kaum minoritas yang bermarkas di Bonn dan mempunyai hubungan dengan PBB itu mengaku memperoleh informasi tersebut dari para saksi mata.

Ditindas

Turkistan awalnya satu negara, sebelum diduduki oleh Rusia dan Cina. Pasukan Rusia merebut Turkistan Barat pada 1865 dan kemudian membaginya menjadi lima republik baru. Cina merebut bagian timur Turkistan pada 1876 dan menamainya Xinjiang.

Meski sudah dikuasai penuh Cina, perlawanan Muslim Uighur tidaklah padam. Perlawanan sporadis dilancarkan. Dan hasilnya pada 1944, Muslim Uighur mampu menekuk pasukan Cina yang jauh lebih besar jumlahnya. Pada tahun itu juga, Republik Turkistan Timur diproklamirkan. Namun republik baru itu hanya berumur singkat. Pasukan Komunis pimpinan Mao Zedong, yang baru merebut kekuasaan di Beijing, mengakhiri kemerdekaan republik Muslim itu pada 1949.

Di bawah kekuasaan komunis Cina, Muslim Xinjiang mengalami penderitaan terbesar. Mereka dilarang beribadah. Hampir 800.000 buah al-Qur’an, buku-buku keIslaman dan manuskrip Islam berharga lainnya, dimusnahkan komunis. Mao Zedong juga menutup 28.000 masjid dan 18.000 sekolah Islam. Pada 1966, atas nama Revolusi Kebudayaan, pasukan Mao membantai 360.000 Muslim yang umumnya tak bersenjata.

Berakhirnya kekuasaan Mao memang sedikit mengurangi penderitaan Muslim. Tapi diskriminasi tetap saja berjalan. Hak-hak asasi Muslim Uighur terus diabaikan. Akibatnya beberapa insiden protes meledak di kota-kota Xinjiang dalam lima tahun terakhir ini. Diperkirakan lebih dari 50.000 Muslim kini berada dalam tahanan, termasuk imam masjid dan guru-guru agama. Xinjiang tak ubahnya kini bak sebuah penjara besar. Meski demikian, penderitaan bangsa Uighur itu tak mampu menyentuh dunia, termasuk para pemimpin negara-negara Islam. Lembaga-lembaga HAM di Eropa dan Amerika juga diam seribu bahasa. Keadaan ini membuat Cina makin leluasa melanjutkan kebijakan kejamnya.

Muhammad Reza Pekin, ketua Yayasan Turkistan Timur yang bermarkas di Istambul, Turki, mengungkapkan banyak contoh kekejaman penguasa Cina di Xinjiang. Jutaan etnik Cina Han yang beragama Budha didatangkan ke Xinjiang. Mereka ditempatkan di banyak kota dan desa. “Mereka memperoleh semua fasilitas yang membuatnya sebagai ‘tuan’ di bumi Xinjiang,” ujar Pekin. Imigrasi massal ini telah mengubah perimbangan demografi di Xinjiang. Jumlah pemukim Cina kini meliputi 38 persen dari seluruh populasi.

Penguasa Cina juga menerapkan cara keji dalam program keluarga berencana (KB) di wilayah itu. Banyak wanita Muslim yang hamil dipaksa melakukan aborsi. Di desa-desa, kaum muslimin dipaksa melakukan sterilisasi. Di kota Yanki Hasar misalnya, program KB pemerintah hanya mengijinkan 2.000 muslimah untuk melahirkan anak. Sementara 33.000 muslimah lainnya dilarang mempunyai anak.

Cina menggunakan wilayah Muslim itu sebagai ajang uji coba peledakan bom nuklir. Sejak 1964, tercatat lebih dari 40 uji coba nuklir disana tanpa mengindahkan dampak mengerikan pada penduduk dan lingkungannya.

Bumi Xinjiang sebenarnya amat kaya kandungan mineral, seperti minyak, gas, uranium, emas dan batu bara. Namun penduduk asli Xinjiang tak bisa menikmati kekayaan itu. Xinjiang kini salah satu propinsi termiskin di Cina. Seluruh kekayaannya dikeruk dan dibawa ke Cina. Beijing juga membatasi akses pendidikan bagi warga Uighur, akibatnya angka buta huruf sangat tinggi. Di Universitas Urumqi, satu-satunya universitas di Xinjiang, persentase mahasiswa Uighur tak lebih dari 30 persen. Praktek diskriminasi seperti itulah yang kian memperkeras tekad Muslimin Uighur untuk merebut kembali kemerdekaannya.*

BOX:

Cina Akan Jadikan Kami Minoritas

Bentrokan di Xinjiang (Turkistan Timur) telah menarik perhatian dunia terhadap perjuangan bangsa Muslim Uighur merebut kembali kemerdekaannya. Populasi bangsa Uighur mencapai 20 juta. Lebih separuhnya tinggal di Xinjiang yang kini menjadi propinsi Cina. Sisanya menetap di Kazakhstan, Kirgistan dan Rusia. Ada pula ratusan ribu warga Uighur yang tinggal di pengasingan, terutama Turki.

Ada dua organisasi bangsa Uighur yang menonjol, yaitu Yayasan Turkistan Timur (ETF) yang berbasis di Istambul, Turki, dan dipimpin seorang mantan jendral, serta Front Pembebasan Nasional Revolusioner Uighur (URNLF), yang bermarkas di Almaty, ibukota Kazakhstan.

URNLF dipimpin oleh Yussuf-Beg Mokhlesi, seorang ulama dan sejarawan. Di tempat pengasingannya itu, minggu lalu ia diwawancarai oleh harian Arab Saudi Asharq al-Awsat, mengenai kerusuhan di Yining. Berikut adalah petikannya.

Tanya: Apa yang sebenarnya terjadi di Xinjiang?
Jawab: Kerusuhan pecah sejak Selasa (4/2) setelah pemerintah Cina melarang perayaan Idul Fitri. Umat Islam memprotes dan pasukan keamanan Cina menindasnya. Inilah yang memancing kemarahan lebih lanjut.

Tanya: Bagaimana akibat kerusuhan itu?
Jawab: Menurut Beijing, kebanyakan korban tewas adalah warga etnik Cina Han yang menjadi korban “gerombolan Muslim biadab.” Padahal paling sedikit 30 Muslim mati akibat tembakan senapan mesin di kota Yining (selama kerusuhan -red.). Beijing tahu para pemuda Uighur itu tak bersenjata api. Terjadi pula eksekusi terhadap nasionalis Uighur di beberapa kota.  

Tanya: Apakah situasinya sudah kembali normal?
Jawab: Kelihatannya tidak. Penguasa Cina memutus hubungan telepon antara Turkistan Timur dan dunia luar. Mereka juga menutup kota Yining. Menurut orang-orang yang baru tiba di Kazakhstan, banyak tentara Cina dan kendaraan tempur menuju ke ibukota Urumqi. Jam malam diberlakukan di beberapa kota.

Tanya: Apa keinginan utama rakyat Uighur?
Jawab: Sama seperti bangsa lain yang hidup di bawah kekuasaan penjajah. Bangsa Muslim Uighur dulunya mayoritas di Turkistan Timur. Tapi Beijing memasukkan orang-orang Cina dan berencana mengubah kami menjadi minoritas pada dekade mendatang. Kami tak menginginkan kekerasan atau perang. Yang kami minta hanyalah kesempatan untuk memutuskan keyakinan kami sendiri sebagai sebuah bangsa. Kami dulu memiliki republik sendiri yang kemudian dilindas oleh Komunis Cina pada 1949.

Tanya: Apa yang mungkin bakal terjadi nanti?
Jawab: Tak ada yang tahu. Tapi yang pasti, takkan ada stabilitas dan perdamaian di Turkistan Timur selama kekuasaan kolonial masih bercokol disana. Kerusuhan kemarin telah memancing perhatian dunia. Perjuangan bangsa Uighur bagi kemerdekaan telah berlangsung 40 tahun lebih. Ribuan warga Muslim Uighur telah tewas dalam perjuangan ini dan puluhan ribu lainnya telah dipaksa keluar dari tanah airnya sendiri.* (MA)  

BACA JUGA:
Ekstremis Kulit Putih Bom Masjid di Afsel
Siprus Yunani Mengancam Turki
Israel Tolak Kembalikan Masjid Ibrahim di Hebron

By mansyur

One thought on “Ramadan Bersimbah Darah di Xinjiang”

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *