Oleh: MANSYUR ALKATIRI
Dimuat di Harian SOLOPOS, Hal. 1, Rabu Kliwon, 24 Maret 2004
Apa yang dicari oleh Perdana Menteri (PM) Israel Ariel Sharon dengan membunuh seorang tua renta, buta, lagi lumpuh kedua kaki dan tangannya seperti Syeikh Ahmad Yassin?
Sharon berdalih, Syeikh Yassin merupakan otak serangan bom bunuh diri Palestina ke wilayah Israel. Dan, kematian Yassin sedikit banyak bakal meredam aksi-aksi sejenis di Israel. Tapi mungkinkah seorang yang lemah fisik seperti itu menjadi otak rangkaian “bom manusia” yang telah merenggut nyawa ratusan warga Yahudi Israel? Lantas, apakah serangan bom bunuh diri Palestina akan berhenti sepeninggal Sheikh Yassin?
Seorang ulama yang sangat dihormati seperti Syeikh Yassin barangkali memang menjadi inspirasi bagi pemuda dan pemudi Palestina untuk meledakkan diri di tengah kerumunan warga Israel. Namun, itu tidak cukup untuk menyebutnya sebagai otak serangan bom bunuh diri. Dibutuhkan kekuatan fisik, intelektual, dan mental baja untuk mengkoordinasi serangkaian serangan mematikan seperti itu.
Keraguan terhadap argumen Ariel Sharon marak di berbagai negara, termasuk di Israel sendiri. Bahkan mantan PM Shimon Peres yakin, pembunuhan terhadap Syeikh Yassin sulit dibenarkan secara strategis, dan justru akan memicu serangan balas dendam hebat dari para pejuang Palestina ke Israel.
Lagi pula, bila Syeikh Yassin memang merupakan otak dan perencana serangan bom-manusia ke sasaran Yahudi, kenapa ia justru dibebaskan oleh pemerintah Israel setelah lama mendekam di penjara negara Yahudi itu? Kenapa pula para pemimpin Israel sebelumnya tidak memasukkan nama Syeikh Yassin dan para tokoh politik Gerakan Perlawanan Islam (Hamas) lainnya dalam daftar orang-orang yang diburu untuk dimusnahkan?
Yang diburu agen-agen rahasia Israel adalah para pejuang bersenjata yang tergabung dalam Izzeddin al-Qassam, sayap militer Hamas. Para pelaku bom bunuh diri juga tidak hanya berasal dari Hamas, melainkan juga dari kelompok Jihad Islam (Brigade Al-Quds) dan kelompok nasionalis Fatah (Brigade Martir Al-Aqsa). Jelas para pelaku bom bunuh diri dari kelompok Hamas itu tidak ada kaitan dengan Syeikh Yassin.
Mengebom perdamaian
Lantas, bila ternyata Syeikh Ahmad Yassin bukan otak serangan bom bunuh diri ke Israel, apa tujuan Ariel Sharon melenyapkannya? Jawabannya: Proses perdamaian!
Meski sangat lambat berjalan, dan berulangkali diinterupsi oleh serangan-serangan provokatif Israel terhadap pejuang dan warga sipil Palestina, proposal perdamaian Peta Jalan Damai (Road Map) resminya masih berlaku. Kedua pihak belum ada yang membatalkannya. Proposal yang diprakarsai Amerika Serikat, Uni Eropa, PBB dan Rusia itu menjanjikan negara Palestina merdeka di tahun 2005, yang wilayahnya meliputi Gaza dan sebagian Tepi Barat.
Proposal itu sebenarnya sangat merugikan Palestina, karena cuma kebagian 22 persen wilayah asli mereka yang dirampas para imigran Yahudi Eropa dukungan Inggris di tahun 1947-1948. Namun Presiden Palestina Yasser Arafat dan para politisi pragmatis Palestina, menerima proposal itu mengingat tidak ada jalan lain untuk mendirikan negara Palestina merdeka. Sebaliknya, pemerintah Israel sejak awal enggan menerima proposal itu, dan minta puluhan revisi. Kalau kemudian Israel menerima, itu Cuma taktik belaka di saat posisi mereka terpojok.
Benar saja, hanya beberapa jam setelah menerima prakarsa Peta Jalan Damai, pasukan Israel memburu para pemimpin perlawanan Palestina. Banyak di antara mereka terbunuh dalam serangan-serangan brutal yang menewaskan pula puluhan warga sipil tak bersalah. Kebrutalan Ariel Sharon dan gengnya, tidak urung membuat jengah para pilot Israel sendiri, yang mendapat tugas rutin merudal rumah-rumah penduduk. Puluhan pilot Israel itu kemudian menandatangani petisi yang isinya menolak ditugaskan dalam operasi-operasi seperti itu.
Diburu dan dibunuh seperti tikus, membuat para pejuang Palestina tidak punya pilihan lain kecuali melawan. Maka, rudal-rudal yang dilontarkan pesawat F-16 dan helikopter Israel segera dibalas dengan mengirim misi bom manusia ke kota-kota Israel. Dan lingkaran kekeran terus berkelindan, lalu dijadikan alasan Israel untuk tidak meneruskan proses perdamaian.
Ariel Sharon yang sering dijuluki sebagai “The Butcher of Sabra and Shatila” karena perannya dalam pembantaian lebih dari 2.000 pengungsi Palestina di kamp pengungsi Sabra dan Shatila (Libanon) di tahun 1980-an, sejatinya penolak kemerdekaan Palestina. Sama dengan Menteri Pertahanan Shaul Mofaz dan banyak menteri di kabinetnya yang beraliran esktrem kanan.
Sejak sebelum menjadi PM, Sharon selalu tegas menolak prakarsa perdamaian Israel-Palestina yang dirancang dunia internasional, yang mengarah pada pembentukan sebuah negara Palestina merdeka, meski dengan wilayah sangat sempit.
Bagi Ariel Sharon dan kaum ekstremis Yahudi Israel lainnya, perdamaian hanya bermakna “negara Israel yang aman”, yang tidak diganggu lagi oleh perlawanan bangsa pribumi Palestina, pemilik sah tanah Palestina sebelum era kolonialisme Inggris.
Untuk mewujudkan “Israel yang aman” itu, maka kekuatan angkatan bersenjata Israel harus menjadi kekuatan superior yang melebihi seluruh negara Arab di kawasan Timur Tengah. Dan setiap tindakan protes dari bangsa pribumi Palestina harus ditumpas habis.
Kalangan Arab memang sejak awal tidak yakin bahwa Sharon mau menerima proposal Peta Jalan Damai yang disodorkan AS. mereka tidak percaya bahwa pemimpin garis keras Israel itu mau tulus menerima konsep perdamaian yang memungkinkan berdirinya sebuah negara Palestina merdeka. Sebaliknya, mereka malah yakin, Sharon akan mengulur-ulur proses perundingan, dan melakukan provokasi-provokasi guna memancing kemarahan kaum radikal Palestina, antara lain dengan membunuh para pemimpin dan aktivis radikal.
Segala pesimisme itu kini terbukti secara telanjang di depan mata dunia. Tidak tanggung-tanggung, target serangan Israel adalah “ruh” kelompok perlawanan Hamas, yang juga sosok ulama yang sangat dihormati di seluruh Palestina. Bisa dibayangkan, betapa bakal hebatnya pembalasan para pengikut Sheikh Yassin nanti.
Analisis Timur Tengah Wendy Pearlman pernah mengatakan, tujuan utama pemerintahan Sharon adalah membuat rakyat Palestina sangat menderita hingga mereka kehilangan semangat untuk berjuang, dan kemudian mau menerima semua penghinaan dari Israel sebagai harga perjuangan mereka. Bukankah Sharon pernah berucap, “Tujuan kita adalah meningkatkan jumlah kerugian di pihak mereka (baca: Palestina). Hanya, setelah mereka tunduk, kita bisa melakukan perundingan dengan mereka.”
Jadi, perundingan bagi Sharon dan pemerintahan esktremis sayap kanannya adalah perundingan antara pemenang dan pecundang. Dalam posisi seperti itu, pemenang akan mendiktekan “konsep perundingan” seenaknya sendiri, sementara si pecundang tidak lagi punya kekuatan apa pun untuk melawan.
Begitulah konsep perdamaian Ariel Sharon, yang tidak pernah ditentang secara nyata oleh AS, Eropa, PBB, dan bahkan oleh mayoritas negara Arab sendiri. Buktinya, tidak pernah ada tekanan signifikan bagi negara Yahudi itu untuk menghentikan kebijakan kotornya.
Dengan hanya ada dua pilihan: Menjadi pemenang atau pecundang, mulia atau terhina, para pemuda Palestina tidak mempunyai alternative selain melawan kekerasan Sharon dengan kekerasan pula. Intifada yang semula hanya berbentuk lemparan batu, kini sudah berubah menjadi paket-paket bom manusia yang menggetarkan keangkuhan zionisme.
Bagaimana dengan perdamaian? Selamat tinggal! Para pejuang Palestina itu pun sudah tahu bahwa kata “perdamaian” dari mulut Ariel Sharon tidak lebih dari perangkap untuk membunuh aspirasi kemerdekaan Palestina.*
* Mansyur Alkatiri, Ketua Balitbang Pimpinan Pusat Al-Irsyad Al-Islamiyyah (2000-2006)
BACA JUGA:
Bom Al-Qaida di Karbala – Koran Tempo
Setelah Road Map Arab-Israel Disodorkan – Koran Tempo
Irak Menemukan Islam Kembali – Ummat