Israel Lawan Israel
Oleh: Mansyur Alkatiri
Sumber: MAJALAH UMMAT Tahun I No. 11, 27 November 1995
Kelompok Radikal Kanan Israel berusaha menghentikan perjanjian damai. Siapa yang menang?
Rabbi Avraham Hecht, tokoh Yahudi Ortodoks dari Brooklyn, New York, pasti senang mendengar Yitzhak Rabin tewas. Dalam wawancara dengan New York Magazine, Oktober lalu, ia secara tersirat ‘memfatwakan” pembunuhan terhadap Rabin, yang dituduhnya telah keluar dari hukum Yahudi.
“Menurut hukum Yahudi, adalah dosa bila seseorang dengan sengaja menyerahkan tubuh, harta dan kekayaan Yahudi kepada orang asing. Dan hukumannya adalah mati”, tegasnya. Rabin ‘berdosa’ karena mau menyerahkan Tepi Barat kepada pemerintahan otonomi Palestina. “Menurut Maimonides (rabbi Yahudi di abad ke-12): ‘Jika ada seorang yang membunuhnya, maka ia telah melakukan perbuatan yang baik”.
Rabbi Hecht tidak sendirian. Banyak rabbi lain di Amerika dan Israel sepaham dengannya. Salah satunya adalah Avishai Raviv, pemimpin kelompok Eyal, di Tel Aviv. “Rabin bertanggungjawab atas pembunuhan terhadap ratusan orang Yahudi”, ujarnya. Dan anak buah Raviv, Yigal Amir, pergi mengeksekusi Rabin.
Eyal adalah pecahan dari gerakan Kach, ciptaan Rabbi Meir Kahane yang amat anti Arab. Kahane selalu berkampanye untuk mengusir seluruh orang Arab Palestina dari Wilayah Pendudukan. Ia tewas di New York pada 1990, di tangan seorang Arab Mesir.
Radikal Kanan
Fenomena bangkitnya Radikal Kanan Yahudi ini menemukan momentum yang tepat di tengah bergulirnya perundingan damai Israel-PLO. Mereka menolak keras penyerahan Tepi Barat, Gaza dan Golan pada Palestina dan Syria. Dalam pandangan mereka, Tepi Barat adalah Judea dan Samaria, tanah yang dijanjikan oleh Taurat menjadi milik Yahudi. Sikap yang sama juga diambil oleh partai Likud, pesaing utama partai Buruh yang berkuasa.
Jumlah para pengikut gerakan radikal ini sebenarnya cukup kecil. Tapi seperti dikatakan Yuwono Sudarsono, pakar internasional dari Universitas Indonesia, “mereka cukup vokal, karena mewakili orang-orang yang langsung terkena penggusuran akibat perjanjian damai itu”. Para pemukim Yahudi di wilayah pendudukan, yang terancam tergusur, memang menjadi pengikut setia gerakan-gerakan ini. Dan dalam pemilu, mereka memberikan suara bagi partai Likud dan ekstrem kanan seperti Tehiya, Moledet dan Tzomet.
Dalam pemilu 1992, partai-partai ekstrem ini meraih 12 kursi di parlemen. Naik lima kursi dibanding pemilu sebelumnya. Likud dan partai-partai ini sama anti perjanjian damai. Yang membedakan, kaum ekstrem Kanan juga menghendaki diusirnya seluruh warga Palestina dari wilayah-wilayah yang diduduki Israel. Bila perlu dengan kekerasan. Dalam banyak hal mereka saling bekerjasama melawan partai Buruh dan koalisinya, partai Meretz.
Sampai sebelum pembunuhan atas Rabin, dukungan bagi kelompok Kanan sebenarnya cukup tinggi. Beberapa jajak pendapat terakhir menunjukkan, Benyamin Netanyahu (43), pemimpin baru Likud, berhasil mengungguli popularitas Partai Buruh. “Kami benar-benar berada dalam posisi minoritas saat penandatanganan perjanjian damai. Tapi sekarang pemerintahlah yang minoritas”, ujar Netanyahu pada The Washington Post, September lalu.
Ratifikasi parlemen Israel, Knesset, terhadap persetujuan otonomi Palestina juga menunjukkan menguatnya dukungan kaum Yahudi kepada kelompok Kanan. Perbandingan yang pro dan kontra amat tipis, 61-59. Dari 61 suara yang dikumpulkan kubu pro-perdamaian, lima suara berasal dari anggota Partai Arab: Hadash dan ADP. Jadi hanya 56 anggota Yahudi yang setuju perjanjian damai.
Berbalik
Kematian Rabin sendiri, agaknya telah membalikkan keadaan. Muncul gelombang simpati padanya dari rakyat Israel, melawan kelompok Kanan. Ini akan banyak membantu Shimon Peres, “arsitek” perjanjian damai, untuk mempercepat perubahan di Tepi Barat dalam bulan-bulan mendatang. Peres sekarang bertindak sebagai pejabat perdana menteri. Seandainya pemilu dilangsungkan sekarang, diperkirkan partai Buruh akan menang. “Mungkin bisa meraih sampai 60% suara”, ramal Riza Sihbudi, pengamat Timur Tengah dari LIPI.
Bila tak ada perubahan, pemilu akan berlangsung November 1996. Di bawah undang-undang pemilu yang baru, rakyat Israel akan memilih langsung perdana menterinya dan anggota parlemen secara terpisah. Bila Peres menang, maka perundingan diduga lebih mudah. Tapi bila Likud yang menang, kesulitan akan menghadang. Netanyahu sudah mengancam akan membatalkan perjanjian damai bila partainya menang. Sebab katanya, “mengembalikan Tepi Barat tidak akan mengasilkan perdamaian. Tapi justeru akan melahirkan negara PLO-Hamas”. Tapi menurut Riza Sihbudi, “Likud hanya akan mengulur-ulur waktu. Untuk memuaskan kelompok radikal Kanan. Mereka tak mungkin membatalkannya, soalnya Amerika pasti tak suka”.
BACA JUGA:
Anti Islam di Kampus Inggris
Pemurtadan Gaya Amerika
Malcolm X, Pahlawan Kulit Hitam yang Kurang Dikenal
[…] JUGA: Muslim Albania: Cemas di Tengah Perubahan Pembunuhan PM Israel Yitzhak Rabin Mengenang Dr Said […]
[…] JUGA: Pembunuhan PM Israel Yitzhak Rabin Anti Islam di Kampus Inggris Suara Islam di Udara Afrika […]
[…] peringatan peristiwa pembakaran Mesjid Al-Aqsa, 21 Agustus 1969. Yitzhak Rabin, perdana menteri Israel, dan Yaser Arafat, ketua Otoritas Nasional Palestina, mengutuk keras aksi pemboman ini. Keduanya […]
[…] BACA JUGA: Israel Bunuh Fathi Shaqaqi, Pemimpin Jihad Islam Muslim Albania: Cemas di Tengah Perubahan Pembunuhan PM Israel Yitzhak Rabin […]