Mujeni Sudah tak Sanggup Lagi
Oleh: Mansyur Alkatiri
Dari: Majalah UMMAT, No. 8 Thn. III, 8 September 1997 / 6 Jumadil Akhir 1418 H
Resminya sekolah dasar negeri bebas SPP, tapi aneka pungutan terus menjepit orangtua murid. Sepatu ANP kian menghimpit
Mujeni hidup berdesakan dengan suami dan enam anak mereka di rumah berukuran 3 X 5 meter, di Gang Jati, Mampang Prapatan, Jakarta Selatan. Empat anaknya yang lain sudah menikah. Suaminya kuli bangunan, yang kadang bernasib mujur karena mendapat pinjaman sepeda motor temannya untuk ngojek, guna menyambung napas.
Tiga anaknya kini duduk di bangku SMP, tiga lainnya masih di sekolah dasar. Sedang yang sudah mentas, hanya berbekal ijazah SMP dan SMU. Untuk meringankan beban orang tua, anak-anaknya yang sudah di SMP dibiasakan bekerja di rumah-rumah tetangga, seperti menyapu dan mengepel lantai. Dari sanalah mereka mendapat uang saku dan biaya keperluan sekolah.
Keluarga Betawi ini panik setiap datang saat masuk sekolah atau selesai catur wulan. “Masuk sekolah pertama, saya harus bayar Rp 300.000 untuk tiap anak. Itu yang di SD,” tutur perempuan 40 tahun itu kepada UMMAT di ruang tamu mininya yang pengap. Tiga anaknya asyik duduk di lantai, di samping kursi sudut yang kumal. “Tiap abis catur wulan, ada lagi tambahan biaya,” tambah wanita berperawakan sedang ini.
Bila Depdikbud tak mencabut rencana penyeragaman “sepatu OSIS” itu, mudah dibayangkan apa yang akan dirasakan oleh Mujeni. “Ngapain beli sepatu yang harganya Rp 21.000? Buat orang kaya harga segitu nggak mahal, tapi buat saya uang segitu mahal sekali. Jelas saya keberatan,” katanya.
Perasaan serupa diidap oleh Slamet Margi (37), pesuruh di kantor biro perwakilan sebuah harian ibukota di Surabaya. “Kalau misalnya semua wali murid terpaksa setuju (membeli sepatu seragam), saya akan temui kepala sekolah untuk minta keringanan,” ujar bapak dua anak ini. Anak pertama Margi duduk di kelas 2 SMP, yang kedua di kelas 5 SD.
Bonus Penerbit
Di luar urusan sepatu made in Aryo Nusa Pakarti (ANP) ini, Slamet Margi dan juga Hamidah (30) di Jakarta, kelabakan dengan banyaknya pungutan di luar SPP yang sering tak terduga. Padahal, SPP sendiri sudah dihapus untuk kedua jenjang pendidikan dasar ini. “Sekarang modelnya setiap tahun ajaran baru, dilakukan daftar ulang,” keluh Margi. “Dan itu berarti melengkapi keuangan dan segala macamnya.”
“Tiap ganti catur wulan kami harus bayar Rp. 50.000, katanya untuk uang buku,” tutur Hamidah, ibu dua anak yang masih duduk di sebuah SD, di Jakarta Selatan. “Belum lagi uang untuk iuran kas kelas yang besarnya nggak tetap. Tiap akhir tahun ajaran, sekolah juga suka ngadain piknik atau kemping pramuka. Nambah lagi biayanya.” Untuk uang gedung, suami Hamidah yang pegawai negeri dan berpenghasilan Rp 200.000 per bulan, harus mengeluarkan Rp 75.000 per anak.
Keberatan terhadap rencana seragam sepatu ANP ternyata bukan monopoli orangtua murid. Beberapa pengajar yang dijumpai UMMAT, meski tak menentang ide penyeragaman sepatu itu sendiri, juga keberatan bila para murid diharuskan membelinya hanya dari satu produsen saja. “Tak semua anak mampu membeli sepatu seharga Rp 21.000 itu,” ujar seorang kepala SD Negeri di ibukota yang tak mau disebut namanya. “Uang sekolah saja ada yang dibebaskan karena orang tuanya tak mampu.”
Di sekolahnya, seragam sepatu sudah diberlakukan sejak empat tahun silam, tapi tak ada keharusan bagi siswa memilih merek tertentu. Yang penting warnanya hitam.
Seorang kepala sekolah lainnya — yang juga tak mau disebut namanya — menyatakan lebih suka sekolah tak diharuskan membeli pada satu produsen saja. “Sebaiknya Depdikbud tentukan warna dan modelnya saja. Pembelian diserahkan pada masing-masing sekolah,” ujarnya.
Keluh kesah orang tua murid juga menyangkut mekanisme penggantian buku-buku pelajaran. Buku-buku itu kini paling awet hanya berlaku 2-3 tahun. Akibatnya sulit diturunkan seorang murid pada adiknya. “Ini jauh berbeda dengan jaman saya sekolah dulu. Saya jarang beli buku baru, paling pinjam pada kakak,” jelas Slamet Margi.
Mengapa masa pakai buku-buku itu begitu singkat? Alasannya sederhana: agar pengelola sekolah mendapat bonus dari penerbit. “Kami tak munafik untuk memilih sales buku yang memberi bonus paling banyak,” ujar seorang kepala sekolah SD di Jakarta Barat.
Perlindungan
Tanggapan cukup keras atas “kasus sepatu” datang dari Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI), yang melihatnya dari sisi monopoli pemasok sepatu dan hak konsumen. “Dengan monopoli, hak konsumen untuk membeli jadi mati,” tegas Indah Suksmaningsih, Sekretaris Eksekutif YLKI. “Kalau sudah monopoli, seperti apapun kualitasnya kita tak bisa memilih.”
YLKI juga menyoroti masalah pungutan di sekolah dewasa ini, yang umumnya dikatakan telah disepakati oleh orangtua murid. Tapi tingkat representasi dalam “kesepakatan” ini diragukan. “Orangtua murid siapa yang duduk dalam kepengurusan? Apa dia ikut mewakili kondisi semua orangtua murid dalam sekolah itu?” tanya Suksmaningsih tanpa bermaksud mencari jawab.
“Mereka selalu menggampangkan bahwa masyarakat bisa diambil duitnya semau-maunya. Lihat saja soal iuran TVRI, Sea Games dan sebagainya. Begitu gampang orang memperlakukan konsumen yang sudah nggak ada perlindungannya.”
Dalam kasus Mujeni dan orang-orang sekelasnya, sebagai konsumen pendidikan, kondisi tak terlindungi itu dimaksimumkan oleh instansi yang tugas pokoknya adalah melindungi mereka.
Laporan dari: Ali Anwar, Ahmad Muayad, Yuyun Hadiwiratmo, Imam Bukhori (Surabaya)
*****
BOX:
Kaya dan Tak Memaksa Siswa
Kontroversi seputar seragam sepatu OSIS made in ANP memang tak memusingkan beberapa sekolah swasta yang tergolong elite. Harga Rp 21.000 itu sama sekali bukan masalah bagi siswa-siswi mereka yang umumnya berasal dari kalangan makmur. Lagipula, kemandirian mereka di bidang dana dan tenaga pengajar, kian memupuk sikap independensi sekolah-sekolah ini.
SMP Muhammadiyah 09 (disamakan), yang terletak di Jl. Limau, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, salah satu contohnya. Dalam kebijakan tentang sepatu, dengan tenang Kepala Sekolah Drs Hasan Basri (52) mengatakan, “Kami patuh pada PP Muhammadiyah.” Lewat ketuanya Dr. HM Amien Rais, PP Muhammadiyah menginstruksikan segenap sekolah Muhammadiyah agar menolak sepatu seragam buatan ANP.
Menurut Hasan Basri, di sekolahnya tak pernah terjadi keluhan soal pungutan. Karena sebelum mendaftar, mereka pelajari dulu rencana biayanya. “Kalau sanggup silakan daftar. Kalau tidak, mereka akan mundur teratur,” katanya. Dengan biaya yang dikutip dari murid di awal tahun, SMPM 09 bisa menyelenggarakan kegiatan ekstra seperti olahraga, Palang Merah Remaja, diniyah dan Taman Bacaan al-Quran. Dengan itu pula kini SMPM 09 yang memiliki 350 murid, laboratorium biologi, fisika, elektronika dan komputer.
Menyangkut buku pelajaran, ada buku paket dari pemerintah dan buku penunjang. “Anak tak dipaksa membeli buku penunjang,” ungkap Hasan Basri. Biasanya sekolah mengedarkan daftar buku dan harga kepada orang tua, lalu mereka menimbang mana yang akan dibeli mana yang tidak. Anak yang tak punya buku, bisa baca di perpustakaan.
Sekolah lain yang terbilang elite, SMP Islam Al Azhar, Jaka Permai, Bekasi, membiayai diri dari uang pungutan atas siswa dan tambahan dari yayasan. SMP yang punya 539 murid ini tak mengalami masalah dalam hal pungutan terhadap siswa.
Sesekali memang masih muncul keluhan. Tapi karena latar belakang ekonomi orangtua siswa yang umumnya dari golongan mampu, keluhan itu tak berkepanjangan. Apalagi sekolah memberi pula kesempatan membayar pungutan dengan cara mencicil.
Untuk pengadaan buku, sekolah yang berlamat di Jl. Cendana II/84 Bekasi ini menggunakan media penerbit Balai Pustaka (BP). “Pertimbangannya, BP sanggup menyediakan buku dari berbagai penerbit yang sesuai program sekolah,” ujar Kepala Sekolah Sardi Salim (57) pada Mimin Rukmini dari UMMAT.
Seperti Hasan Basri, Salim tak setuju dengan program penyeragaman sepatu secara nasional. Menurut dia, penyeragaman sepatu itu secara lahiriah kelihatan baik, tapi secara pribadi itu melanggar hak asasi. “Dan pasti ada orang-orang tertentu yang menarik keuntungan dari sini,” tambah pria kelahiran Solo ini. Kalau pun seragam, Sardi lebih suka warnanya saja yang diseragamkan, bukan mereknya.
Mansyur Alkatiri
Laporan dari: Ahmad Muayad, Mimin Rukmini