Dulu Musuh Sekarang Kawan
Oleh MANSYUR ALKATIRI
Majalah UMMAT Thn. II No. 3, 5 Agustus 1996 / 20 Rabiul Awal 1417 H
Pemerintah Filipina dan MNLF berhasil mencapai terobosan baru perdamaian.
Letnan muda Roy Cimatu pernah dikirim ke Mindanao untuk memerangi pejuang-pejuang Muslim Moro dalam tahun 1970-an. Ia dibekali foto-foto ketua Front Pembebasan Nasional Moro (MNLF), Nur Misuari, dengan perintah: membunuhnya.
Sekarang Cimatu -yang sudah berpangkat kolonel- tahu dimana Misuari berada. Tapi tugasnya kini justeru melindungi nyawa Misuari.
Perjuangan bersenjata bangsa Muslim Moro yang telah berlangsung 24 tahun dan memakan korban ratusan ribu Muslim itu, untuk pertama kalinya menampakkan tanda-tanda bakal berakhir. Dan Misuari pun kini bersiap menanggalkan senjata. Perjuangan baru menantinya lewat kotak suara.
Setelah tiga tahun perundingan intensif, MNLF menerima usulan pemerintah bagi sebuah dewan yang akan dipimpin Muslim, yang akan mengarah pada pemerintah otonomi baru yang lebih luas cakupannya di Selatan.
Sebagai komandan brigade 601 di propinsi Sarangani, Mindanao, tugas Cimatu adalah melindungi Misuari selama perundingan. “Inilah ironi sebuah peperangan,” kata Cimatu, pada Oliver Teves dari kantor berita Associated Press.
Jum’at lalu (12/7), Misuari membuat langkah besar. Ia bersedia bergabung dengan partai politik Fidel Ramos, Lakas, dan akan maju sebagai gubernur dalam pemilihan umum regional September mendatang. Padahal Ramos dulu adalah seteru besar Misuari. Saat menjabat kepala staf Angkatan Bersenjata dibawah Presiden Ferdinand Marcos, Ramos banyak membantu kampanye brutal terhadap pejuang dan rakyat Muslim.
Kristen menolak
Meski demikian, tak semua rakyat Filipina menerima konsesi besar yang diberikan Muslim Moro. Kelompok-kelompok Kristen di beberapa propinsi Mindanao, yang mayoritas penduduknya Kristen, menolak kesepakatan Ramos dengan Misuari. Mereka menggambarkan kesepakatan itu sebagai “penyerahan diri” terhadap MNLF. Mereka menuduh perjanjian itu memaksakan kekuasaan Muslim di wilayah Kristen.
Ketika Ramos mengunjungi General Santos City minggu lalu, guna mencari dukungan bagi perjanjian damai, lebih dari 1.500 pemrotes menghujani mobilnya dengan tomat dan plakat-plakat.
Mindanao dulunya wilayah Muslim. Penduduk Kristen yang sekarang mendominasi wilayah ini adalah imigran dari utara. Imigrasi memang menjadi alat pemerintah Manila dari dulu guna mengubah perimbangan penduduk di Selatan. Sementara penduduk aslinya yang Muslim, secara sistematis dibuat tetap miskin. Maka kini tugas sulit menanti Misuari untuk meyakinkan pemukim Kristen itu agar kemudian memilihnya menjadi pemimpin utama di seluruh Filipina selatan.
“Saya akan meyakinkan rakyat kami di mana saja, Muslim, Kristen dan Lumad (suku-suku pegunungan), bahwa ketua MNLF akan bekerja dalam kerangka hukum yang disepakati,” kata Misuari.
Di bawah perjanjian damai, Ramos akan mendirikan Dewan Filipina Selatan bagi Perdamaian dan Pembangunan (SPCPD). Dewan ini dipimpin MNLF, yang akan mengawasi proyek-proyek pembangunan di 14 propinsi Selatan selama tiga tahun. Setelah masa transisi itu habis, akan dilangsungkan referendum untuk memutuskan apakah ke-14 propinsi akan bergabung dengan wilayah otonomi atau tidak.
Pemerintahan otonomi tak boleh berdasarkan satu adama. Meski demikian, bagi kepentingan rakyat Muslim, akan dibentuk pengadilan Islam dan sistem pendidikan Islam.
Konsesi besar
Bagi umat Islam, menyetujui lembaga SPCPD merupakan konsesi amat besar, setelah puluhan tahun menuntut sebuah pemerintahan yang akan didominasi MNLF di 14 propinsi Selatan. Kebanyakan penduduk Muslim yang umumnya miskin, memang terpusat di Selatan, tapi hanya di 4 propinsi mereka menjadi mayoritas sekarang. Lainnya didominasi Kristen.
Misuari diberitakan mendapat tekanan dari Organisasi Konperensi Islam (OKI), untuk menerima formula Ramos yang mereka anggap peluang terbaik yang bisa didapatkan Muslim. Di bawah perjanjian 1976 di Tripoli, yang disponsori OKI, MNLF mengubah tuntutannya dari kemerdekaan penuh menjadi otonomi. Beberapa tokoh Muslim mengecam perubahan sikap Misuari dan kemudian membentuk kelompok lain yang lebih militan.
Beban berat kini berada di punggung Misuari. Apakah dia akan berhasil menjadi politisi setelah melancarkan perjuangan bersenjata selama lebih dari 20 tahun. “Itu akan bergantung pada apakah Muslim akan memahami dan menyesuaikan diri dengan kenyataan politik baru yang tidak mereka sukai,” kata Asiri Abubakar, profesor pengamat masalah-masalah Asia di University of Philippines.
“Setelah berhasil sebagai seorang pemimpin selama lebih dari dua dekade, Misuari mungkin bisa mengatasi tantangan itu,” tambah Abubakar.* (Mansyur Alkatiri)
BACA JUGA:
Gereja Tolak Libur Hari Raya Muslim di Mozambik
Turki, Bulan Sabit di Menara Sekularisme
Aksi Bom Penentang Damai di Mindanao
[…] JUGA: Ironi Perang Saudara di Filipina Gereja Tolak Libur Hari Raya Muslim di Mozambik Kesepakatan Damai […]