Oleh MANSYUR ALKATIRI
Majalah UMMAT Tahun II No. 1, 8 Juli 1996 / 22 Safar 1417 H
Netanyahu “gusur” tokoh-tokoh keras dari kabinet. Tapi kebijakan pemerintahannya tetap memancing kemarahan Arab.
Dengan senyum kemenangan, Benjamin Netanyahu, Rabu silam, mulai menduduki jabatan terbarunya. Perdana Menteri Israel. Kemudi pemerintahan Yahudi yang menguasai bumi Palestina kini berada di tangannya. Dengan kekuasaannya itu, ia diyakini bakal membelokkan sejarah: menjauh kembali dari “proses perdamaian” dengan Palestina dan negara-negara Arab.
Negara-negara Arab memandangnya dengan cemas. Mesir menyatakan kecewa dengan pidato inagurasi Netanyahu di parlemen Israel (Knesset), Selasa lalu, yang berisi kebijakan baru Israel di bawah Partai Likud. “Pernyataan politiknya lebih banyak melahirkan pertanyaan daripada jawaban. Pernyataan itu mengandung seruan untuk perundingan damai dan keinginan berhubungan baik dengan tetangga, tapi juga mengandung penolakan,” kritik Menlu Mesir, Amr Moussa.
Di Syria, surat kabar pemerintah menyebut kebijakan Netanyahu counterproductive bagi perdamaian. Harian berbahasa Inggris Syria Times melukiskan kebijakan Netanyahu sebagai “menyabot proses perdamaian”. Sementara surat kabar Tishrin menyatakan, kebijakan PM baru itu “mengancam seluruh proses perdamaian dan mementahkan kembali apa yang telah dicapai”.
Kebijakan Keras
Beberapa kebijakan yang memancing protes Arab itu, antara lain, pertama, menentang pembentukan negara Palestina merdeka di Tepi Barat dan Gaza. Kedua, menguasai seluruh Jerusalem dengan mengabaikan tuntutan Palestina atas Jerusalem Timur sebagai ibu kotanya. Ketiga, memperkuat permukiman Yahudi di seluruh Palestina, termasuk di Golan, Tepi Barat, dan Gaza. Keempat, mempertahankan Dataran Tinggi Golan yang dirampas Israel dari Syria pada 1967.
Hanya ada sedikit perubahan pada Netanyahu yang selama kampanye menentang keras perjanjian Israel-Palestina. Ia kini tak menolak pembentukan pemerintah otonomi Palestina di Tepi Barat dan Gaza. Ia juga akan melanjutkan perundingan damai. Meskipun, itu didasarkan pada jaminan keamanan maksimal bagi penduduk Yahudi.
Kabinet Setengah Keras
Susunan kabinet baru Israel sendiri, di luar dugaan kalangan pengamat, ternyata tak mencantumkan tokoh-tokoh ultra keras pada posisi-posisi menentukan. Ariel Sharon, otak pembantaian ribuan warga Palestina di Sabra dan Shatila pada 1992, tak memperoleh kursi menteri keuangan atau menteri perumahan yang diharapkannya. Padahal, Sharon berperan besar menggalang suara kalangan Yahudi Ortodoks bagi Netanyahu. Agaknya ini berkat tekanan Amerika Serikat. Sharon sedang diusahakan mendapat satu “kementerian baru”.
Rafael Eitan, mantan kepala staf Angkatan Bersenjata yang memimpin operasi di Sabra dan Shatila, gagal pula mendapat jatah yang diimpikannya: menteri pertahanan. Pemimpin partai radikal Tsomet yang bertekad mengusir seluruh penduduk Palestina ini “hanya” memperoleh jatah menteri pertanian dan lingkungan hidup. Namun, penguasaan kementerian ini terhadap sumber-sumber air di Palestina bakal menyulitkan kebutuhan air warga Palestina.
Alhasil, setiap kedudukan penting relatif berada dalam genggaman orang-orang yang dikenal “moderat”. David Levy, ketua partai Gesher, menjabat menteri luar negeri. Jabatan yang sama dalam kabinet Yitzhak Samir dulu.
Kementerian pertahanan dipegang oleh Yitzhak Mordechai, pensiunan jenderal kelahiran Irak, yang baru bergabung dengan Likud tujuh bulan menjelang pemilu. Dan Meridor, mantan menteri kehakiman, kini ditunjuk sebagai menteri keuangan. Sementara kementerian dalam negeri diserahkan kepada Eli Suissa dari partai Yahudi Ortodoks, Shas. Berbeda dengan National Religious Party (NRP), Shas yang menjadi wadah Yahudi Asia-Afrika Utara (Sephardic), tidaklah begitu radikal. Pemimpin spiritual Shas, Rabbi Ovadia Yosef, seperti dikutip International Herald Tribune, mengizinkan pengembalian tanah untuk menyelamatkan kehidupan.
Dengan komposisi kabinet seperti itu, Netanyahu berusaha mencitrakan pemerintahnya tidaklah anti perdamaian. “Cepat atau lambat, Netanyahu akan menyadari bahwa kebijakan yang membawanya terpilih tak sesuai dengan realitas yang ada,” tulis Zev Katz, profesor sejarah dari Universitas Hebrew, dalam Jerusalem Post (17/6). Dan sikap Netanyahu mengenai Hebron, kota suci tempat makam Nabi Ibrahim, akan menjadi ujian pertama baginya: apakah ia akan menghormati komitmen pemerintah sebelumnya untuk menarik mundur pasukan Israel dari kota Tepi Barat terakhir -yang masih diduduki tentara Israel itu- ataukah akan tetap mengangkanginya? Menarik untuk ditunggu.* MA
BACA SELENGKAPNYA:
Harapan Baru Partai Refah di Turki
Islam di Kenya
PALESTINA, Akibat Bersekutu dengan Rabin