Selimut Duka di Kaukasus
Oleh MANSYUR ALKATIRI
Majalah UMMAT, Tahun I No. 23, 13 Mei 1996 / 25 Zulhijah 1416 H
Rusia membunuh Presiden Dudayev. Tapi rakyat Chechnya terus bertekad mengusir penjajah.
Chechnya berduka. Rakyatnya menangis pilu, meratapi kepergian sang pemimpin, Dzhokhar Dudayev. Masa berkabung tiga hari yang diumumkan panglima militer Shamil Basayev, tak cukup untuk mengusir getir. Adapula yang tak percaya pahlawan mereka telah tiada. Seorang pemuda bersepeda di tengah kota Grozny berteriak setengah histeris, “Itu kata mereka. Saya tidak percaya.”
Di sisi lain, kebencian pada Rusia kian menggumpal di dada rakyat Chechen. Kata “perundingan” agaknya bakal tinggal kenangan. Sedangkan kata “kompromi” hangus terlalap api kemarahan. “Mungkin Dudayev dapat mencapai kompromi melalui perundingan. Tapi sekarang rakyat Chechenlah yang menentukan persyaratannya,” ujar Akhmad Zakayev, perwira lapangan senior pejuang Chechen. Apa persyaratannya? “Kemerdekaan sepenuhnya, dan penarikan pasukan Rusia secara tuntas,” jawab Zakayev mantap.
Wakil Presiden Zelimkhan Yandarbiyev (44), yang ditunjuk Dewan Militer Pejuang Chechnya, mengambil alih kepemimpinan republik mini di Kaukasus Utara ini. Yandarbiyev juga menegaskan bahwa kematian tragis presiden pertama Chechnya itu tak mematahkan semangat rakyat Chechnya. “Mereka siap melanjutkan perjuangan demi kemerdekaan,” ujarnya menambahkan.
Dzhokhar Dudayev, mantan marsekal dalam Angkatan Udara Uni Sovyet, tewas oleh serangan rudal Rusia yang menghantam tempat persembunyiannya di Desa Gekhi Chu, 30 km barat daya ibukota Chechnya, Grozny, Minggu malam (22/4). Ketika serangan dilancarkan, Dudayev tengah menelpon seorang penengah dalam konflik Chechnya-Rusia. Ia menggunakan telepon satelit. Menurut laporan kantor berita Rusia Interfax, rudal yang diluncurkan dari sebuah pesawat tempur itu bisa tepat mengenai sasaran karena dibimbing oleh sinyal dari pesawat telepon itu. Jenazah Dudayev dikebumikan tepat di samping makam ibunya di dekat Desa Shalazhi pada Selasa malam.
Dudayev lahir pada 1944. Masa kecilnya dihabiskan di Kazakhstan. Keluarganya bersama ratusan ribu muslimin Chechen diusir ke Asia Tengah oleh diktator Rusia, Joseph Stalin, dengan tuduhan kolaborator Nazi Jerman dalam PD II.
“Sejarah Rusia adalah sejarah barbarisme, perampokan dan pembunuhan, terutama di Chechnya,” katanya. “Sejarah ini melekat kuat dalam jiwa bangsa Chechen.” Dudayev amat mengagumi Imam Mansur, pahlawan bangsa Chechen abad ke-19, yang berjuang melawan pendudukan Tsar Rusia.
Ia juga dikenal taat beragama. Komitmennya terhadap Islam tampak dari langkah islamisasi kembali Chechnya. Ia mengubah Chechnya dari negeri sosialis sekuler menjadi Republik Islam. Mesjid-mesjid kembali berdiri dan syariat Islam kembali ditegakkan. “Kami telah berpaling dari demokrasi Barat. Kami menoleh pada keluhuran agama Islam,” ujarnya suatu hari.
Nasib Perdamaian
Pertanyaan besar kini menyelimuti nasib perundingan damai dengan Rusia. Dudayev selalu menolak kamus ”perdamaian” Moskow, yang bermakna Chechnya harus berada di ketiak Rusia. Penggantinya, Zelimkhan Yandarbiyev, yang suka sekali tampil dalam seragam perang dan topi tradisional Kaukasus, papakha, adalah ideolog utama kemerdekaan Chechnya. Untuk merdeka, ia tak kenal kata kompromi.
Yandarbiyev semula adalah seorang penulis. Ia pernah menjadi anggota Uni Penulis Soviet di Chechnya. Terjun ke dunia politik pada 1990, ia membentuk Partai Demokratik Vainakh, yang mencita-citakan Chechnya merdeka. Vainakh adalah salah satu suku di Chechnya.
Pejuang kemerdekaan Chechen telah bersumpah akan membalas kematian sang presiden. Wakil Dudayev di Moskow, Vagap Tutakov, menyatakan, “Perjuangan akan terus berlanjut dengan kekuatan berlipat ganda.”
Dudayev telah meninggalkan rakyat Chechen. Tapi, darahnya yang membasahi bumi Chechnya, adalah rabuk bagi generasi muda Chechen. Di pangkuan seorang pengawalnya, beberapa saat sebelum mengembuskan nafas terakhirnya, Dudayev sempat berpesan, “Jangan hentikan apa yang telah kita mulai. Lanjutkan sampai akhir.”
Sayang, dunia Islam tak tergetar melihat darah, keringat dan air mata mereka. Sekadar kata belasungkawa pun sulit terucap dari mulut para pemimpin negara Islam.
“Jangan engkau katakan orang-orang yang gugur di jalan Allah itu mati. Mereka sebenarnya tetap hidup, tetapi kamu tidak menyadarinya.” (al-Baqarah: 154)* Mansyur Alkatiri
BACA SELENGKAPNYA:
Chechnya Peringati Deklarasi Kemerdekaan
Kesepakatan Damai Chechnya-Rusia?
Muslim Patani Thailand Bertahan di Pondok