Laskar HIZBULLAH dengan bendera tauhidnya dalam parade di Markas Besar TKR/BKR di Yogyakarta pada masa perjuangan kemerdekaan. FOTO: 50 Tahun Indonesia Merdeka

Oleh MANSYUR ALKATIRI (Blogger, peminat sejarah)

KALIMAT TAUHID itu menaungi Merah Putih sejak bangsa dan negara ini ada di Nusantara. Bahkan, selama ratusan tahun, sebelum Merah Putih ada, para pejuang (ulama dan sultan-sultan) di Nusantara ini dengan KALIMAT TAUHID  sudah memerangi penjajah Kristen Eropa (Portugis, Spanyol dan Belanda) yang menguasai, memperbudak, dan membantai rakyat Nusantara.

Di masa perang kemerdekaan 1945-1949, setelah terbentuk embrio bangsa baru bernama Indonesia dengan Merah Putih-nya, KALIMAT TAUHID lah yang menjadi penaung perjuangan itu. Merah Putih itu simbol dari bangsa baru ini, dan KALIMAT TAUHID tetap menjadi jiwanya.

Jadi, bagi umat Islam Indonesia saat ini, Merah Putih adalah simbol dari sebuah bangsa baru (meminjam istilah Dr. Salim Said), yaitu Bangsa Indonesia yang hidup dari Aceh sampai Papua, sedang jiwanya adalah jiwa yang hidup oleh KALIMAT TAUHID: LA ILAAHA ILLALLAH.

Maka, upaya mempertentangkan atau menghadap-hadapkan Merah Putih dengan Kalimat Tauhid adalah upaya sengaja dari orang-orang yang bodoh sejarah. Mereka sama saja bermaksud MENGELUARKAN Merah Putih dari KALIMAT TAUHID. Padahal, negara dan bangsa ini ADA karena KALIMAT TAUHID itu. Mengeluarkan Merah Putih dari KALIMAT TAUHID ini hanya menjadikan Merah Putih sebagai seonggok simbol yang hanya bermakna duniawi semata, hingga bisa jadi mudah tercampakkan suatu hari.

Bendera Kesultanan Aceh

Jika saja provokasi ini terus menerus dilangsungkan dengan sengaja, dan tentunya sudah pasti dengan dukungan dana asing yang entah dari mana, sudah pasti akan sangat mengancam kesatuan negara Republik Indonesia yang tergolong baru ini.

Sudah cukup pengalaman Yugoslavia, Uni Soviet, Cekoslowakia dan negara-negara yang dulu disebut “negara bangsa” akhirnya pecah berantakan, padahal mereka dulu sangat bangga dengan ideologi komunisme yang mereka anut dan bendera negara yang menjadi simbol perekat. Ini karena munculnya provokasi-provokasi dari penguasa yang merasa kuat dan merasa mampu menguasai dan mendikte seluruh lapisan rakyatnya. Mereka lalu luncurkan tafsir-tafsir khusus tentang ideologi, negara, bangsa, simbol-simbol, dan lain sebagainya, yang keluar dari spirit awal pendirian negaranya. Mereka lalu merasa digdaya karena menganggap tak tertandingi, aman melakukan apapun, termasuk memindas elemen-elemen bangsa yang nampak lemah.

Hegemoni ini awalnya dianggap biasa saja. Dan disambut sementara kalangan karena kucuran rezeki dari rezim dan asing. Lalu, tiba-tiba semua berantakan. Ini tentu tak disangka sama sekali oleh para penguasa bebal yang merasa digdaya itu. Dan semua sudah terlambat.

    MADU SIDR YAMAN HADRAMAUTMadu Paling Berkualitas di Dunia
Pesan ke WA: 0813 1594 2235 atau 0819 3284 6643 

Yugoslavia menjadi contoh tragedi paling berdarah dari perpecahan ini. Uni Sovyet dan pecahannya, termasuk Rusia, terus menyisakan konflik berdarah sampai saat ini. Api besar berkobar bertahun-tahun di Chechnya yang melenyapkan sekitar 20 persen warga Chechen, Armenia-Azerbaijan terus mendidih, Ukraina terbelah karena Krimea dicaplok Rusia, Georgia terus tercabik separatisme di Abkhazia dan Ossetia yang didukung penuh Rusia.

Beruntung Cekoslawakia menyadari bahaya ini, lalu etnis Ceko yang mayoritas dan beberapa etnis minoritas (teruama Slovak dan Jerman) yang membentuk negara itu memilih berpisah baik-baik, sehingga negara yang di Indonesia terkenal dengan produk sepatu merk Bata terpecah menjadi dua negara: Republik Ceko dan Republik Slovakia, secara damai pada 1 Januari 1993. Apapun, keterpecahan yang terjadi.

Sumpah Pemuda dan Lahirnya Pengkhianatan

SUMPAH PEMUDA 1928

Dalam kasus Indonesia, bangsa-bangsa yang ada di Nusantara pada 28 Oktober 1928 menyatakan diri sebagai bangsa Indonesia melalui SUMPAH PEMUDA. Bangsa-bangsa di Pulau Sumatera, Jawa, Kalimantan, Sulawesi, Sunda Kecil sampai Kepulauan Maluku itu pun dengan sukarela mengecilkan diri hanya menjadi “suku bangsa” dalam sebuah bangsa baru bernama Bangsa Indonesia itu. Dan, Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945, mematenkan terbentuknya Bangsa dan Negara Republik Indonesia. Ini semua tentu dilandasi keyakinan bahwa mereka akan menjadi sebuah bangsa besar, yang sederajat, dan akan diperlakukan secara adil menuju kemakmuran seluruh bangsa.

Begitu pula dengan keragaman agama yang ada, di mana menjelang kemerdekaan agama Islam dianut oleh 95 persen rakyat Nusantara. Sebagian besar wilayah Nusantara pun sejatinya adalah kesultanan-kesultanan Islam, baik yang masih berdaulat atau yang sudah dicabut kedaulatannya oleh penjajah Belanda tapi tetap berpengaruh kuat di masyarakat. Tak heran kemudian bila dalam penyusunan dasar pembentukan negara di BPUPKI (Dokuritsu Zyunbi Tyoosakai) menjelang kemerdekaan, kalangan Islam yang sangat kuat akarnya itu menuntut agar negara baru bernama Indonesia yang akan didirikan nanti adalah sebuah Republik Islam. Namun, kalangan sekuler, liberal, non-Muslim, dan kaum komunis, menghendaki dasar “kebangsaan” yang netral agama.

Perdebatan yang sangat meruncing tajam itu akhirnya terselesaikan oleh kearifan para pendiri bangsa, dalam bentuk disetujuinya sebuah Konsensus Nasional antara dua kelompok besar itu pada 22 Juni 1945 berupa Piagam Jakarta sebagai Dasar Negara RI, di mana sila pertamanya berbunyi: Ketuhanan, dengan kewajiban Menjalankan Syariat Islam bagi Para Pemeluknya. Ada 9 (sembilan) negarawan yang merumuskan “Piagam Jakarta” tersebut, dan setelah melalui perbedaan sengit akhirnya disetujui oleh para founding fathers Negara baru ini yang tergabung dalam Badan Penyelidik (BPUPKI). Juga pasal 6 UUD 1945 yang mewajibkan Presiden Indonesia beragama Islam.

              Buku SANG PANGERAN & JANISSARY TERAKHIR;
              Kisah, Kasih, dan Selisih dalam Perang Diponegoro (Salim A. Fillah)
              Pesan ke WA: 0813 1594 2235 ATAU 0819 3284 6643

Naskah Dasar Negara hasil Konsensus Nasional tersebut disetujui dan dimasukkan dalam Preambul (Mukadimah) UUD 1945, yang disepakati pula akan dibacakan pada saat negara Republik Indonesia diproklamasikan.

Endang Saifuddin Anshari dalam bukunya yang berjudul “Piagam Jakarta 22 Juni 1945, Sebuah Konsensus Nasional tentang Dasar Negara Republik Indonesia (1945-1949)” menjelaskan secara detil perdebatan yang ada saat itu di BPUPKI, antara dua golongan besar yang ia namakan golongan: Nasionalis Sekuler dan Nasionalis Islam. Golongan Nasionalis Sekuler yang menghendaki Negara RI berbentuk “Negara Kebangsaan” yang memisahkan agama dengan Negara secara total, dan golongan Nasionalis Islam menuntut Indonesia menjadi sebuah Negara Islam.

Namun sayang, Konsensus Nasional itu dalam realisasinya tak pernah direalisasikan. Golongan Nasionalis Sekular langsung dua kali mengkhianatinya hanya dalam hitungan hari.

Pin Laskar Hizbullah 1945-1949

Pertama, saat Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945 ternyata yang dibacakan adalah Teks Proklamasi dadakan yang disusun di rumah Laksamana Maeda, seorang perwira Jepang, yang disusun oleh Soekarno-Hatta. Padahal, sesuai kesepakatan para founding fathers di BPUPKI, seharusnya yang dibacakan dalam Proklamasi Kemerdekaan adalah Preambule UUD 1945 yang disusun BPUPKI di mana di dalamnya ada naskah Dasar Negara lima sila hasil rumusan 22 Juni 1945 (Piagam Jakarta).

Kedua, para nasionalis sekuler dalam sidang PPKI sehari setelah pembacaan Proklamasi (18 Agustus) tiba-tiba langsung menuntut kepada tokoh-tokoh Islam mencoret tujuh kata di Sila Pertama Dasar Negara yang sudah disepakati BPUPKI, yaitu: “…. Dengan kewajiban menjalankan Syariat Islam bagi para pemeluknya,” dan juga wajibnya seorang presiden beragama Islam di pasal 6 ayat 1 batang tubuh UUD 1945. Tuntutan itu disertai ancaman berbau manipulatif bahwa orang-orang Katolik dan Protestan di Indonesia Timur tidak mau bergabung bila bunyi dasar negara dan isi UUD seperti itu.

Semata karena tak ingin melihat negara yang baru berdiri satu hari itu langsung berantakan, meski sumber informasi ancaman itu sangat meragukan dan tidak bisa diverifikasi kebenarannya, para tokoh Islam di PPKI akhirnya dengan berat hati menyetujui perubahan kalimat: “Ketuhanan, dengan kewajiban menjalankan Syariat Islam bagi para pemeluknya,” menjadi: “Ketuhanan Yang Maha Esa”. Juga menghapus persyaratan presiden harus beragama Islam.

Untuk menghibur kalangan Islam yang resah, Soekarno menyebutkan bahwa perubahan ini sangat diperlukan di saat negara dalam keadaan genting karena baru saja diproklamasikan. Ia juga berjanji bahwa UUD yang disepakati PPKI itu merupakan UU sementara, yang akan diubah lagi setelah ada parlemen hasil pemilihan umum nanti. Sebuah janji yang ternyata cuma kosong belaka.

Pengkhianatan ternyata terus berlanjut tidak sampai di situ. Bahkan sampai sekarang. Rezim Orde Lama dan Orde Baru lalu membuat tafsiran-tafsiran dasar negara Pancasila yang semakin menjauh dari kepentingan golongan Islam. Tafsir-tafsir yang sangat kental dengan nuansa makin menjauh dari kepentingan golongan Islam.

Setelah reformasi pasca tumbangnya Orde Baru, kepentingan politik Islam sebetulnya mulai mendapat angin kembali, tapi kemudian juga ditenggelamkan. Dan puncaknya terjadi di masa kekuasaan rezim sekarang, di mana nampak semakin sistematis produksi tafsir-tafsir yang justeru mempertentangkan Islam dengan Pancasila. Jenderal AH Nasution pernah menyebut, di masa Orde Lama dulu upaya mempertentangkan Pancasila dan Islam dipelopori oleh PKI.

Namun, kelompok Islam adalah kelompok yang paling sabar dan paling bertanggungjawab terhadap eksistensi negara dan bangsa Indonesia. Mereka menghadapi segala pengkhianatan ini dengan tetap tenang meski terus melancarkan kritik dan protes. Semua dilakukan di dalam ranah konstitusional. Kecuali satu dua letupan yang hanya merupakan riak kecil tapi lantas dibesar-besarkan oleh kalangan sekuler-liberal-komunis demi kepentingan politik dan ekonomi mereka.

Namun, kalau kita mau jujur, dan tidak menutup-nutupi apa yang terjadi saat ini dalam eufimisme yang manipulatif, Kepura-puraan bahwa semua dalam kondisi baik, kondisi saat ini bisa menjadi situasi yang bak api dalam sekam, yang bisa jadi akan membakar tanah di sekitarnya.

Dan OMNIBUS LAW yang sudah disahkan DPR bisa menjadi bensin yang mematikan karena sangat bertentangan dengan rasa keadilan masyarakat, terutama masyarakat dan pemerintah di daerah yang kembali digerogoti sifat otonominya melalui UU Cilaka ini. Sebuah upaya pengkhianatan terhadap amanat Reformasi 1998, yang menghendaki negara ini makin terdesentralisasi pengelolaannya. Sentralisasi yang kembali dilakukan sungguh dapat sangat melukai Daerah. Dan ini bisa memicu ledakan bila kita tidak cepat menyadarinya. Apalagi terbukti, Omnibus Law hanya untuk mengamankan kepentingan banyak penguasaha besar negeri ini, termasuk para penguasa yang ikut menjadi pengusaha.

Semoga semangat Sumpah Pemuda 1928 kembali menyadarkan kita semua, agar kita tidak terlambat menyadari bahaya besar ini, agar Indonesia tidak mengarah pada negara gagal dan terfragmentasi seperti Yugoslavia, Uni Soviet dan negara-negara pecahannya serta Cekoslawakia.*

Jakarta, 28 Oktober 2020

BACA JUGA:
Faradj Martak Hadiahkan Rumah Proklamasi untuk Bung Karno
Husein Mutahar, Penyelamat Bendera Pusaka Merah Putih
Ahmad Surkati: Sang Reformis, Sang Pejuang 

By mansyur

One thought on “Kalimat Tauhid, Merah Putih, Sumpah Pemuda, dan Bensin Omnibus”

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *