Oleh: MANSYUR ALKATIRI

Majalah UMMAT Tahun I No. 07, 2 Oktober 1995 / 7 Jumadil Awal 1416 H

Georgia kembali mengancam serbu Abkhazia. Rusia pun berbalik menekan. Tapi tekad merdeka bangsa Abkhaz tak goyah.

DEMO BANGSA ABKHAZ. Merdeka atau Mati!

Cuaca sebenarnya mulai sejuk di Kaukasus seiring dengan berakhirnya musim panas minggu ini. Tapi di Abkhazia, sebuah negeri indah yang terletak di tepian Laut Hitam, di kaki pegunungan Kaukasus, cuaca justeru kian membuat gerah. Konflik antara pribumi Abkhazia yang kebanyakan Muslim dengan Georgia yang Kristen Ortodoks, memanas kembali.

Georgia tak rela melepas ‘propinsi’ Abkhazia. Presiden Eduard Ambrosievich Shevardnadze, minggu lalu (6/9) mengancam, “Kami akan kembali menggerakkan tentara ke Abkhazia, bila perundingan tak membawa hasil”. Maksudnya tentu bila Abkhazia ngotot memisahkan diri. Sementara Rusia, yang dulu membantu Abkhazia, sekarang balik mengancam akan menindak keras Abkhazia.

Namun, semua ini tak membuat parlemen Abkhazia bergeming, Abkhazia tetap negara berdaulat. Ketua parlemen Abkhazia, Sokrat Dzhindzholia, juga menolak usul pembentukan negara federasi yang dikemukakan pemerintah Tbilisi dan didukung Rusia. “Pembentukan federasi dengan Georgia tak dapat diterima”, tegas Dzhindzholia.

Para pemimpin Abkhaz sebaliknya mengusulkan pembentukan suatu konfederasi dengan Georgia, di mana Georgia maupun Abkhazia berkedudukan setara. Usul tersebut ganti ditentang Georgia. Dan perang pun kembali menghantui Abkhazia. Prospek perdamaian tak menentu. 

Kampanye Pemisahan

Ketegangan bermula Juli 1992, ketika parlemen Abkhazia memproklamirkan berdirinya Republik Abkhazia, terpisah dari Georgia.  Tblisi yang tak mau terima, kemudian menyerbu dan menduduki Sukhumi, ibukota Abkhazia. Namun berhasil dipukul mundur milisi Abkhaz yang mendapat bantuan senjata dan sukarelawan dari suku-suku Muslim pegunungan Kaukasus. Juga dari Rusia yang punya kepentingan khusus.   

Abkhazia punya alasan historis untuk lepas dari tangan Georgia. Negeri seluas 8.600 km persegi ini telah lama menjadi korban ‘Georgianisasi’, yang menyebabkan jumlah etnis Abkhaz tinggal 20% di tanah air mereka sendiri. Mayoritas justeru etnis Georgia, yang mencapai 44 persen dari 550.000 penduduk Abkhazia sebelum pecah perang. Padahal di abad XIX, jumlah orang Abkhaz mencapai 86 persen.

Mantan diktator Sovyet, Joseph Stalin, dan kepala polisi rahasianya, Lavrenty Beria, bertanggung-jawab terhadap penurunan jumlah ini. Mereka berdua melakukan pembantaian terhadap banyak muslimin Abkhaz, terutama para tokoh agama dan cendekiawan, antara tahun 1936-1937. Kemudian didatangkan orang-orang Georgia ke Abkhazia guna mengubah perimbangan penduduk di sana. Baik Stalin maupun Beria adalah orang Georgia. Ketika Turki Usmani yang menguasai Abkhazia dikalahkan Rusia pada 1877, puluhan ribu muslimin Abkhaz lari ke Turki. Ini mengurangi populasi Muslim Abkhaz. Sekarang jumlah Muslim Abkhaz tak beda jauh dengan warga Kristennya.

Perang

Perundingan damai tengah bergulir, dengan Moskow menjadi perantara. Tapi Georgia dan Abkhazia sama-sama bersikap keras. Pertempuran baru tak mustahil meletus. Tapi ada kecemasan di hati pemimpin Abkhaz, bantuan Rusia tak lagi datang. Rusia sudah berubah. Beberapa politisi Rusia kini secara terbuka memusuhi Vladislav Ardzinba, ‘Presiden Republik Abkhazia’, yang dulu dibelanya.

“Ardzinba dan Dudayev harus diisolasi, karena menyerukan separatisme”, ujar Vladimir Shumeiko, ketua majelis tinggi parlemen Rusia, baru-baru ini di Georgia. Tapi, berhasilkah Moskow menekan dan mengisolasi Ardzinba dari rakyatnya?

Vladislav Ardzinba memang  pahlawan bagi bangsa Abkhaz, seperti halnya Jokhar Dudayev di Chechnya. Tapi Ardzinba tak sendiri. Hampir seluruh bangsa Abkhaz berdiri di belakangnya. Dan semuanya memilih merdeka.* (Mansyur Alkatiri)

BACA JUGA:
Perang Saudara di Somalia
Imam Muslim Tentara Amerika
Strategi Kotor Yahudi di Jerusalem

By mansyur

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *