Oleh: Mansyur Alkatiri
Dimuat di: Harian SUARA MERDEKA, 29 Desember 2001
Situasi Asia Selatan kembali memanas dengan saling berhadapannya pasukan India dan Pakistan di perbatasan kedua negara. Bahkan pertempuran sporadis beberapa kali meletus di ‘line of control‘ perbatasan mereka di Kashmir, wilayah yang sudah lebih dari setengah abad disengketakan kedua negara. Tidak bisa dibayangkan jika perang terbuka meledak, mengingat India dan Pakistan kini sudah memiliki senjata nuklir. Dalam tiga perang terbuka sebelumnya, keduanya belum memiliki senjata mematikan itu.
Konflik muakhir ini dipicu oleh serangan bunuh diri terhadap gedung parlemen India pada 13 Desember 2001. Pihak India menuding pelaku serangan itu adalah ‘teroris Kashmir” dari milisi Lashkar-e-Tayyaba dan Jaish-e-Mohammed, yang dilindungi Pakistan. Serangan mematikan oleh kedua kelompok itu, masih kata New Delhi, disponsori oleh agen rahasia Pakistan (ISI). Sebuah tuduhan yang sering dilancarkan India terhadap semua aksi kekerasan di wilayahnya.
Segala tudingan ini ditolak keras oleh Islamabad, yang meminta India menyerahkan bukti-bukti yang meyakinkan atas keterlibatan dinas intelijennya dan dua laskar bersenjata Kashmir itu. Pakistan bahkan menuduh India tengah merekayasa opini agar Pakistan dihukum dunia seperti Afghanistan, dengan tuduhan melindungi para teroris yang menyerang sasaran India.
Namun meski membantah tudingan India itu, Pakistan juga meminta kedua kelompok gerilyawan Kashmir itu menutup kantor-kantor perwakilannya di wilayah Pakistan. Tindakan ini nampaknya sebagai antisipasi tindakan Amerika Serikat yang sudah menggolongkan Lashkar-e-Tayyaba dan Jaish-e-Mohammed sebagai organisasi teroris yang harus dibasmi. Pasca serangan atas Pentagon dan WTC.
India tidak hanya menuduh Pakistan dan laskar Kashmir sebagai pelaku serangan, tapi langsung memobilisasi pasukannya di sepanjang perbatasan kedua negara, terutama di kawasan sengketa Kashmir yang bergolak. Penggelaran pasukan ini langsung mendapat reaksi yang sama dari Pakistan. India juga melarang bus, kereta dan pesawat terbang Pakistan melintasi India, disamping memotong jumlah diplomat mereka di Pakistan.
Serangan bom sudah sering terjadi di India, begitu pula di Pakistan. Dan keduanya selama ini selalu menuding serangan itu disponsori oleh dinas intelijen lawannya. Tapi suasana panas yang menyelimuti kedua bangsa biasanya juga cepat mendingin setelah beberapa negosiasi diantara pucuk pimpinan mereka. Tidak sampai mengarah pada ancaman perang terbuka seperti saat ini.
Maka menjadi pertanyaan penting, kenapa India begitu keras bereaksi setelah serangan 13 Desember? India bahkan menolak ajakan Islamabad untuk membentuk komisi bersama guna menyelidiki bukti-bukti keterlibatan dua laskar Kashmir itu dalam pemboman di gedung parlemen. Padahal Pakistan sudah berjanji, akan menindak keras kedua laskar bila mereka terbukti bersalah.
Berkah WTC
Manuver baru India yang diiringi penuh terompet peperangan itu nampaknya terkait erat dengan momentum ‘perang anti-terorisme’ yang tengah dilancarkan Amerika Serikat di Afghanistan, dan direncanakan melebar ke beberapa negara lain. New Delhi sepertinya memanfaatkan semangat anti-terorisme AS itu untuk kepentingannya sendiri yaitu memadamkan perlawanan rakyat Kashmir yang menuntut penentuan nasib sendiri dari New Delhi.
Seperti diketahui, sejak tragedi 11 September mengguncang New York dan Washington, India telah meningkatkan represi atas rakyat Kashmir. Hal yang sama juga dilakukan oleh Israel terhadap rakyat dan pemerintahan Otoritas Palestina. Banyak korban berjatuhan di kedua wilayah tanpa liputan memadai dari media massa internasional, yang lebih asyik memonitor Tragedi 11 September dan serangan AS ke Afghanistan.
Dunia juga diam, terutama Amerika dan Barat, meski korban deras berjatuhan. Bahkan PBB pun bisu, seolah menutup mata terhadap tragedi rakyat Kashmir dan Palestina yang tengah menghadapi ‘terorisme negara’ (state terrorism).
India dan Israel secara lihai memanfaatkan duka Amerika akibat Tragedi 11 September untuk kepentingan mereka sendiri. Mereka mendukung penuh rencana Amerika memerangi ‘kaum teroris Muslim dan Arab’ di seluruh dunia, dengan harapan agar AS dan PBB menggolongkan kelompok-kelompok perlawanan di kedua negara sebagai ‘teroris’. Dan Amerika pun menerima keinginan itu, dengan memasukkan kelompok anti-Israel: Hammas, Jihad Islam dan Hezbollah, sebagai kelompok teroris.
Hal yang sama juga terjadi di Kashmir. AS menerima klaim India bahwa kelompok Harkatul Ansar, Lashkar-e-Tayyaba, dan Jaish-e-Mohammed sebagai kelompok teroris yang harus diperangi. Dua kelompok terakhir dimasukkan ke daftar pasca serangan 13 Desember.
Dukungan Amerika bagi India ini, merupakan perkembangan baru, sebab Amerika sebelumnya dikenal sebagai sahabat Pakistan, sedang India lebih dekat ke Moskow. Dalam konflik Kashmir, posisi AS juga lebih membela Islamabad. Hubungan AS-India ini mulai dekat setelah runtuhnya raksasa komunis Uni Soviet, yang membuat posisi strategis Pakistan di mata Washington jadi mengecil.
Dengan jumlah penduduk yang jauh lebih besar, India memang lebih menjanjikan bagi Amerika untuk ekspansi ekonominya. Maka tidak heran kalau kemudian hubungan itu semakin dekat, saat pemerintahan Presiden Bill Clinton. Apalagi kemudian muncul wacana ‘Bom Islam’ setelah Pakistan terbukti mampu memeliki bom nuklir. Sementara India yang juga memiliki bom yang sama tidak pernah di cap sebagai “Bom Hindu” oleh para pengamat dan media massa Amerika dan Barat.
Sejak dua tahun terakhir, seiring dengan gencarnya wacana “terorisme Islam”, khususnya jaringan Osama bin Laden yang mengancam Amerika, Washington dan New Delhi telah menjalin kerjasama khusus dalam rangka “counter-terrorism.” Di satu sisi, Pakistan justeru banyak dituding orang sebagai tempat subur bagi tumbuhnya kelompok-kelompok militan Islam bersenjata.
Perubahan angin dukungan Washington ini dimanfaatkan dengan baik oleh New Delhi, dengan menggencarkan aksi penghancuran atas separatisme Kashmir lebih keras, dalam dua tahun terakhir. India juga terus berkampanye, bahwa para pejuang kemerdekaan Kashmir itu adalah teroris. Dan sudah menjadi kewajiban India untuk melibas para teroris. Untuk makin menarik simpati Barat, India pun mengkait-kaitkan isu separatisme Kashmir dengan fundamentalisme Islam, dan gerakan Osama bin Laden yang mengancam kepentingan Barat.
Dan, peristiwa 11 September yang meruntuhkan Gedung WTC dan Pentagon, menjadi berkah tersendiri bagi kampanye India itu. Amerika pun nampak lebih percaya pada India ketimbang Pakistan.
Solusi Kashmir
Kampanye gencar India itu, sedikit banyak memang mempengaruhi dukungan dunia, terutama Barat, terhadap tuntutan penentuan nasib sendiri bangsa Kashmir. Seperti diberitakan surat kabar India, The Hindu (25/11), Washington telah menawarkan bermacam bantuan peralatan militer dan informasi intelejen untuk membantu India mengatasi pemberontakan bangsa Kashmir. Tawaran ini disampaikan Presiden George Bush pada Perdana Menteri India Atal Behari Vajpayee saat berkunjung ke Washington, awal November lalu.
Belum diketahui pasti, apakah dengan janji bantuan itu berarti pemerintah Washington kini sudah memutuskan untuk memihak India dalam soal Kashmir, dan menentang aspirasi rakyat Kashmir untuk penentuan nasib sendiri. Ataukah bantuan itu hanya terbatas pada beberapa laskar yang dinggap Washington sebagai kelompok teroris dan terkait dengan Osama bin Laden. Tidak pada seluruh kelompok pejuang bersenjata kashmir.
Namun yang pasti, Kashmir –baik yang berada di bawah India (negara bagian Jammu dan Kashmir) maupun yang berada di bawah Pakistan (wilayah otonomi Azad Kashmir)– sampai saat ini secara de jure masih dianggap PBB sebagai ‘wilayah sengketa’. PBB belum mengakui Kashmir masuk India atau Pakistan. Dan sudah ada dua resolusi PBB (tahun 1948 dan 1949) yang memerintahkan digelarnya referendum bagi rakyat seluruh Kashmir untuk menentukan nasibnya sendiri.
Plebisit itu tak pernah terwujud karena India ternyata terus menghindari pelaksanaan referendum itu. Upaya banyak negara untuk menekan diadakannya plebisit, dari tahun 1958-1988, selalu terbentur veto Uni Soviet di DK PBB. Soviet saat itu adalah sekutu dekat India. Dan kemudian, Kahsmir pun dilupakan dunia. PBB hanya mampu menghimbau India dan Pakistan menyelesaikan masalah Kashmir dengan damai.
Dalam sebuah tulisannya di Guardian (Inggris, 14/12), pengamat Asia Selatan Isabel Hilton mengingatkan masyarakat internasional untuk menyelamatkan bangsa Kashmir dan mencegah tragedi besar di Asia Selatan akibat tidak selesainya sengketa Kashmir. “Sekarang lah waktunya bagi masyarakat internasional untuk berkonsentrasi pada penyelesaian sengketa ini, sebelum perang terhadap terorisme dijadikan alasan untuk melahirkan tragedi yang lebih besar,” tulisnya.
Kashmir adalah sumber dan kunci semua konflik India-Pakistan selama ini. Maka tidak ada jalan yang lebih tepat untuk menyudahi konflik kedua bangsa yang sebenarnya bersaudara itu, selain memecahkan masalah Kashmir ini. Sudah ada resolusi DK PBB yang mengaturnya. Tinggal kemauan dunia yang diuji: apakah mereka mau serius membantu perdamaian di kawasan itu, ataukah mereka hanya ingin menjadikan konflik Kashmir India-Pakistan ini untuk kepentingan sempit masing-masing.
Upaya untuk mencegah konflik terbuka antara India dan Pakistan saat ini memang harus segera dilakukan. Namun setelah itu, dunia tidak bisa lagi meninggalkan kashmir kembali terbengkalai. Jika dunia kembali meninggalkan Kashmir, maka potensi besar konflik berikutnya akan sulit dicegah. Dan bisa jadi lebih dahsyat.
***
* Penulis adalah peneliti pada ISMES (Indonesian Society for Middle East Studies)
BACA JUGA:
Ehud Barak dan Netanyahu
Irak Korban Skandal Clinton-Lewinsky
Kosovo Bangkit Melawan Serbia
[…] muslimin ini pun bersimbah darah. Kematian jadi pemandangan sehari-hari. Sekitar 30 ribu muslimin Kashmir, kebanyakan orang sipil tak bersenjata, telah tewas. Ribuan wanitanya, dari yang masih anak-anak, […]