Oleh: Mansyur Alkatiri

Majalah UMMAT Thn. I No. 1, 10 Juli 1995 / 12 Shafar 1416 H

Meski mengambil sikap netral dalam perang saudara suku Hutu-Tutsi, warga sipil Muslim tetap menjadi sasaran pembantaian oleh tentara Tutsi

Setelah bertahun-tahun terperangkap dalam perang antar etnis Hutu dan Tutsi, umat Islam Burundi akhirnya turut menjadi korban. Para militan Tutsi pimpinan mantan diktator militer Jean-Baptiste Bagaza, melakukan pembersihan etnis ala Serbia di Buyenzi, sebuah distrik di ibukota Bujumbura yang kebanyakan penduduknya Muslim. Sebelum ini, kehidupan di Buyenzi dikenal harmonis kendati penduduknya berasal dari pelbagai etnik dan agama.

Lebih dari 700 muslimin tewas dalam pembantaian biadab oleh militan Tutsi akhir Maret lalu itu. Harta benda mereka juga dirampok. Sementara 30 ribuan yang selamat, terpaksa mengungsi ke Zaire, meninggalkan seluruh harta miliknya. Pihak militer berkilah, operasi tersebut bertujuan untuk menghancurkan ‘geng-geng bersenjata’ Hutu di Buyenzi. Namun alasan ini ditolak oleh Alhaji Hasan Rukara, pemimpin Islamic Association of Burundi yang juga asli Buyenzi. “Warga Buyenzi yang kebanyakan Muslim, tak pernah terlibat dalam permainan politik Burundi”, jelasnya seperti dikutip majalah Impact International, London.

MASJID DI BUJUMBARA, BURUNDI

Alhaji Hasan Rukara sendiri, yang notabene seorang Tutsi dan anggota partai Tutsi yang beroposisi, bahkan diancam bunuh. Rumahnya rusak akibat lemparan granat yang juga menciderai anak perempuannya. Ia dituduh militan Tutsi telah berkolusi dengan partai FRODEBU (Hutu) yang bekuasa. Alhaji Rukara terang membantah. “Sebagai seorang pemimpin Muslim, saya tak mendukung siapapun yang bertujuan menciptakan kesulitan di Burundi. Saya menginginkan suatu rekonsiliasi nasional. Karena hal ini militan Tutsi menganggap saya berkolusi dengan FRODEBU.” FRODEBU adalah partai suku mayoritas Hutu.

Warga Muslim Burundi terperangkap dalam konflik besar suku Hutu yang mayoritas dan Tutsi yang minoritas. Pemeluk Islam di negara Afrika ini meliputi kedua etnis pribumi tersebut serta pendatang Arab dan India-Pakistan. Mereka memilih bersikap netral.

Meski suku Hutu merupakan mayoritas, tentara Burundi dikuasai oleh etnis Tutsi. Sehingga suku minoritas ini nampak lebih superior dan menguasai kepemimpinan di Burundi sejak merdeka dari penjajah Belgia pada 1962. Ketika dilakukan pemilihan demokratis pertama di tahun 1993, untuk pertama kalinya terpilih orang Hutu sebagai presiden, yaitu Melchior Ndadaye. Namun ia hanya tiga bulan menjadi presiden karena dibunuh oleh tentara Tutsi.

Penggantinya, Cyprien Ntaryamira, juga tewas bersama Presiden Rwanda Juvenal Habyarimana, setelah pesawatnya ditembak tentara Tutsi pada April 1994. Keduanya berasal dari suku Hutu.

Kedua suku juga berlatar belakang agama yang berbeda. Mayoritas Hutu beragama Kristen Protestan dan Tutsi Katolik,

Muslim di Burundi meliputi sekitar 5 persen dari 8,5 juta penduduk Burundi. Saat ini Muslim terkonsentrasi di ibukota Bujumbara, terutama di distrik Buyenzi dan Bwiza. Dalam jumlah lebih kecil Muslim juga tersebar di kota-kota Gitega, Rumonge, Nyanza, Muyinga, dan Makamba.

Sebetulnya, jumlah Muslim tumbuh cukup besar saat negara ini dijajah Jerman antara 1894–1916 karena pemerintah kolonial Jerman lebih menyukai bahasa Kiswahili yang banyak digunakan Muslim daripada bahasa Kirundi. Muslim saat itu bahkan menjadi mayoritas di ibu kota Bujumbara. Namun, situasi ini berubah setelah Perang Dunia I usai di mana Jerman kalah. Burundi pun ganti dijajah Belgia. Di bawah penguasa baru ini, penganut Muslim di Bujumbara anjlok jumlah dan presentasenya karena proses kristenisasi masif dan didatangkannya warga Kristen dari luar ke Bujumbara.*

BACA JUGA:
Strategi Kotor Yahudi di Jerusalem
Kosovo, Target Serbia Berikutnya
Perang Saudara di Somalia

By mansyur

3 thoughts on “Tentara Tutsi Bantai Muslim di Burundi”

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *