Oleh Mansyur Alkatiri
Dimuat di Harian SUARA MERDEKA, Kamis, 23 September 1993
SETELAH menguasai Bosnia-Herzegovina, orang-orang Serbia nampaknya sedang mengarahkan sasaran ke beberapa wilayah lain. Purifikasi wilayah dengan metoda pembersihan etnis kini tengah mengancam Provinsi Kosovo yang dihuni mayoritas Muslimin Albania, serta atas orang-orang Bulgaria dan Albania di negara Macedonia.
Meluasnya konflik etnis ke wilayah-wilayah itu bisa menimbulkan konfrontasi besar dan meluas dengan negara-negara tetangga, yang hampir dipastikan tidak akan berdiam diri menyaksikan saudara satu etnisnya menjadi sasaran pembersihan itu.
Presiden Serbia, Slobodan Milosevic, masih tetap mengulang ambisinya untuk menciptakan “Serbia Raya” yang meliputi seluruh wilayah yang ditempati etnis Serbia di bekas Yugoslavia. Ambisi yang menakutkan etnis-etnis lain ini dan siaganya negara-negara tetangga menyongsong pertikaian lebih lanjut, tidak mustahil akan meicu perang besar di kawasan Balkan. Apalagi PBB sampai saat ini tetap tidak tergerak untuk membuat tindakan keras sebagai solusi terakhir guna mengekang ambisi Serbia yang berbahaya.
Dari beberapa wilayah yang menyimpan potensi konflik besar iru, Kosovo-Metoheja yang terletak di Republik Serbia adalah yang paling serius terancam. Sudah sejak pertengahan tahun 1989, Serbia secara intensif mengkampanyekan purifikasi Kosovo. Kampanye itu kemudian semakin kuat berbarengan dengan seruan untuk melakukan pembersihan etnis di awal meletusnya konflik di Bosnia-Herzegovina. Menurut laporan lembaga Hak-Hak Asasi Albania, seperti dikutip wartawan Newsweek, sejak tahun 1990 sudh lebih dari 100.000 orang Albania, termasuk meeka yang berprofesi sebagai pengacara, dokter, politisi dan guru, kehilangan pekerjaan karena menolak menandatangani sumpah setia kepada Serbia.
Peringati kekalahan
Barangkali bukan kebetulan bila Gavrilo Princip, seorang mahasiswa nasionalis ekstrem Serbia, memilih hari St Vitus tanggal 28 Juni 1914 ketika menembak mati pewaris tahta kekaisaran Austro-Hungaria, Pangeran Ferdinand, di Sarajevo. Di hari itu, tahun 1389, kerajaan Serbia menanggung aib besar karena tentaranya dihancurkan pasukan Turki Ottoman di Kosovo Polje. Dan tindakan Princip memang akhirnya menghasilkan kejayaan bagi Serbia karena Austro-Hungaria kemudian kalah dalam Perang Dunia I hingga terpaksa hengkang dari wilayah Yugoslavia.
Pada hari St Vitus tahun 1989, orang-orang Serbia memperingati kekalahan 600 tahun lalu dengan mempertontonkan kegeraman. Tidak kurang dari satu juta orang Serbia mengalir membanjiri Provinsi Kosovo, terutama di ibu kota Pristina. Mereka ini berdemonstrasi menunjukkan kemarahan pada orang-orang Muslim Albania yang mereka anggap sebagai peninggalan Islam Turki Usmani.
Kekalahan dalam perang di Kosovo oleh Khalifah Usmaniyyah Turki memang menyakitkan bagi warga Serbia, sehingga mereka merasa perlu membuat peringatan khusus seperti itu. Dendam lama yang sedang dilampiaskan sekarang terhadap etnis Bosnia yang juga dituduhnya kolaborator Turki, terasa belum tuntas kalau tidak diteruskan ke Kosovo terhadap warisan Islam Turki lainnya yaitu etnis Albania.
Perlakuan terburuk
Bagi etnis Albania sendiri yang mayoritas di Kosovo, perilaku diskriminatif Serbia kepadanya sekarang ini adalah yang terburuk selama mereka menghuni daerah itu berabad-abad. Bahkan ketika Josip Broz Tito masih berkuasa dalam era komunisme, nasib mereka relatif lebih baik. Tito memberi status otonomi luas kepada provinsi Kosovo dan Vojvodina. Ia yang orang Kroasia berhasil meredam ambisi Serbia untuk mendepak etnis Albania ke seberang perbatasan. Bahkan ada laporan tidak kurang 400 ribu warga Serbia yang justru keluar dari Kosovo ke utara di masa itu.
Otonomi ini kemudian dengan semana-mena dihapuskan oleh Presiden Serbia Slobodan Milosevic yang mengumumkan negara dalam keadaan darurat. Katanya, pencabutan itu diperlukan guna melindungi minoritas Serbia di sana. Tindakan ini kemudian dilanjutkan dengan menyingkirkan secara sistematis orang-orang Muslim Albania dari kepolisian, badan-badan peradilan, media, sekolah-sekolah, rumah sakit dan universitas.
Aksi tersebut mengakibatkan angka pengangguran meningkat tajam di Kosovo sampai 40 persen. Milosevic menutup pula semua sekolah yang didirikan orang Albania dan menggunakan bahasa pengantar Albania, baik sekolah umum maupun sekolah agama serta membuat ketentuan yang mengharuskan anak-anak Albania hanya boleh mengikuti sekolah-sekolah Serbia dan dalam bahasa Serbia.
Kebijakan apartheid yang diterapkan pemerintah Serbia semakin mempertajam perpecahan kedua etnis di wilayah ini. Etnis Albania yang jumlahnya mencapai 89 persen dan etnis Serbia yang minoritas tapi memegang kekuasaan, telah membentuk dua masyarakat paralel yang saling mendendam, tidak bertitik temu, menunggu momentum untuk meledak.
Kondisi yang tidak menguntungkan ini ternyata memancing munculnya sekolah-sekolah gelap yang diasuh guru-guru yang telah dipecat pemerintah. Sedangkan dokter-dokter yang disingkirkan dari rumah sakit pemerintah dan digantikan dokter-dokter Serbia berkualitas rendah, membangun satu jaringan klinik kesehatan swasta yang murah walaupun dengan fasilitas kurang memadai.
Penyebab krisis
Kalau kita amati lebih teliti, ada tiga faktor yang memanaskan suhu di wilayah Kosovo. Ketiganya saling bertautan satu sama lain. Pertama, faktor etnis. Sudah lama orang-orang Serbia menganggap etnis Albania sebagai bangsa penjarah yang merampas wilayah mereka.
Pada mulanya, Kosovo memang merupakan daerah penting kerajaan Serbia lama yang muncul di abad ke-7. Kekuasaan atas daerah itu terlepas ketika tentara Serbia dihancurkan pasukan Turki Usmani di tahun 1389 yang mengawali penaklukan atas seluruh Serbia dan Bosnia-Herzegovina. Khilafah Usmaniyyah menguasai daerah itu selama 500 tahun. Pada masa-masa itu orang-orang Albania mengalir masuk ke Kosovo, sedang warga Serbia banyak yang keluar. Sekarang Serbia merencanakan untuk mengubah perimbangan etnis dan ekonomi di Kosovo antara lain dengan memasukkan orang-orang Serbia dari daerah lain ke sana dan mengusir sejumlah besar orang-orang Albania.
Kedua, faktor agama. Isu agama muncul dengan sendirinya karena etnis Albania ini 95 persen beragama Islam, sedangkan orang-orang Serbia sendiri adalah penganut Kristen Ortodoks. Kesamaan religi antara warga Albania dan juga Bosnia dengan penguasa Turki, otomatis makin memperkeras opini orang Serbia bahwa keduanya bekerja sama dalam menjajah Serbia. Dan dalam logika Serbia, itu berarti Islam yang menjajah Serbia.
Dan ketiga adalah faktor politik, berupa ambisi Serbia yang dimotori Presiden Slobodan Milosevic untuk menciptakan Serbia Raya. Caranya dengan pembersihan seluas mungkin daerah yang dihuni etnis Serbia dari bangsa-bangsa lain dengan motode apapun. Untuk memenuhi ambisinya ini, Milosevic secara cerdik mempolitisasi sentimen etnis dan agama di kalangan warga Serbia di Bosnia dan Kosovo terhadap orang-orang Islam yang merupakan mayoritas di kedua wilayah itu dan kemudian membantunya semaksimal mungkin.
Ketiga faktor yang saling berkaitan bisa membuat medan Kosovo sebagai arena pembantaian berikutnya. Apalagi posisi etnis Albania tidak menguntungkan karena tidak memiliki polisi atau pasukan pertahanan, berbeda dari warga Kroasia, Slovenia dan Bosnia. Orang-orang yang tidak mempunyai persiapan perang ini akan menjadi sasaran empuk pembersihan etnis. Kekhawatiran ini pernah diungkapkan seorang pejabat PBB di Zagreb yang mengatakan, seandainya Kosovo meledak,s egalanya akan terlihat seperti “tea party” saja. Serbia akan begitu mudah membantai dan mengusir orang Albania.*
Mansyur Alkatiri, alumnus Fisipol UGM Yogyakarta
[…] JUGA: Strategi Kotor Yahudi di Jerusalem Kosovo, Target Serbia Berikutnya Perang Saudara di […]
[…] JUGA: MUSLIM ALBANIA, Cemas di Tengah Perubahan Kosovo, Target Serbia Berikutnya Pemurtadan Gaya […]
[…] BACA JUGA: Dr. Irfan Ljubijankic Syahid di Bosnia Mindanao Terus Menyimpan Bara Kosovo, Target Serbia Berikutnya […]